Wednesday, August 10, 2016

PENDIDIKAN ANAK KITA: URGENSI DAN PERSOALANNYA DI ERA GLOBAL



  SEBASTIANUS FEDI, S.Si,M.Pd
Dipaparkan pada Kegiatan Ilmiah Kemasyarakatan, di Desa Golo Rentung, Lamba Leda, Manggarai Timur
  1. PENDAHULUAN: APA ITU PENDIDIKAN?
Secara awam, pendidikan diidentikkan dengan sekolah (pendidikan formal). Sementara, salah satu sifat dan kemampuan dasar manusia adalah cenderung meniru dan mengubah perilaku berdasarkan perilaku/perbuatan orang lain yang telah disaksikannya. Di lain pihak, pendidikan sebenarnya adalah kegiatan menuntun orang yang belum dewasa atau belum mahir sehingga menjadi lebih dewasa atau lebih mahir. Seorang yang aktif  berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan, misalnya koor gereja, menata acara pengumpulan dana sekolah, dan sebagainya; walaupun bukan diatur pihak sekolah/bukan kegiatan regular pihak pendidikan, secara tidak langsung telah ‘mendidik’ orang lain untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Hal seperti ini termasuk dalam kategori “mendidik”.
Ada banyak hal di mana perilaku generasi muda merupakan tiruan generasi pendahulu. Situasi ini, dalam masyarakat Manggarai dikenal dengan ungkapan: “loda wua haju, toe manga tadang one mai puun”. Ini mengandung wejangan bahwa kebiasaan orang tua akan diikuti oleh anaknya. Walaupun dalam perkembangan mental seorang anak juga dipengaruhi oleh lingkungan. Di sini, apa yang telah tersaji di hadapan seorang anak, akan menjadi bahan pembelajaran yang dapat ditirunya.
Secara harafiah, “didik” berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (KBBI, 2008:352). Maka pendidikan berarti perbuatan memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan terjadi melalui perbuatan.
Ada suatu ungkapan Cina kuno: “saya mendengar dan saya lupa,  saya melihat dan saya ingat, saya melakukan dan saya mengerti”. Ini berarti, ada baiknya siswa didik melalui perbuatan atau siswa sendiri yang melakukan. Hal ini mendasari penggunaan alat peraga dalam urusan pendidikan.
Arti Pendidikan Menurut Ahli
a)   Langeneld:
Setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
b)   Ki Hajar Dewantara
Menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
c)    UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Apa yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas, sejalan dengan pikiran filsuf terkenal J.J. Rousseau (1712-1778) bahwa pendidikan memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa
Jika ada perbuatan mendidik, maka harus ada pendidiknya. Pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik.
• Siapa saja pendidik itu?
ü  Guru,
ü  Orang tua,
ü  Masyarakat,
ü  Siswa itu sendiri (mendidik diri sendiri atau sejawat)
  1. PENDIDIKAN DAN TUNTUTAN ZAMAN
Kemajuan dunia jelas dipengaruhi kemajuan pendidikan. Sebaliknya, kemajuan yang telah dicapai akan memberi dampak bagi pendidikan, baik dampak positif maupun dampak negatif. Untuk contoh, tidak salah jika kita beranggapan bahwa: dokter hebat lahir dari pendidikan yang hebat. Guru yang bermutu pasti telah mengalami kegiatan ‘pendidikan bermutu’ sebelumnya. Ini berarti pendidikan menjadi sumber kemajuan.
Sebaliknya, kemajuan teknologi secara positif memberikan kemudahan bagi seorang peserta didik untuk belajar. Misalnya, mendapatkan sumber belajar melalui akses internet, mengerjakan tugas-tugas belajar dengan bantuan software tertentu di komputer.     
Ini berarti, mutu lulusan pendidikan tidak serta merta karena keunggulan dan nama besar lembaga pendidikan. Masih ada faktor lain, misalnya dukungan teknologi pembelajaran, selain faktor intern seperti kemauan, keseriusan, dan kemandirian belajar serta bakat dan kecerdasan!
