SEBASTIANUS FEDI, S.Si,M.Pd
Dipaparkan pada Kegiatan Ilmiah
Kemasyarakatan, di Desa Golo Rentung, Lamba Leda, Manggarai Timur
- PENDAHULUAN: APA ITU PENDIDIKAN?
Secara
awam, pendidikan diidentikkan dengan sekolah (pendidikan formal). Sementara, salah
satu sifat dan kemampuan dasar manusia adalah cenderung meniru dan mengubah
perilaku berdasarkan perilaku/perbuatan orang lain yang telah disaksikannya. Di
lain pihak, pendidikan sebenarnya adalah kegiatan menuntun orang yang belum
dewasa atau belum mahir sehingga menjadi lebih dewasa atau lebih mahir. Seorang
yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan
kemasyarakatan, misalnya koor gereja, menata acara pengumpulan dana sekolah,
dan sebagainya; walaupun bukan diatur pihak sekolah/bukan kegiatan regular
pihak pendidikan, secara tidak langsung telah ‘mendidik’ orang lain untuk aktif
dalam kegiatan kemasyarakatan. Hal seperti ini termasuk dalam kategori
“mendidik”.
Ada
banyak hal di mana perilaku generasi muda merupakan tiruan generasi pendahulu. Situasi
ini, dalam masyarakat Manggarai dikenal dengan ungkapan: “loda wua haju, toe manga tadang one mai puun”. Ini mengandung
wejangan bahwa kebiasaan orang tua akan diikuti oleh anaknya. Walaupun dalam
perkembangan mental seorang anak juga dipengaruhi oleh lingkungan. Di sini, apa
yang telah tersaji di hadapan seorang anak, akan menjadi bahan pembelajaran
yang dapat ditirunya.
Secara
harafiah, “didik” berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran (KBBI, 2008:352). Maka pendidikan berarti perbuatan
memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran. Pendidikan terjadi melalui perbuatan.
Ada suatu ungkapan Cina kuno: “saya mendengar dan saya lupa,
saya melihat dan saya ingat, saya melakukan dan saya mengerti”. Ini
berarti, ada baiknya siswa didik melalui perbuatan atau siswa sendiri
yang melakukan. Hal ini mendasari penggunaan alat peraga dalam urusan
pendidikan.
Arti Pendidikan Menurut Ahli
a)
Langeneld:
Setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan
yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih
tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
b)
Ki Hajar
Dewantara
Menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
c)
UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Apa yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas, sejalan
dengan pikiran filsuf terkenal J.J. Rousseau (1712-1778) bahwa pendidikan
memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita
membutuhkannya pada waktu dewasa
Jika ada perbuatan mendidik, maka harus ada
pendidiknya. Pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban untuk
mendidik.
• Siapa saja pendidik itu?
ü Guru,
ü Orang tua,
ü Masyarakat,
ü Siswa itu sendiri (mendidik diri sendiri atau
sejawat)
- PENDIDIKAN DAN TUNTUTAN ZAMAN
Kemajuan dunia jelas dipengaruhi kemajuan
pendidikan. Sebaliknya, kemajuan yang telah dicapai akan memberi dampak bagi pendidikan,
baik dampak positif maupun dampak negatif. Untuk contoh, tidak salah jika kita
beranggapan bahwa: dokter hebat lahir dari pendidikan yang hebat. Guru yang bermutu
pasti telah mengalami kegiatan ‘pendidikan bermutu’ sebelumnya. Ini berarti
pendidikan menjadi sumber kemajuan.
Sebaliknya, kemajuan teknologi secara positif
memberikan kemudahan bagi seorang peserta didik untuk belajar. Misalnya,
mendapatkan sumber belajar melalui akses internet, mengerjakan tugas-tugas belajar
dengan bantuan software tertentu di komputer.
Ini berarti, mutu lulusan pendidikan tidak serta
merta karena keunggulan dan nama besar lembaga pendidikan. Masih ada faktor
lain, misalnya dukungan teknologi pembelajaran, selain faktor intern seperti
kemauan, keseriusan, dan kemandirian belajar serta bakat dan kecerdasan!
Harus disadari bahwa dalam era globalisasi, revolusi
teknologi menghantar kita ke cara kerja modern di mana ada banyak pekerjaan/urusan
memakai produk berteknologi tinggi, yang memberi banyak keunggulan dalam
menyelesaikan pekerjaan. Maka kita dituntut mahir menggunakan berbagai produk
berteknologi tinggi yang relevan dengan pekerjaan kita. Tuntutan ini, sudah
pasti diikuti tuntutan mutu pendidikan yang mumpuni. Di sinilah timbul urgensi
pendidikan bagi seorang anak.
