Wednesday, August 10, 2016

BELAJAR: UPAYA MENGEMBANGKAN POTENSI DIRI SECARA HOLISTIK


SEBASTIANUS FEDI, S.Si,M.Pd
 Dipaparkan pada Diskusi Ilmiah, diselenggarakan oleh Pemdes dan OMK Heso Momang, di Desa Golo Wune, Poco Ranaka, Manggarai Timur
  1. PENGANTAR
Mengapa muncul ungkapan ‘Sarjana Tak Berguna’, atau ‘Percuma Sekolah Tinggi’?
Ungkapan seperti di atas, merupakan wujud kekesalan masyarakat (orang lain) terhadap tingkah laku seorang yang telah diketahui ‘terpelajar’ namun tingkah lakunya menyimpang dari norma dan aturan hukum yang ada. Mengapa hal ini terjadi?
Unesco, menekankan empat pilar pendidikan, yang diringkas dalam semboyan “Learning to know, Learning to be, Learning to do, Learning to live together”. Empat pilar ini merupakan bagian dari ide dan upaya membentuk manusia yang tidak hanya pintar secara teori, tetapi juga hebat dalam bersikap, menghayati/mengamalkan dan berbuat/bertindak sehingga membentuk masyarakat yang ilmiah, makin maju dengan kualitas hidup yang makin mumpuni.  
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa hingga kini, umumnya  secara awam, belajar dianggap identik dengan kegiatan mempelajari materi suatu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Anggapan ini tidak salah, karena memang kegiatan belajar menyatu dengan kegiatan pendidikan/sekolah secara formal. Namun, yang harus kita sadari adalah: belajar bukan sekedar mengejar kepintaran di atas kertas, tidak sekedar pintar secara teoritis, tetapi belajar adalah upaya agar kualitas hidup makin baik.
Belajar harus dipahami sebagai upaya mengembangkan potensi diri secara utuh, agar terbentuk manusia yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu melakukan kegiatan bermutu di tengah masyarakat.
Perhatikan ilustrasi berikut:
Pohon manakah yang terbaik?
Seorang anak (atau seorang manusia), harus dikembangkan secara berimbang antara penguasaan konsep IPTEK dengan relasi terhadap sesama dan kegiatan praktis di tengah masyarakat. Relasi terhadap sesama merupakan hal mutlak, sebab sebagai manusia, seorang terpelajar tidak bisa hidup menyendiri. ilmu, pengetahuan dan keterampilannya dianggap mubasir jika tidak ada orang lain yang mampu menilai kegunaan dan kontribusinya.
Dalam masyarakat, seharusnya belajar dipandang secara holistik/menyeluruh, meliputi (1) upaya penguasaan ilmu pengetahuan, (2) upaya pembentukan karakter bajik, (3) upaya pembentukan sikap yang baik dan benar, (4) upaya pembentukan keterampilan/kecakapan hidup/kemampuan kerja, dan (5) mampu hidup bersama orang lain secara lebih modern. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah “Learning to know, Learning to be, Learning to do, Learning to live together
  1. BELAJAR: APA DAN BAGAIMANA MELAKUKANNYA?
*       APA ITU BELAJAR?
Agar tidak salah kaprah, penting mengetahui makna belajar.
1.   Secara harfiah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dinyatakan bahwa
“Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman”
2.   James O. Whittaker (Djamarah, Syaiful Bahri , Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah Proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
3.   Winkel, belajar adalah aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap.
4.   Cronchbach (Djamarah, Syaiful Bahri , Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah suatu aktifitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
5.   Howard L. Kingskey (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.
6.   Slameto (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri di dalam interaksi dengan lingkungannya
Dari definisi secara harfiah dan pendapat beberapa ahli di atas, jelaslah bahwa belajar bukan hanya usaha menguasai muatan ilmu pengetahuan dalam suatu mata pelajaran atau mata kuliah. Belajar adalah usaha sadar dari seorang manusia agar memperoleh kecakapan hidup pada berbagai aspek. Aspek-aspek itu meliputi penguasaan IPTEKS, relasi/komunikasi, peningkatan keterampilan/kemampuan kerja, aspek religius, dan pembentukan karakter.
*       BAGAIMANA DAN SIAPA  YANG TERLIBAT DALAM ‘BELAJAR’?
Pertanyaan pengumpan audiens: ‘siapa yang bisa melakukan renge ela penti?’ Jika bisa, kenapa? Jika tidak bisa, kenapa? Akankah kita mampu melakukannya?