Harus disadari bahwa dalam era globalisasi, revolusi teknologi menghantar kita ke cara kerja modern di mana ada banyak pekerjaan/urusan memakai produk berteknologi tinggi, yang memberi banyak keunggulan dalam menyelesaikan pekerjaan. Maka kita dituntut mahir menggunakan berbagai produk berteknologi tinggi yang relevan dengan pekerjaan kita. Tuntutan ini, sudah pasti diikuti tuntutan mutu pendidikan yang mumpuni. Di sinilah timbul urgensi pendidikan bagi seorang anak.
Contoh sederhana:
a)   Dahulu dokumen tertulis “maksimal” dicetak dengan mesin tik. Kini, pelan tapi pasti, mesin tik diganti perangkat komputer. Pekerjaan menjadi lebih mudah, asal kita menguasai teknologi computer, minimal cara mengoperasikannya.
b)   Zaman dahulu banyak petani mencari tanah subur dan meningkatkan hasil panenan dengan system ladang berpindah. Tak masalah, areal pertanian masih luas!
Pada zaman ini, manusia makin banyak, areal pertanian makin berkurang. Ladang berpindah tak berlaku lagi.
Mau atau tidak mau, kita dituntut untuk bertani secara modern: andalkan temuan ilmiah lewat dunia pendidikan untuk meningkatkan hasil pertanian pada luasan tanah yang sama: intensifikasi pertanian.
Ini butuh ilmu, pengetahuan dan teknologi pertanian yang mumpuni. Bukan sekedar menanam, tetapi disertai pertimbangan ilmiah: jenis tanaman, cara tanam, merawat tanaman, dan cara pemasaran.
Pada era global, pendidikan menjadi sangat urgen bagi anak-anak kita. Ada banyak pekerjaan menuntut ijazah sebagai syarat utama, disertai keterampilan tertentu. Bahkan, sekalipun hanya ingin menjadi petani, sudah saatnya kita bertani secara ilmiah. Di sini, kehadiran produk-produk pertanian berteknologi tinggi, dapat digunakan secara efektif jika kita memahami konsep ilmu yang menyertai produk tertentu.  
Tuntututan perkembangan global, disambut pemerintah kita dengan langkah menetapkan batasan “ijazah” untuk mengemban tugas tertentu. Ini dilakukan agar mutu sumber daya manusia kita tidak kalah dari tuntutan perkembangan global. Maka kebutuhan pendidikan makin urgen.
·       Belajar: tak mengenal batas
Bisa terjadi bahwa seseorang memiliki ijazah namun belum prima dalam menjalankan tugas/pekerjaan tertentu sesuai tuntutan terkini. Ini lumrah sebagai manusia: tidak bisa sempurna dalam segala hal pada setiap waktu. Masih perlu belajar dan mengembangkan diri.
Walaupun ijazah dianggap sebagai representasi legalitas bahwa seseorang telah dididik dan memiliki wawasan ilmu/pengetahuan sesuai tingkat pendidikannya, namun bukan hanya ijazah, ilmu/pengetahuan harus di-update dan keterampilan terus dikembangkan untuk mendukung ijazah. Kegiatan pelatihan dan ‘pendidikan khusus’ tetap diperlukan. Maka secara prinsip, pendidikan tidak statis, pendidikan harus tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Ilustrasi khusus: (a) Seorang sarjana matematika mengikuti pelatihan sebelum menjalankan tugas sebagai anggota PPS dalam pemilu, (b) mengikuti pelatihan software matematika untuk mendukung kegiatan pembelajaran di kelas, (c) guru mempelajari dan membuat instrumen dan metode-metode pembelajaran yang sesuai perkembangan zaman.
·       Bagaimana jika: karakter bagus, berbakat dan terampil tapi tidak berijazah?
Ini ibarat sopir lincah, tapi tidak memiliki SIM. Atau sarjana matematika murni masuk ke kelas tanpa akta mengajar. Terampil itu menghidupkan! Tetapi aturan membuat hidup jadi lebih nyaman.



Banyak kenyataan bahwa seorang memiliki keterampilan dan berbakat sehingga memiliki penghasilan tetap atas keterampilan dan bakat tersebut. Itu sudah sangat nyata di lingkungan kita. Alangkah bagus jika keterampilan didukung ijazah. Pada masa kini, umumnya keterampilan menjadi syarat pengikut untuk memenangi persaingan antar tenaga kerja. Syarat utama adalah berijazah, karena ijazah dinilai sebagai legalitas penguasaan konsep ilmu, wawasan pengetahuan dan soft skill lainnya. Maka, melanjutkan pendidikan adalah langkah untuk memberdayakan bakat dan keterampilan.