Contoh sederhana:
a)
Dahulu dokumen
tertulis “maksimal” dicetak dengan mesin tik. Kini, pelan tapi pasti, mesin tik
diganti perangkat komputer. Pekerjaan menjadi lebih mudah, asal kita menguasai
teknologi computer, minimal cara mengoperasikannya.
b)
Zaman dahulu
banyak petani mencari tanah subur dan meningkatkan hasil panenan dengan system
ladang berpindah. Tak masalah, areal pertanian masih luas!
Pada zaman ini, manusia makin banyak, areal
pertanian makin berkurang. Ladang berpindah tak berlaku lagi.
Mau atau tidak mau, kita dituntut untuk bertani
secara modern: andalkan temuan ilmiah lewat dunia pendidikan untuk meningkatkan
hasil pertanian pada luasan tanah yang sama: intensifikasi pertanian.
Ini butuh ilmu, pengetahuan dan teknologi
pertanian yang mumpuni. Bukan sekedar menanam, tetapi disertai pertimbangan
ilmiah: jenis tanaman, cara tanam, merawat tanaman, dan cara pemasaran.
Pada era global, pendidikan menjadi sangat urgen
bagi anak-anak kita. Ada banyak pekerjaan menuntut ijazah sebagai syarat utama,
disertai keterampilan tertentu. Bahkan, sekalipun hanya ingin menjadi petani, sudah
saatnya kita bertani secara ilmiah. Di sini, kehadiran produk-produk pertanian
berteknologi tinggi, dapat digunakan secara efektif jika kita memahami konsep
ilmu yang menyertai produk tertentu.
Tuntututan perkembangan global, disambut
pemerintah kita dengan langkah menetapkan batasan “ijazah” untuk mengemban
tugas tertentu. Ini dilakukan agar mutu sumber daya manusia kita tidak kalah
dari tuntutan perkembangan global. Maka kebutuhan pendidikan makin urgen.
·
Belajar: tak mengenal batas
Bisa terjadi bahwa seseorang memiliki ijazah namun
belum prima dalam menjalankan tugas/pekerjaan tertentu sesuai tuntutan terkini.
Ini lumrah sebagai manusia: tidak bisa sempurna dalam segala hal pada setiap
waktu. Masih perlu belajar dan mengembangkan diri.
Walaupun ijazah dianggap sebagai representasi
legalitas bahwa seseorang telah dididik dan memiliki wawasan ilmu/pengetahuan sesuai
tingkat pendidikannya, namun bukan hanya ijazah, ilmu/pengetahuan harus di-update dan keterampilan terus
dikembangkan untuk mendukung ijazah. Kegiatan pelatihan dan ‘pendidikan khusus’
tetap diperlukan. Maka secara prinsip, pendidikan tidak statis, pendidikan
harus tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Ilustrasi khusus: (a) Seorang sarjana matematika
mengikuti pelatihan sebelum menjalankan tugas sebagai anggota PPS dalam pemilu,
(b) mengikuti pelatihan software matematika untuk mendukung kegiatan pembelajaran
di kelas, (c) guru mempelajari dan membuat
instrumen dan metode-metode pembelajaran yang sesuai perkembangan zaman.
·
Bagaimana
jika: karakter bagus, berbakat dan terampil tapi tidak berijazah?
Ini ibarat sopir lincah, tapi tidak memiliki SIM. Atau
sarjana matematika murni masuk ke kelas tanpa akta mengajar. Terampil itu
menghidupkan! Tetapi aturan membuat hidup jadi lebih nyaman.
Banyak kenyataan bahwa seorang memiliki keterampilan dan berbakat sehingga memiliki penghasilan tetap atas keterampilan dan bakat tersebut. Itu sudah sangat nyata di lingkungan kita. Alangkah bagus jika keterampilan didukung ijazah. Pada masa kini, umumnya keterampilan menjadi syarat pengikut untuk memenangi persaingan antar tenaga kerja. Syarat utama adalah berijazah, karena ijazah dinilai sebagai legalitas penguasaan konsep ilmu, wawasan pengetahuan dan soft skill lainnya. Maka, melanjutkan pendidikan adalah langkah untuk memberdayakan bakat dan keterampilan.