Salah satu sifat dan kemampuan dasar manusia adalah cenderung meniru dan mengubah perilaku berdasarkan perilaku/perbuatan orang lain yang telah disaksikannya, atau berdasarkan pengalamannya. Ada suatu ungkapan yang penting dihayati: “saya mendengar, saya ingat kemudian saya lupa,  saya melihat dan saya meniru, saya melakukan, saya ingat dan saya mengerti”. Ini berarti, ada baiknya siswa/anak didik dengan memberi contoh perbuatan nyata atau siswa/anak dituntun untuk melakukan. Hal inilah yang membuat kebanyakan anak tani hobi bertani dan sulit melepaskan karakter bertaninya. Anak pebisnis sukses jadi pebisnis, anak tukang kayu sukses menjadi tukang kayu juga, dan sebagainya. Hal ini pula yang mendasari penggunaan alat peraga dalam urusan pendidikan formal.
Cara belajar terbaik adalah belajar dengan melakukan atau belajar dengan pelibatan diri seutuhnya dalam urusan yang ingin dikuasai. Jika ingin menjadi pemimpin, maka bergabunglah dalam suatu organisasi dan berani mengemban tugas tertentu/menjalankan kegiatan yang diatur organisasi tersebut. Misalnya menjadi pengurus seksi tertentu. Dengan pelibatan diri seutuhnya, kemampuan dan karakter akan ditempa, dibangun dan dikembangkan. Berdasarkan pengalaman bekerja dalam tim, seorang akan bisa naik ke level selanjutnya, bahkan bisa memimpin suatu organisasi. Hal ini dapat kita pahami antara lain pada: (1) system kaderisasi dalam partai politik, (2) system pertimbangan jabatan dan kepangkatan dalam birokrasi, (3) system senioritas dalam TNI/Polri, (4) syarat pengalaman dan kemampuan tertentu dalam perekrutan tenaga kerja.
Di sini, seorang yang ingin sukses belajar harus melakukan apa yang dipelajarinya, bukan sekedar mendengar apalagi menonton. Harus ada tekad dan kemauan kuat untuk mempraktekkan teori yang dipelajari atau berani menangani suatu urusan dengan melibatkan diri secara langsung, berpartisipasi secara langsung. Dengan pelibatan diri dalam suatu urusan, maka timbullah pengalaman. Siswa/anak akan tahu, apa kelemahan dan apa keunggulan suatu cara kerja. Selanjutnya dapat menyusun strategi kerja berdasarkan pengalaman.
Peran orang tua/pendidik dalam upaya belajar anak/siswa adalah sebagai penuntun, pembimbing, atau pemberi teladan/contoh. Namun, orang tua/pendidik juga bisa belajar dari apa yang dilakukan anak/siswanya. Hal inilah yang mendasari adanya penelitian tindakan kelas: guru menentukan tindakan pembelajaran berdasarkan hasil pengamatan pada apa yang terjadi pada siswa. Secara umum, peran narasumber adalah memberi contoh/teladan kepada orang yang dididik/diberi pelajaran.   
Belajar identik dengan pendidikan (baik formal, informal, maupun nonformal. Menurut Langeneld pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak dengan tujuan mendewasakan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, dinyatakan bahwa  pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Apa yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas, sejalan dengan pikiran filsuf terkenal J.J. Rousseau (1712-1778) bahwa pendidikan memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.
Di sini, dibutuhkan kesabaran dan kejelian orang tua/pendidik untuk membelajrkan anak/siswa. Orang tua harus memiliki pengetahuan, ilmu dan pemahaman yang cukup tentang ‘apa bagaimana itu belajar’. Orang tua sebaiknya berdiskusi, sharing pengalaman agar dapat mengembangkan upaya pembelajaran terhadap anaknya.
Bagi anak/siswa, harus mau dicontohi, mau diayomi dan mau melakukan sesuai instruksi pendidik, agar memperoleh penagalaman, mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Akan terjadi pertimbangan untuk melakukan hal terbaik demi kesuksesan.
Jika ada perbuatan mendidik, maka harus ada pendidiknya. Pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik. Siapa saja pendidik itu?
ü  Guru,
ü  Orang tua,
ü  Masyarakat,
ü  Siswa itu sendiri (mendidik diri sendiri atau sejawat)
Karena itu, belajar dapat dilakukan di mana saja, menimba ilmu dari siapa saja.
  1. KEKUATAN DAN KEPUTUSAN MENUJU TUJUAN BELAJAR
Tujuan belajar adalah mengubah diri menjadi lebih baik. Dalam usaha ‘mengubah diri menjadi lebih baik’, dibutuhkan kekuatan untuk berubah dan pengambilan keputusan yang tepat.