Ilustrasi I:
Ilustrasi II
  1. PENTINGNYA PENDIDIKAN BAGI SUATU NEGARA
Tak dapat dihindari bahwa daya saing suatu bangsa sangat tergantung pada kualitas pendidikan di negara tersebut. Tak heran, setiap negara memiliki departemen yang mengurus pendidikan. Ini menunjukkan bahwa pendidikan baik secara formal maupun informal adalah hal urgen bagi suatu negara. Saat ini, kemajuan dalam pendidikan menjadi salah satu tolok ukur ketahanan suatu negara.
Publikasi The Global Competitiveness Report yang diterbitkan oleh World Economic Forum pada tahun 2008 menunjukkan bagaimana daya saing Indonesia dalam persaingan global. Pada tahun 2008, peringkat daya saing Indonesia berdasarkan Growth Competitiveness Index berada di urutan ke–55 dari 134 negara. Prestasi Indonesia di 2008 tersebut relatif tidak mengalami kemajuan dibandingkan prestasi tahun 2007 yang berada di urutan 54 dari 131 negara (Sumber: World Economic Forum - The Global Competitiveness Report tahun 2008-2009).
Permasalahan krusial yang dihadapi bangsa ini, yang menyangkut pemberdayaan sumber daya manusia antara lain ialah jumlah penduduk 219,20 juta (BPS, 2006); Pertumbuhan angkatan kerja lebih besar daripada ketersediaan lapangan kerja; Ditribusi penduduk antar daerah tidak merata; Ketidaksesuaian kompetensi SDM dengan pasar kerja; Ketidak-seimbangan kebutuhan layanan publik dengan jumlah petugas; Distribusi informasi tentang pasar kerja yang lambat atau timpang; permintaan tenaga kerja yang belum terpetakan dengan baik; Tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan secara simultan menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan, dan pada akhirnya menyebabkan rendah kualitas SDM Indonesia.
  1. BERKACA PADA SISTEM PENDIDIKAN NEGARA MAJU
Pendidikan adalah hak segala bangsa. Pendidikan tidak memandang suku/ras dan agama. Pendidikan bagi semua warga dijamin oleh negara. Pada Pasal 28C UUD 1945 dinyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia. Selanjutnya pada Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan negara wajib membiayainya. Walaupun demikian, tidak seutuhnya biaya dapat ditanggung oleh negara.
Suku/kaum/agama apa pun, mata pencaharian apa pun: jangan minder. Ada ungkapan orang tua yang agak keliru, misalnya: damang sekolah loe hia’t bapa hok ta… Secara psikologis, ungkapan semacam ini telah melemahkan mental anak kita: ata bapa? Prinsip kuno: saya buruh, maka anak juga jadi buruh. Bahkan anak usia sekolah dijadikan tenaga kerja keluarga. Tidak heran, banyak anak putus sekolah atau hanya mengenyam pendidikan dasar. Hal ini tidak terlepas dari tekanan ekonomi yang dialami rakyat di negara ini.
Hasil Studi Political and Economical Risk Consultancy (PERC) tahun 2005, mencerminkan betapa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia saat ini. Derajat pendidikan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia berada pada posisi paling buncit di bawah Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan Filipina, berada di atas Indonesia. Indikator yang digunakan oleh PERC antara lain: (1) Impresi keseluruhan tentang sistem pendidikan di suatu negara; (2) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan dasar; (3) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan menengah; (4) Proporsi penduduk yang memiliki pendidikan perguruan tinggi; (5) Jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja produktif; (6) Ketersediaan tenaga kerja produktif berkualitas tinggi; (7) jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja; (8) Ketersediaan staf manajemen; (9) Tingkat keterampilan tenaga kerja; (10) semangat kerja (work ethic) tenaga kerja; (11) Kemampuan berbahasa Inggris; (12) Kemampuan berbahasa asing selain bahasa Inggris; (13) Kemampuan penggunaan teknologi tinggi; (14) Tingkat keaktifan tenaga kerja; (15) Frekuensi perpindahan atau pergantian tenaga kerja (labour turnover).