Ilustrasi I:
Ilustrasi II
- PENTINGNYA PENDIDIKAN BAGI SUATU NEGARA
Tak dapat dihindari bahwa daya saing suatu bangsa
sangat tergantung pada kualitas pendidikan di negara tersebut. Tak heran, setiap
negara memiliki departemen yang mengurus pendidikan. Ini menunjukkan bahwa
pendidikan baik secara formal maupun informal adalah hal urgen bagi suatu
negara. Saat ini, kemajuan dalam pendidikan menjadi salah satu tolok ukur
ketahanan suatu negara.
Publikasi The
Global Competitiveness Report yang diterbitkan oleh World Economic Forum pada tahun 2008 menunjukkan bagaimana daya
saing Indonesia dalam persaingan global. Pada tahun 2008, peringkat daya saing
Indonesia berdasarkan Growth
Competitiveness Index berada di urutan ke–55 dari 134 negara. Prestasi
Indonesia di 2008 tersebut relatif tidak mengalami kemajuan dibandingkan
prestasi tahun 2007 yang berada di urutan 54 dari 131 negara (Sumber: World Economic Forum - The Global
Competitiveness Report tahun 2008-2009).
Permasalahan krusial yang dihadapi bangsa ini,
yang menyangkut pemberdayaan sumber daya manusia antara lain ialah jumlah
penduduk 219,20 juta (BPS, 2006); Pertumbuhan angkatan kerja lebih besar daripada
ketersediaan lapangan kerja; Ditribusi penduduk antar daerah tidak merata;
Ketidaksesuaian kompetensi SDM dengan pasar kerja; Ketidak-seimbangan kebutuhan
layanan publik dengan jumlah petugas; Distribusi informasi tentang pasar kerja
yang lambat atau timpang; permintaan tenaga kerja yang belum terpetakan dengan
baik; Tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan secara simultan menyebabkan
rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan, dan pada akhirnya menyebabkan
rendah kualitas SDM Indonesia.
- BERKACA PADA SISTEM PENDIDIKAN NEGARA MAJU
Pendidikan adalah hak segala bangsa. Pendidikan
tidak memandang suku/ras dan agama. Pendidikan bagi semua warga dijamin oleh
negara. Pada Pasal 28C UUD 1945 dinyatakan bahwa pendidikan merupakan salah
satu hak asasi manusia. Selanjutnya pada Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 dinyatakan
bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan negara wajib
membiayainya. Walaupun demikian, tidak seutuhnya biaya dapat ditanggung oleh
negara.
Suku/kaum/agama apa pun, mata pencaharian apa pun:
jangan minder. Ada ungkapan orang tua yang agak keliru, misalnya: damang sekolah loe hia’t bapa hok ta… Secara
psikologis, ungkapan semacam ini telah melemahkan mental anak kita: ata bapa? Prinsip kuno: saya buruh, maka
anak juga jadi buruh. Bahkan anak usia sekolah dijadikan tenaga kerja keluarga.
Tidak heran, banyak anak putus sekolah atau hanya mengenyam pendidikan dasar.
Hal ini tidak terlepas dari tekanan ekonomi yang dialami rakyat di negara ini.
Hasil Studi
Political and Economical Risk Consultancy (PERC) tahun 2005, mencerminkan
betapa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia saat ini. Derajat pendidikan
Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia berada pada posisi
paling buncit di bawah Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan Filipina,
berada di atas Indonesia. Indikator yang digunakan oleh PERC antara lain: (1)
Impresi keseluruhan tentang sistem pendidikan di suatu negara; (2) Proporsi
penduduk yang memiliki pendidikan dasar; (3) Proporsi penduduk yang memiliki
pendidikan menengah; (4) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan perguruan
tinggi; (5) Jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja produktif; (6)
Ketersediaan tenaga kerja produktif berkualitas tinggi; (7) jumlah biaya untuk
mendidik tenaga kerja; (8) Ketersediaan staf manajemen; (9) Tingkat keterampilan
tenaga kerja; (10) semangat kerja (work
ethic) tenaga kerja; (11) Kemampuan berbahasa Inggris; (12) Kemampuan
berbahasa asing selain bahasa Inggris; (13) Kemampuan penggunaan teknologi
tinggi; (14) Tingkat keaktifan tenaga kerja; (15) Frekuensi perpindahan atau
pergantian tenaga kerja (labour turnover).
Dilansir majalah Forbes, pada tahun 2014,
Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk kategori terendah dalam hal
pelaku pendidikan (forbes.com, diakses 26 Juli 2015). Dari 40 negara Indonesia
menduduki peringkat 40, di bawah Brazil (urutan 38), Thailand (35) dan Chile
(32).