Cox dan Dainow (1986:9-13) menyatakan bahwa ada 7 elemen kekuatan untuk berubah, yaitu:
1.   Komunikasi
Kemampuan untuk mengekspresikan diri sendiri apakah itu dengan menulis atau berceritera kepada orang lain. Sampaikan apa yang telah anda ketahui atau mintalah apa yang anda butuhkan.
Banyak tantangan dalam belajar yang membuat anda membutuhkan bantuan orang lain. Seorang manusia sulit mengethaui kelemahan diri jika tidak berkomunikasi dengan orang lain.
Seorang anak sekolah harus berkomunikasi dengan orang tua, teman atau guru sebagai kekuatan untuk melobi keperluan terkait usaha belajarnya, atau lanjutan studinya.
2.   Ilmu dan Pengetahuan
Seorang bisa menyadari apa yang telah diketahuinya dan apa yang belum diketahui. Harus tahu dan mengerti fakta-fakta situasi belajar atau lanjutan studi, mengetahui sejarahnya, dan menyadari implikasinya. Tahu tentang potensi diri sendiri, mengerti rekasi dan motivasi belajar dalam diri. Anak yang belajar juga harus tahu tentang hak-haknya. Semua ini merupakan kekuatan untuk mengubah diri atau mengubah situasi di mana seseorang melakukan kegiatan belajar atau ingin melanjutkan studi.
3.   Kasih
Kemampuan untuk mengasihi dan memberikan pehatian terhadap orang lain akan meningkatkan rasa percaya diri, maka menjadi kekuatan untuk berubah. Dmikian juga, kasih saying dan perhatian dari orang lain akan meningkatkan kekuatan dalam usaha untuk berubah menjadi lebih baik. Misalnya kasih saying orang tua kepada anaknya, atau kasih sayang seorang senior terhadap yuniornya.
4.   Gairah
Kemampuan untuk merasakan dan menghayati suatu komitmen yang penuh gairah dalam usaha belajar adalah kekuatan besar untuk berubah menjadi lebih baik. Gairah memberikan energi besar dalam usaha apa pun termasuk dalam belajar.
5.   Harga diri
Hindari persasaan ‘harga diri rendah’, karena mematikan semangat, mudah disisihkan dan bersikap underfigure  dalam urusan apa pun yang melibatkan diri anda dan orang lain. Tingkatkan rasa harga diri anda, agar anda tidak mudah merasa diremehkan atau disisihkan. Jika merasa harga diri rendah, maka akan sangat tak menentu dalam aktifitas hidup, termasuk dalam belajar. Makin tinggi harga diri, makin kokoh dalam usaha untuk berubah.
6.   Penanggulangan
Harus mengetahui kapan dan bagaimana mengatasi situasi yang sulit kita ubah. Hal ini akan menimbulkan kekuatan untuk mengubah perasaan anda. Kekuatan akan meningkat jika melakukan tindakan yang sebenarnya mampu dilaksanakan. Kadang-kadang ada situasi/hal yang membuat kita khawatir atau merasa tak mampu.
Kekuatan makin meningkat jika melakukan tindakan penanggulangan terhadap situasi yang sulit diatasi. Misalnya: menanggulangi masalah kesulitan biaya dengan tindakan berhemat atau melakukan usaha kecilan.
7.   Kontrol
Ada ungkapan ‘kontrol diri’ atau ‘diluar kontrol’. Istilah ini cocok untuk perbuatan ataub situasi yang kebablasan, tidak terkendali. Misalnya: rebut dan menganggu, ejekan yang melemahkan, minum hingga mabuk, tidur menghabiskan banyak waktu, langsung lemas jika sedikit saja merasa sakit. Dibutuhkan kemampuan mengontrol dalam situasi seperti ini.
Kontrol adalah kemampuan mempengaruhi orang lain atau mempengaruhi suatu situasi secara paksa. Kadang-kadang hal ini perlu dilakukan, agar kita tidak distir orang lain, atau kita hanyut dalam situasi yang sebenarnya merugikan.