Dilansir majalah Forbes, pada tahun 2014, Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk kategori terendah dalam hal pelaku pendidikan (forbes.com, diakses 26 Juli 2015). Dari 40 negara Indonesia menduduki peringkat 40, di bawah Brazil (urutan 38), Thailand (35) dan Chile (32).
Padahal dari segi prosentase (%) dana pendidikan sebagaimana dilansir pearson.com (diakses 26 Juli 2015), Indonesia berada di urutan ke 9, berada di atas Amerika Serikat (urutan 21) dan Inggris (urutan 20). Untuk negara Asia Tenggara, prosentase pengeluaran dana pendidikan Indonesia berada di atas Thailand (urutan 11). Tetapi kita tak perlu miris, sebab prosentase dana pendidikan negara raksasa seperti AS dan Inggris memang harus berbeda dengan APBN negara kita. Dua negara raksasa tersebut banyak menggelontorkan uangnya untuk anggaran pertahanan/militer.
·          BAGAIMANA SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA JIKA DIBANDING NEGARA LAIN?
Kita tak usah minder, sebab sebenarnya, system pendidikan negara kita tidak terlalu berbeda dengan negara lain. Sebagai perbandingan, berikut ini ditampilkan system pendidikan AS dengan Indonesia.
Sistem pendidikan kita:
a.   Pendidikan Dasar/9 tahun (SD dan SMP/Mts)
b.   Pendidikan Menengah/3 tahun (SMA/SMK/MA)
c.    Pendidikan Tinggi/3-5 tahun (Akademi/Sekolah Tinggi/Universitas)


Sistem pendidikan AS
AS menerapkan beberapa pola sebagai berikut (srirahmadena’s blogspot.com, diakses 26 Juli 2015):
a.   TK + Pendas grade 1-8 + 4 tahun SLTA
b.   TK + SD grade 1-6 tahun + 3 tahun SLTP + 3 tahun SLTA
c.    TK + SD grade 1-4/5 + 4 tahun SLTP + 4 tahun SLTA
d.   Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat TK + 12 tahun, pada beberapa negara bagian di AS dilanjutkan dengan 2 tahun di akademi (junior community college) sebagai bagian dari system pendidikan dasar dan menengah.
Di Amerika Serikat, pendidikan diberikan secara gratis selama 12 tahun mulai dari TK.  Dengan desentralisasi yang tegas, setiap negara bagian di AS secara mandiri merancang kurkulum pendidikannya. Ini agak mirip dengan KTSP di Indonesia.
  1. PERAN ORANG TUA DALAM MENDUKUNG MUTU PENDIDIKAN
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah hanyalah membantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga. Peralihan bentuk pendidikan keluarga ke sekolah memerlukan kerja sama antara orang tua (keluarga) dan pendidik (sekolah).
Fungsi dan peranan keluarga, disamping pemerintah dan masyarakat, dalam Sisdiknas Indonesia tidak terbatas hanya pendidikan keluarga saja, akan tetapi keluarga ikut serta bertanggung jawab terhadap pendidikan lainnya (mendukung/memotivasi anak dalam pendidikan formal: kebutuhan pokok di sekolah dan pendanaan).
Peran keluarga (orang tua) sangat fital, karena (1) keluarga merupakan lembaga pertama dan utama terjadinya pendidikan dan penanaman nilai karakter bagi seorang anak, (2) keluarga merupakan penentu arah pendidikan anak, dan (3) keluarga merupakan sumber utama pendanaan serta sumber utama motivasi bagi seorang anak, dan (4) keluarga dengan mudah memantau perkembangan pendidikan anak.
Pendidian dalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa ada aturan baku, tanpa kurikulum. Dalam lingkup yang lebih luas, hal ini terjadi dalam masyarakat. Inilah yang membuat pendidikan dalam keluarga dan masyarakat bersifat informal. Dalam hal ini seorang anak hidup dan berkembang dengan menyerap nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, tanpa melalui kegiatan pembelajaran yang diatur regular, tanpa roster khusus. Keluarga dan masyarakat sangat menentukan perkembangan karakter seorang anak.