Padahal dari segi prosentase (%) dana pendidikan
sebagaimana dilansir pearson.com (diakses
26 Juli 2015), Indonesia berada di urutan ke 9, berada di atas Amerika Serikat
(urutan 21) dan Inggris (urutan 20). Untuk negara Asia Tenggara, prosentase pengeluaran
dana pendidikan Indonesia berada di atas Thailand (urutan 11). Tetapi kita tak
perlu miris, sebab prosentase dana pendidikan negara raksasa seperti AS dan
Inggris memang harus berbeda dengan APBN negara kita. Dua negara raksasa
tersebut banyak menggelontorkan uangnya untuk anggaran pertahanan/militer.
·
BAGAIMANA
SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA JIKA DIBANDING NEGARA LAIN?
Kita tak usah minder, sebab sebenarnya, system
pendidikan negara kita tidak terlalu berbeda dengan negara lain. Sebagai
perbandingan, berikut ini ditampilkan system pendidikan AS dengan Indonesia.
Sistem
pendidikan kita:
a. Pendidikan Dasar/9 tahun (SD dan SMP/Mts)
b. Pendidikan Menengah/3 tahun (SMA/SMK/MA)
c. Pendidikan Tinggi/3-5 tahun (Akademi/Sekolah
Tinggi/Universitas)
Sistem
pendidikan AS
AS menerapkan beberapa pola sebagai berikut (srirahmadena’s blogspot.com, diakses 26 Juli
2015):
a.
TK + Pendas
grade 1-8 + 4 tahun SLTA
b.
TK + SD grade
1-6 tahun + 3 tahun SLTP + 3 tahun SLTA
c.
TK + SD grade
1-4/5 + 4 tahun SLTP + 4 tahun SLTA
d.
Setelah
menyelesaikan pendidikan tingkat TK + 12 tahun, pada beberapa negara bagian di
AS dilanjutkan dengan 2 tahun di akademi (junior
community college) sebagai bagian dari system pendidikan dasar dan menengah.
Di
Amerika Serikat, pendidikan diberikan secara gratis selama 12 tahun mulai dari
TK. Dengan desentralisasi yang tegas,
setiap negara bagian di AS secara mandiri merancang kurkulum pendidikannya. Ini
agak mirip dengan KTSP di Indonesia.
- PERAN ORANG TUA DALAM MENDUKUNG MUTU PENDIDIKAN
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah hanyalah membantu kelanjutan
pendidikan dalam keluarga. Peralihan bentuk pendidikan keluarga ke sekolah
memerlukan kerja sama antara orang tua (keluarga) dan pendidik (sekolah).
Fungsi dan peranan keluarga, disamping pemerintah
dan masyarakat, dalam Sisdiknas Indonesia tidak terbatas hanya pendidikan
keluarga saja, akan tetapi keluarga ikut serta bertanggung jawab terhadap pendidikan
lainnya (mendukung/memotivasi anak dalam pendidikan formal: kebutuhan pokok di
sekolah dan pendanaan).
Peran keluarga (orang tua) sangat fital, karena
(1) keluarga merupakan lembaga pertama dan utama terjadinya pendidikan dan
penanaman nilai karakter bagi seorang anak, (2) keluarga merupakan penentu arah
pendidikan anak, dan (3) keluarga merupakan sumber utama pendanaan serta sumber
utama motivasi bagi seorang anak, dan (4) keluarga dengan mudah memantau
perkembangan pendidikan anak.
Pendidian dalam keluarga terjadi secara alamiah,
tanpa ada aturan baku, tanpa kurikulum. Dalam lingkup yang lebih luas, hal ini
terjadi dalam masyarakat. Inilah yang membuat pendidikan dalam keluarga dan
masyarakat bersifat informal. Dalam hal ini seorang anak hidup dan berkembang
dengan menyerap nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, tanpa melalui kegiatan
pembelajaran yang diatur regular, tanpa roster khusus. Keluarga dan masyarakat
sangat menentukan perkembangan karakter seorang anak.
(1)
Pendidikan karakter dalam keluarga
Pendidikan keluarga (dan masyarakat) merupakan
bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga
dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.
Pendidikan keluarga itu merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa melalui pengalaman seumur hidup.
Mengapa tingkah anak-anak muda kita begini? Ini
menjadi keluhan kebanyakan orang tua dalam masyarakat. Keluhan ini timbul
karena adanya perilaku menyimpang, perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
kebajikan dalam masyakarat. Perilaku ini umumnya terjadi pada anak-anak yang
telah mengenyam pendidikan. Padahal pendidikan kita telah tertata rapi, seperti
paparan singkat sebelumnya. Dari beberapa cerita teman, di negara barat, anak
diberi kebebasan dan tidak dipingit-pingit orang tua.
Beberapa hal mendasar yang penting untuk diperhatikan
pihak keluarga (dan masyarakat) untuk mendukung pembentukan karakter adalah sebagai berikut (Abdul, 2007):
a)
Memahami makna mendidik
Makna
mendidik adalah seperti yang telah tertulis pada bagian definisi pendidikan. Dorothy Law Nolte (dalam Jalaludin, 2005)
menyatakan bahwa orang tua harus memahami benar apa makna dari mendidik
sehingga tidak berpendapat bahwa mendidik adalah melarang, menasehat atau
memerintah si anak. Tetapi harus dipahami bahwa mendidik adalah proses memberi
pengertian atau pemaknaan kepada si anak agar si anak dapat memahami lingkungan
sekitarnya dan dapat mengembangkan dirinya secara bertanggung jawab. Proses
memberi pengertian atau pemaknaan ini dapat melalui komunikasi maupun
teladan/tindakan, contoh: jika ingin anak disiplin maka orang tua dapat memberi
teladan kepada si anak akan hal-hal yang baik dan beretika atau orang tua
menciptakan komunikasi dengan si anak yang dialogis dengan penuh keterbukaan,
kejujuran dan ketulusan. Apabila kita mengedepankan sikap memerintah, menasehat
atau melarang maka langsung ataupun tidak akan berdampak pada sikap anak yang
bergaya otoriter dan mau menang sendiri.
b)
Hindari mengancam, membujuk atau
menjanjikan hadiah
Membujuk dengan menjanjikan hadiah karena hal ini
akan melahirkan ketergantungan anak terhadap sesuatu hal baru dia melakuka
sesuatu. Hal ini akan mematikan motivasi, kreatifitas, insiatif dan pengertian
serta kemandirian mereka terhadap hal-hal yang harus dia kerjakan.
c)
Hindari sikap otoriter, acuh tak acuh,
memanjakan dan selalu khawatir
Seorang anak akan dapat mandiri apabila dia punya
ruang dan waktu baginya untuk berkreasi sesuai dengan kemampuan dan rasa
percaya diri yang dimilikinya. Ini harus menjadi perhatian bersama karena hal
tersebut dapat muncul dari sikap orang tuanya sendiri yang sadar atau tidak
sadar ditampakkan pada saat interaksi terjadi antara ayah dan ibu dengan anak.
Sehingga anak-anak akan termotivasi untuk mengaktualisasika potensi yang ada
pada dirinya tanpa adanya tekanan atau ketakutan.
d)
Memahami bahasa non verbal
Memarahi anak yang melakukan kesalahan adalah
sesuatu yang tidak efektif melainkan kita harus mendalami apa penyebab si anak
melakukan kesalahan dan memahami perasaan si anak. Oleh karena itu perlu
dikembangkan bahasa non verbal sebagai suatu upaya efektif untuk memahami
masalah dan perasaan si anak. Bahasa non verbal adalah dengan memberi sentuhan,
pelukan, menatap, memberi senyuman manis atau meletakkan tangan di bahu untuk
menenangkan si anak, sehingga si anak merasa nyaman untuk mengungkapkan apa
yang dipikirkan atau perasaannya.
e)
Membantu anak memecahkan persoalan
secara bersama.
Pada kondisi tertentu dibutuhkan keterlibatan kita
sebagai orang tua untuk memecahkan masalah yang dihadapi si anak. Dalam hal
membantu anak memecahkan persoalan anak, kita harus melakukannya dengan tetap
menjunjung tinggi kemandiriannya.
f)
Menjaga keharmonisan dalam keluarga.
Ayah dan Ibu sering bertengkar dan berselisih
bahkan melakukan kekerasan di depan anak-anak, sehingga anak-anak mencontoh
dengan bertindak tidak menghargai teman sebayanya atau melakukan kekerasan pula
pada temannya.
Sebagai tambahan, Dorothy Law Nolte (dalam
Jalaludin, 2005) menyatakan beberapa hal berikut:
a)
Jika anak dibesarkan
dengan celaan, ia akan belajar memaki
b)
Jika anak
dibesarkan dengan cemoohan, ia akan belajar rendah diri
c)
Jika anak
dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri
d)
Jika anak
dibesarkan dengan pujian, ia akan belajar menghargai
e)
Jika anak
dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia akan belajar keadilan
f)
Jika anak
dibesarkan dengan rasa aman, ia akan belajar menaruh kepercayaan
g)
Jika anak
dibesarkan dengan dukungan, ia akan belajar menghargai dirinya
h)
Jika anak
dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan belajar menemukan
cinta dalam kehidupan.