(1)     Pendidikan karakter dalam keluarga
Pendidikan keluarga (dan masyarakat) merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan. Pendidikan keluarga itu merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup.
Mengapa tingkah anak-anak muda kita begini? Ini menjadi keluhan kebanyakan orang tua dalam masyarakat. Keluhan ini timbul karena adanya perilaku menyimpang, perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebajikan dalam masyakarat. Perilaku ini umumnya terjadi pada anak-anak yang telah mengenyam pendidikan. Padahal pendidikan kita telah tertata rapi, seperti paparan singkat sebelumnya. Dari beberapa cerita teman, di negara barat, anak diberi kebebasan dan tidak dipingit-pingit orang tua.
Beberapa hal mendasar yang penting untuk diperhatikan pihak keluarga (dan masyarakat) untuk mendukung pembentukan karakter  adalah sebagai berikut (Abdul, 2007):
a)   Memahami makna mendidik
Makna mendidik adalah seperti yang telah tertulis pada bagian definisi pendidikan. Dorothy Law Nolte (dalam Jalaludin, 2005) menyatakan bahwa orang tua harus memahami benar apa makna dari mendidik sehingga tidak berpendapat bahwa mendidik adalah melarang, menasehat atau memerintah si anak. Tetapi harus dipahami bahwa mendidik adalah proses memberi pengertian atau pemaknaan kepada si anak agar si anak dapat memahami lingkungan sekitarnya dan dapat mengembangkan dirinya secara bertanggung jawab. Proses memberi pengertian atau pemaknaan ini dapat melalui komunikasi maupun teladan/tindakan, contoh: jika ingin anak disiplin maka orang tua dapat memberi teladan kepada si anak akan hal-hal yang baik dan beretika atau orang tua menciptakan komunikasi dengan si anak yang dialogis dengan penuh keterbukaan, kejujuran dan ketulusan. Apabila kita mengedepankan sikap memerintah, menasehat atau melarang maka langsung ataupun tidak akan berdampak pada sikap anak yang bergaya otoriter dan mau menang sendiri.
b)   Hindari mengancam, membujuk atau menjanjikan hadiah
Membujuk dengan menjanjikan hadiah karena hal ini akan melahirkan ketergantungan anak terhadap sesuatu hal baru dia melakuka sesuatu. Hal ini akan mematikan motivasi, kreatifitas, insiatif dan pengertian serta kemandirian mereka terhadap hal-hal yang harus dia kerjakan.
c)    Hindari sikap otoriter, acuh tak acuh, memanjakan dan selalu khawatir
Seorang anak akan dapat mandiri apabila dia punya ruang dan waktu baginya untuk berkreasi sesuai dengan kemampuan dan rasa percaya diri yang dimilikinya. Ini harus menjadi perhatian bersama karena hal tersebut dapat muncul dari sikap orang tuanya sendiri yang sadar atau tidak sadar ditampakkan pada saat interaksi terjadi antara ayah dan ibu dengan anak. Sehingga anak-anak akan termotivasi untuk mengaktualisasika potensi yang ada pada dirinya tanpa adanya tekanan atau ketakutan.
d)   Memahami bahasa non verbal
Memarahi anak yang melakukan kesalahan adalah sesuatu yang tidak efektif melainkan kita harus mendalami apa penyebab si anak melakukan kesalahan dan memahami perasaan si anak. Oleh karena itu perlu dikembangkan bahasa non verbal sebagai suatu upaya efektif untuk memahami masalah dan perasaan si anak. Bahasa non verbal adalah dengan memberi sentuhan, pelukan, menatap, memberi senyuman manis atau meletakkan tangan di bahu untuk menenangkan si anak, sehingga si anak merasa nyaman untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan atau perasaannya.
e)    Membantu anak memecahkan persoalan secara bersama.
Pada kondisi tertentu dibutuhkan keterlibatan kita sebagai orang tua untuk memecahkan masalah yang dihadapi si anak. Dalam hal membantu anak memecahkan persoalan anak, kita harus melakukannya dengan tetap menjunjung tinggi kemandiriannya.
f)     Menjaga keharmonisan dalam keluarga.
Ayah dan Ibu sering bertengkar dan berselisih bahkan melakukan kekerasan di depan anak-anak, sehingga anak-anak mencontoh dengan bertindak tidak menghargai teman sebayanya atau melakukan kekerasan pula pada temannya.
Sebagai tambahan, Dorothy Law Nolte (dalam Jalaludin, 2005) menyatakan beberapa hal berikut:
a)   Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia akan belajar memaki
b)   Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia akan belajar rendah diri
c)    Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri
d)   Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia akan belajar menghargai
e)    Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia akan belajar keadilan
f)     Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia akan belajar menaruh kepercayaan
g)    Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia akan belajar menghargai dirinya
h)   Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
(2)  Keluarga merupakan penentu arah pendidikan anak
Selain penanaman nilai-nilai dasar karakter, keluarga juga berperan penting dalam menentukan arah pendidikan anak. Sebaiknya, keluarga mempertimbangkan bakat seorang anak dalam menentukan lanjutan pendidikannya, bukan sekedar ikut ramai-ramai memilih jurusan tertentu. Pendidikan yang sesuai bakat akan sangat menentukan mutu diri seorang anak. 
Masyarakat (lingkungan) juga ikut menentukan arah pendidikan seorang anak. Secara nyata, ada banyak kasus bahwa ketersediaan lapangan kerja di tengah masyarakat atau kebutuhan masyarakat akan tenaga berpendidikan tertentu, memotivasi seorang anak dalam memilih jurusannya. Khsusus di wilayah kita, persaingan menuju Pegawai Negeri Sipil sering menjadi pertimbangan pilihan jurusan seorang anak.  
(3)    Keluarga merupakan sumber utama pendanaan serta sumber utama motivasi bagi seorang anak
Pendanaan pendidikan menjadi penentu suksesnya pendidikan formal seorang anak. Ketersediaan dana merupakan motivasi besar bagi seorang anak. Walaupun pemerintah berupaya menyelenggarakan pendidikan (tingkat dasar dan menengah) secara gratis, namun sokongan pihak keluarga adalah hal mutlak.
Fenomena yang umum terjadi akhir-akhir ini adalah sekolah-sekolah bermutu (unggulan) mematok biaya pendidikan mahal. Ini berarti ketersediaan dana juga sangat mempengaruhi mutu pendidikan.
Suatu keunggulan dalam budaya masyarakat Manggarai adalah adanya jiwa gotong-royong (pesta sekolah) untuk menyokong dana pendidikan. Ditinjau dari waktu, jiwa gotong royong ini sangat membantu untuk menyediakan biaya pendidikan dalam jumlah besar. Pada prinsipnya, keterlibatan satu keluarga dalam arisan/pesta sekolah adalah menabung atau meminjam uang. Sehingga keluarga tetap menjadi penyokong utama dana pendidikan yang bersumber dari masyarakat.
(4)    Peran mengontrol pendidikan anak
Peran ini dapat dijalankan melalui adanya konsultasi atau pengecekkan kegiatan dan hasil kegiatan belajar anak. Orang tua bisa datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya.

  1. PERAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Dirinci dari tingkat partisipasi terendah ke tinggi, berikut ini merupakan peran serta masyarakat yaitu:
a)   Peran serta dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia. Pada tingkatan ini masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah untuk mendidik anak-anak mereka.
b)   Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Pada PSM (Peran Serta Masyarakat) jenis ini masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang, atau tenaga.
c)    Peran serta secara pasif. Masyarakat dalam tingkatan ini menyetujui dan menerima apa yang diputuskan pihak sekolah (komite sekolah), misalnya komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orang tua menerima keputusan itu dengan mematuhinya.
d)   Peran serta dalam pelayanan. Orang tua/masyakarat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orang tua ikut membantu sekolah ketika ada studi tur, pramuka, kegiatan keagamaan, dsb.
e)    Peran serta sebagai pelaksana kegiatan. Misalnya sekolah meminta orang tua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan pentingnya pendidikan, masalah jender, gizi, dsb. Dapat pula misalnya, berpartisipasi dalam mencatat anak usia sekolah di lingkungannya agar sekolah dapat menampungnya, menjadi nara sumber, guru bantu, dsb.
f)     Peran serta dalam pengambilan keputusan. Orang tua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan baik akademis maupun non akademis, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Saat KTS berlaku, RPS merupakan agenda rutin di awal tahun ajaran.