(2) Keluarga merupakan penentu arah pendidikan anak
Selain penanaman nilai-nilai dasar karakter,
keluarga juga berperan penting dalam menentukan arah pendidikan anak. Sebaiknya,
keluarga mempertimbangkan bakat seorang anak dalam menentukan lanjutan
pendidikannya, bukan sekedar ikut ramai-ramai memilih jurusan tertentu.
Pendidikan yang sesuai bakat akan sangat menentukan mutu diri seorang
anak.
Masyarakat (lingkungan) juga ikut menentukan arah
pendidikan seorang anak. Secara nyata, ada banyak kasus bahwa ketersediaan
lapangan kerja di tengah masyarakat atau kebutuhan masyarakat akan tenaga
berpendidikan tertentu, memotivasi seorang anak dalam memilih jurusannya.
Khsusus di wilayah kita, persaingan menuju Pegawai Negeri Sipil sering menjadi
pertimbangan pilihan jurusan seorang anak.
(3)
Keluarga
merupakan sumber utama pendanaan serta sumber utama motivasi bagi seorang anak
Pendanaan pendidikan menjadi penentu suksesnya
pendidikan formal seorang anak. Ketersediaan dana merupakan motivasi besar bagi
seorang anak. Walaupun pemerintah berupaya menyelenggarakan pendidikan (tingkat
dasar dan menengah) secara gratis, namun sokongan pihak keluarga adalah hal
mutlak.
Fenomena yang umum terjadi akhir-akhir ini adalah
sekolah-sekolah bermutu (unggulan) mematok biaya pendidikan mahal. Ini berarti
ketersediaan dana juga sangat mempengaruhi mutu pendidikan.
Suatu keunggulan dalam budaya masyarakat Manggarai
adalah adanya jiwa gotong-royong (pesta sekolah) untuk menyokong dana
pendidikan. Ditinjau dari waktu, jiwa gotong royong ini sangat membantu untuk
menyediakan biaya pendidikan dalam jumlah besar. Pada prinsipnya, keterlibatan
satu keluarga dalam arisan/pesta sekolah adalah menabung atau meminjam uang.
Sehingga keluarga tetap menjadi penyokong utama dana pendidikan yang bersumber
dari masyarakat.
(4)
Peran
mengontrol pendidikan anak
Peran ini dapat dijalankan melalui adanya
konsultasi atau pengecekkan kegiatan dan hasil kegiatan belajar anak. Orang tua
bisa datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang
dialami anaknya.
- PERAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Dirinci dari tingkat partisipasi terendah ke
tinggi, berikut ini merupakan peran serta masyarakat yaitu:
a)
Peran serta
dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia. Pada tingkatan ini masyarakat
hanya memanfaatkan jasa sekolah untuk mendidik anak-anak mereka.
b)
Peran serta
dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Pada PSM (Peran Serta
Masyarakat) jenis ini masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan
fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang, atau tenaga.
c)
Peran serta
secara pasif. Masyarakat dalam tingkatan ini menyetujui dan menerima apa yang
diputuskan pihak sekolah (komite sekolah), misalnya komite sekolah memutuskan
agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orang tua
menerima keputusan itu dengan mematuhinya.
d)
Peran serta
dalam pelayanan. Orang tua/masyakarat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya
orang tua ikut membantu sekolah ketika ada studi tur, pramuka, kegiatan
keagamaan, dsb.
e)
Peran serta
sebagai pelaksana kegiatan. Misalnya sekolah meminta orang tua/masyarakat untuk
memberikan penyuluhan pentingnya pendidikan, masalah jender, gizi, dsb. Dapat
pula misalnya, berpartisipasi dalam mencatat anak usia sekolah di lingkungannya
agar sekolah dapat menampungnya, menjadi nara sumber, guru bantu, dsb.
f)
Peran serta
dalam pengambilan keputusan. Orang tua/masyarakat terlibat dalam pembahasan
masalah pendidikan baik akademis maupun non akademis, dan ikut dalam proses
pengambilan keputusan dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Saat KTS
berlaku, RPS merupakan agenda rutin di awal tahun ajaran.
- PERAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN
Pemerintah adalah penyokong utama pendidikan suatu
negara. Walaupun tidak semua level pendidikan dan tidak sepenuhya pendidikan diselenggarakan
secara gratis, namun peran pemerintah sangat vital. Pemerintah menentukan
kebijakan pendidikan, menyusun kurikulum pendidikan, menyelenggarakan pelatihan/pendidikan
khusus, dan menyediakan sarana/prasarana.
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan
oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan
berbasis masyarakat menurut Sihombing (2001) adalah: peran sebagai pelayan
masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran sebagai
mitra dan peran sebagai penyandang dana. Selain itu, pemerintah juga berperan
sebagai evaluator dan pengontrol mutu.
(a) Sebagai Pelayan Masyarakat
Dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat
seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan
pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan
kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat
dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat
memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani.
Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.
(b) Sebagai Fasilitator
Pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang
ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu
menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan
peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat,
mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat
merasa terbebani.
(c) Sebagai Pendamping
Walaupun kekuasaan pemerintah begitu besar, tetai
pemerintah bukanlah penentu segalanya dalam pengembangan program belajar. Dalam
hal ini, pemerintah dapat berperan sebagai pendamping masyarakat yang siap menentukan
tindakan/solusi atas pertimbangan bersama dengan pihak sekolah atau masyarakat.
Kemampuan aparat pemerintah sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas,
mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang
dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan. Sebagai pendamping, mereka
dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan
diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani
(mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi
penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun
karsa ( bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai
pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat (Ing ngarsa sung
tulodo).
(d)
Sebagai Mitra
Apabila kita berangkat dari konsep pemberdayaan
yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap
sebagai mitra. Cukup sulit jika hanya mengandalkan masyarakat dalam menentukan
program pendidikan. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal,
sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang
sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui
sendiri.
Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling
memberi, saling mengisi, dan saling mendukung. Pemerintah sebaiknya tidak
berseberangan dengan masyarakat, sebaliknya pemerintah senantiasa membuat
masyarakat aktif dan membangkitkan kreativitas masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan.
(e) Sebagai Penyandang Dana
Pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang
dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu
maupun ekonomi. Belajar bukan sekedar untuk dapat ilmu dan pengetahuan semata,
tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak. Untuk itu
diperlukan modal sebagai penyokong agar seorang anak bangsa belajar dan siap
menjadi tenaga terdidik dan terampil.
Dana sokongan pemerintah sangat penting untuk pengadaan
sarana/prasarana, yang dapat dilakukan misalnya
melalui Dana BOS atau DAK. Dana tersebut dipakai untuk membangun gedung, gaji
tenaga pendidik, membeli buku, alat peraga, dan sebagainya. Untuk seluruh nusantara, beban tanggungan pemerintah
tidaklah sedikit. Maka partisipasi
masyarakat tetap diperlukan untuk menyokong pendidikan di negeri ini.
(f)
Sebagai
evaluator dan pengontrol mutu
Peran ini antara lain dijalankan melalui ‘Ujian
Akhir Berstandar Nasional’ pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Melalui
UASBN, pemerintah mengevaluasi dan mengotrol mutu pedidikan di suatu lembaga
pendidikan. Peran ini juga dapat dilakukan melalui akreditasi, di mana berbagai
standar ditetapkan dan dinilai pemerintah.
- PERSOALAN DAN PEMIKIRAN KRITIS UNTUK SITUASI PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN KITA
Beberapa persoalan dan pemikiran kritis terkait
situasi pendidikan di lingkungan kita adalah
a. Anak usia sekolah dijadikan tenaga kerja keluarga
Pulang sekolah, anak ‘wajib’ membantu orang tua:
bekerja di kebun. Dengan maksud tidak mengabaikan pendidikan karakter, orang
tua sebaiknya memperhatikan dan menyadari timbulnya ganggunan belajar akibat
kelelahan.
Ada dua jenis kelelahan: lelah rohani dan lelah
fisik.
Lelah secara rohani: kelesuan dan kebosanan. Maka
minat dan motivasi utuk menghasilkan sesuatu makin berkurang bahkan hilang. Kelelahan
ini sangat terasa di bagian kepala, dengan pusing-pusing sehingga sulit
berkosentrasi. Kelelahan rohani dapat terjadi terus menerus karena memikirkan
persoalan yang berat tanpa istirahat, menghadapi hal-hal yang selalu sama tanpa
variasi.
Lelah secara fisik: tubuh yang lemah lunglai. Maka
siswa (anak kita) sulit untuk belajar.