  1. PERAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN
Pemerintah adalah penyokong utama pendidikan suatu negara. Walaupun tidak semua level pendidikan dan tidak sepenuhya pendidikan diselenggarakan secara gratis, namun peran pemerintah sangat vital. Pemerintah menentukan kebijakan pendidikan, menyusun kurikulum pendidikan, menyelenggarakan pelatihan/pendidikan khusus, dan menyediakan sarana/prasarana.
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing (2001) adalah: peran sebagai pelayan masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran sebagai mitra dan peran sebagai penyandang dana. Selain itu, pemerintah juga berperan sebagai evaluator dan pengontrol mutu.
(a)  Sebagai Pelayan Masyarakat
Dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi  masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.
(b)  Sebagai Fasilitator
Pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.

(c)  Sebagai Pendamping
Walaupun kekuasaan pemerintah begitu besar, tetai pemerintah bukanlah penentu segalanya dalam pengembangan program belajar. Dalam hal ini, pemerintah dapat berperan sebagai pendamping masyarakat yang siap menentukan tindakan/solusi atas pertimbangan bersama dengan pihak sekolah atau masyarakat. Kemampuan aparat pemerintah sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan. Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa ( bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat (Ing ngarsa sung tulodo).
(d)  Sebagai Mitra
Apabila kita berangkat dari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Cukup sulit jika hanya mengandalkan masyarakat dalam menentukan program pendidikan. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri.
Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, dan saling mendukung. Pemerintah sebaiknya tidak berseberangan dengan masyarakat, sebaliknya pemerintah senantiasa membuat masyarakat aktif dan membangkitkan kreativitas masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan.  
(e)  Sebagai Penyandang Dana
Pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar bukan sekedar untuk dapat ilmu dan pengetahuan semata, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai penyokong agar seorang anak bangsa belajar dan siap menjadi tenaga terdidik dan terampil.
Dana sokongan pemerintah sangat penting untuk pengadaan sarana/prasarana,  yang dapat dilakukan misalnya melalui Dana BOS atau DAK. Dana tersebut dipakai untuk membangun gedung, gaji tenaga pendidik, membeli buku, alat peraga, dan sebagainya. Untuk seluruh  nusantara, beban tanggungan pemerintah tidaklah sedikit.  Maka partisipasi masyarakat tetap diperlukan untuk menyokong pendidikan di negeri ini.
(f)   Sebagai evaluator dan pengontrol mutu
Peran ini antara lain dijalankan melalui ‘Ujian Akhir Berstandar Nasional’ pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Melalui UASBN, pemerintah mengevaluasi dan mengotrol mutu pedidikan di suatu lembaga pendidikan. Peran ini juga dapat dilakukan melalui akreditasi, di mana berbagai standar ditetapkan dan dinilai pemerintah.
  1. PERSOALAN DAN PEMIKIRAN KRITIS UNTUK SITUASI PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN KITA
Beberapa persoalan dan pemikiran kritis terkait situasi pendidikan di lingkungan kita adalah
a.   Anak usia sekolah dijadikan tenaga kerja keluarga
Pulang sekolah, anak ‘wajib’ membantu orang tua: bekerja di kebun. Dengan maksud tidak mengabaikan pendidikan karakter, orang tua sebaiknya memperhatikan dan menyadari timbulnya ganggunan belajar akibat kelelahan.
Ada dua jenis kelelahan: lelah rohani dan lelah fisik.
Lelah secara rohani: kelesuan dan kebosanan. Maka minat dan motivasi utuk menghasilkan sesuatu makin berkurang bahkan hilang. Kelelahan ini sangat terasa di bagian kepala, dengan pusing-pusing sehingga sulit berkosentrasi. Kelelahan rohani dapat terjadi terus menerus karena memikirkan persoalan yang berat tanpa istirahat, menghadapi hal-hal yang selalu sama tanpa variasi.
Lelah secara fisik: tubuh yang lemah lunglai. Maka siswa (anak kita) sulit untuk belajar.