Cara
mengatasi kelelahan (Slameto, 2003:60):
·
Tidur/istirahat
·
Mengusahakan
variasi dalam belajar, juga dalam bekerja
·
Menggunakan
obat-obat untuk melancarkan peredaran darah. Misalnya obat gosok. Kebiasaan
masyarakat: urut
·
Rekreasi dan
ibadah secara teratur
·
Memakan
makanan dengan gizi seimbang (empat sehat, lima sempurna)
·
Kalau
kelelahan sangat serius, bisa sakit, hubungi dokter
b.
Mahalnya biaya
pendidikan dan kebiasaan tak efektif dalam menyiapkan dana pendidikan anak
Arisan sekolah adalah kegiatan positif, sepanjang
tidak terlalu memboroskan penggunaan produk minuman atau rokok. Penggunaan
minuman memang sulit dihindari, tetapi produk lokal seperti tuak bakok jauh
lebih murah. Pengunaan tuak bakok juga mendukung pemberdayaan masyarakat lokal
dengan menciptakan sirkulasi uang di seputar masyarakat itu sendiri.
Arisan sekolah sama dengan menabung. Misalkan uang
70.000 disimpan di saku celana sendiri, nasib uang ini terancam. Mungkin lagi
jenuh, rokok dan nescafe dibelikan, maka habislah uang ini. Kalau disetor ke
arisan sekolah, tersimpan selama beberapa tahun, uang 70.000 awet!
c. Masih ada orientasi primitif dalam pendidikan:
hanya untuk tahu tulis dan baca
Padahal
pendidikan juga untuk membentuk karakter, mengembangkan keterampilan dan siap
menjadi tenaga kerja terididik atau terlatih.
d. Masih ada prinsip kuno: menyekolahkan anak wanita
sama dengan membiayai pendidikan istri orang.
Anak wanita memiliki hak penuh untuk dibiayai
pendidikannya. Pendidikan itu sendiri merupakan hak asasi (Pasal 28C UUD 1945).
Maka, mengabaikan pendidikan anak wanita adalah pelanggaran terhadap hak asasi
anak.
Jika prinsip “sekolah
te cood wina data” dipertahankan secara luas, maka orang tua membentuk
suatu habitat bernuansa negatif bagi wanita, yang meruntuhkan mental anak
wanita, mematikan motivasi anak wanita, bahkan secara tidak langsung menyuruh
anak wanita untuk segera mencari suami. Ini tidak mendukung terciptanya
masyarakat yang adil dan cerdas.
e. Rapuhnya daya saring dan ketahanan terhadap sajian
produk teknologi
Saat ini,
tawaran komunikasi canggih begitu simple dilakukan, murah dan meriah. Dalam
hening dibungkus selimut, seorang remaja tanpa didengar suaranya oleh orang tua
melakukan komunikasi melewati ambang batas tata bahasa, melewati batas waktu.
Ada banyak
anak remaja tidak mampu melakukan penyaringan penggunaan menu pada produk
komunikasi dan produk elektronik lainnya. Semua dipakai tanpa mempertimbangkan
resiko negatif dari pemakaian menu tersebut. Bahkan ada anak yang belum cukup
umur melakukan akses ke menu yang tak wajar.
Ini terjadi
karena minimnya wawasan pengetahuan anak tentang resiko negatif suatu menu.
Dalam masyarakat kita, pihak orang tua tidak mungkin melakukan diskusi tentang
topic kedewasaan seksualitas. Karea hal itu dianggap tabu dalam budaya kita.
Produk
teknologi dengan sajian menu membuat remaja terhipnotis, sulit mengendalikan
diri. Sebab gambar dan suara dapat dibuat sekaligus dapat dikirim oleh alat satu
alat yang sama.
Orang tua
hampir tak berdaya menghadapi hal ini. Salah satu tawaran solusi adalah membatasi
spesifikasi menu produk teknologi yang dipegang anak.
REFERENSI
Laporan Studi Political and
Economical Risk Consultancy (PERC) tahun 2005.
Laporan World Economic Forum -
The Global Competitiveness Report Tahun 2008-2009.
Latif, Abdul. 2007. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan.
Bandung: Refika Aditama.
Tim Bappenas. 2008. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua.
Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Jakarta:
Bappenas
Rahmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Slameto. 2013. Belajar dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta: Rineke Cipta.
Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Jakarta: Kemdikbud
UUD 1945 (amandemen terakhir)
forbes.com,
diakses 26 Juli 2015
pearson.com
(diakses 26 Juli 2015)
srirahmadena’s
blogspot.com, diakses 26 Juli 2015
No comments:
Post a Comment