Cara mengatasi kelelahan (Slameto, 2003:60):
·       Tidur/istirahat
·       Mengusahakan variasi dalam belajar, juga dalam bekerja
·       Menggunakan obat-obat untuk melancarkan peredaran darah. Misalnya obat gosok. Kebiasaan masyarakat: urut
·       Rekreasi dan ibadah secara teratur
·       Memakan makanan dengan gizi seimbang (empat sehat, lima sempurna)
·       Kalau kelelahan sangat serius, bisa sakit, hubungi dokter
b.   Mahalnya biaya pendidikan dan kebiasaan tak efektif dalam menyiapkan dana pendidikan anak
Arisan sekolah adalah kegiatan positif, sepanjang tidak terlalu memboroskan penggunaan produk minuman atau rokok. Penggunaan minuman memang sulit dihindari, tetapi produk lokal seperti tuak bakok jauh lebih murah. Pengunaan tuak bakok juga mendukung pemberdayaan masyarakat lokal dengan menciptakan sirkulasi uang di seputar masyarakat itu sendiri.
Arisan sekolah sama dengan menabung. Misalkan uang 70.000 disimpan di saku celana sendiri, nasib uang ini terancam. Mungkin lagi jenuh, rokok dan nescafe dibelikan, maka habislah uang ini. Kalau disetor ke arisan sekolah, tersimpan selama beberapa tahun, uang 70.000 awet!
c.    Masih ada orientasi primitif dalam pendidikan: hanya untuk tahu tulis dan baca
Padahal pendidikan juga untuk membentuk karakter, mengembangkan keterampilan dan siap menjadi tenaga kerja terididik atau terlatih.
d.   Masih ada prinsip kuno: menyekolahkan anak wanita sama dengan membiayai pendidikan istri orang.
Anak wanita memiliki hak penuh untuk dibiayai pendidikannya. Pendidikan itu sendiri merupakan hak asasi (Pasal 28C UUD 1945). Maka, mengabaikan pendidikan anak wanita adalah pelanggaran terhadap hak asasi anak.
Jika prinsip “sekolah te cood wina data” dipertahankan secara luas, maka orang tua membentuk suatu habitat bernuansa negatif bagi wanita, yang meruntuhkan mental anak wanita, mematikan motivasi anak wanita, bahkan secara tidak langsung menyuruh anak wanita untuk segera mencari suami. Ini tidak mendukung terciptanya masyarakat yang adil dan cerdas.
e.    Rapuhnya daya saring dan ketahanan terhadap sajian produk teknologi
Saat ini, tawaran komunikasi canggih begitu simple dilakukan, murah dan meriah. Dalam hening dibungkus selimut, seorang remaja tanpa didengar suaranya oleh orang tua melakukan komunikasi melewati ambang batas tata bahasa, melewati batas waktu.
Ada banyak anak remaja tidak mampu melakukan penyaringan penggunaan menu pada produk komunikasi dan produk elektronik lainnya. Semua dipakai tanpa mempertimbangkan resiko negatif dari pemakaian menu tersebut. Bahkan ada anak yang belum cukup umur melakukan akses ke menu yang tak wajar.
Ini terjadi karena minimnya wawasan pengetahuan anak tentang resiko negatif suatu menu. Dalam masyarakat kita, pihak orang tua tidak mungkin melakukan diskusi tentang topic kedewasaan seksualitas. Karea hal itu dianggap tabu dalam budaya kita.   
Produk teknologi dengan sajian menu membuat remaja terhipnotis, sulit mengendalikan diri. Sebab gambar dan suara dapat dibuat sekaligus dapat dikirim oleh alat satu alat yang sama.
Orang tua hampir tak berdaya menghadapi hal ini. Salah satu tawaran solusi adalah membatasi spesifikasi menu produk teknologi yang dipegang anak.   


REFERENSI
Laporan Studi Political and Economical Risk Consultancy (PERC) tahun 2005.
Laporan World Economic Forum - The Global Competitiveness Report Tahun 2008-2009.
Latif, Abdul. 2007. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama.
Tim Bappenas. 2008. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Jakarta: Bappenas
Rahmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.  
Slameto. 2013. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineke Cipta.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Jakarta: Kemdikbud
UUD 1945 (amandemen terakhir) 
forbes.com, diakses 26 Juli 2015
pearson.com (diakses 26 Juli 2015)
srirahmadena’s blogspot.com, diakses 26 Juli 2015

No comments:

Post a Comment