Sementara, hal-hal yang harus dilakukan dalam mengambil keputusan belajar adalah:
1.   Tentukan tujuan belajar atau apa yang ingin diubah
2.   Tentukan siapa dan apa saja yang terlibat/dibutuhkan
3.   Tentukan daftar pilihan, tulis semua kemungkinan pilihan
4.   Tentukan skala prioritas (dari semua pilihan yang ada)
5.   Tentukan arah tindakan dan lakukan. Memulai dari sasaran kecil akan membantu mencapai sasaran yang besar.
6.   Mengetahui kapan anda telah sukses  belajar. Berikan hadiah terhadap diri anda. Misalnya: merayakannya dengan mentraktir diri sendiri untuk makan, atau merayakannya dengan bermain gembira dengan teman-teman. “Bermain” di sini maksudnya melakukan kegiatan yang menyenangkan karena telah sukses. Sukses itu perlu dirayakan agar termotivasi untuk meraih sukses selanjutnya.
7.   Tentukan dan sadari ‘apa yang telah terjadi/tercapai’. Jika telah berjalan melalui proses mengambil keputusan dan bertindak, tentukan langkah selanjutnya! Tentukan  apa pilihan yang baru, bagaimana kita mewujudkan pilihan yang baru itu menjadi tindakan? Ulangi lagi dari langkah 1, yang dibahas di sini.
  1. BELAJAR: TAK MENGENAL BATAS
Bisa terjadi bahwa seseorang memiliki ijazah namun belum prima dalam menjalankan tugas/pekerjaan tertentu sesuai tuntutan terkini. Ini lumrah sebagai manusia: tidak bisa sempurna dalam segala hal pada setiap waktu. Masih perlu belajar dan mengembangkan diri.
Walaupun ijazah dianggap sebagai representasi legalitas bahwa seseorang telah dididik dan memiliki wawasan ilmu/pengetahuan sesuai tingkat pendidikannya, namun bukan hanya ijazah, ilmu/pengetahuan harus di-update dan keterampilan terus dikembangkan untuk mendukung ijazah. Kegiatan pelatihan dan ‘pendidikan khusus’ tetap diperlukan. Maka secara prinsip, pendidikan tidak statis, pendidikan harus tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Ilustrasi khusus: (a) Seorang sarjana matematika mengikuti pelatihan sebelum menjalankan tugas sebagai anggota PPS dalam pemilu, (b) mengikuti pelatihan software matematika untuk mendukung kegiatan pembelajaran di kelas, (c) guru mempelajari dan membuat instrumen dan metode-metode pembelajaran yang sesuai perkembangan zaman.
·       Bagaimana jika: karakter bagus, berbakat dan terampil tapi tidak berijazah?
Ini ibarat sopir lincah, tapi tidak memiliki SIM. Atau sarjana matematika murni masuk ke kelas tanpa akta mengajar. Terampil itu menghidupkan! Tetapi aturan membuat hidup jadi lebih nyaman.
Banyak kenyataan bahwa seorang memiliki keterampilan dan berbakat sehingga memiliki penghasilan tetap atas keterampilan dan bakat tersebut. Itu sudah sangat nyata di lingkungan kita. Alangkah bagus jika keterampilan didukung ijazah. Pada masa kini, umumnya keterampilan menjadi syarat pengikut untuk memenangi persaingan antar tenaga kerja. Syarat utama adalah berijazah, karena ijazah dinilai sebagai legalitas penguasaan konsep ilmu, wawasan pengetahuan dan soft skill lainnya. Maka, melanjutkan pendidikan adalah langkah untuk memberdayakan bakat dan keterampilan.
Ilustrasi I:



Ilustrasi II

  1. PERAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN (MENDUKUNG UPAYA BELAJAR ANAK)
Dirinci dari tingkat partisipasi terendah ke tinggi, berikut ini merupakan peran serta masyarakat yaitu:
a)   Peran serta dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia. Pada tingkatan ini masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah untuk mendidik anak-anak mereka.
b)   Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Pada PSM (Peran Serta Masyarakat) jenis ini masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang, atau tenaga.
c)    Peran serta secara pasif. Masyarakat dalam tingkatan ini menyetujui dan menerima apa yang diputuskan pihak sekolah (komite sekolah), misalnya komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orang tua menerima keputusan itu dengan mematuhinya.
d)   Peran serta dalam pelayanan. Orang tua/masyakarat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orang tua ikut membantu sekolah ketika ada studi tur, pramuka, kegiatan keagamaan, dsb.
e)    Peran serta sebagai pelaksana kegiatan. Misalnya sekolah meminta orang tua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan pentingnya pendidikan, masalah jender, gizi, dsb. Dapat pula misalnya, berpartisipasi dalam mencatat anak usia sekolah di lingkungannya agar sekolah dapat menampungnya, menjadi nara sumber, guru bantu, dsb.
Peran serta dalam pengambilan keputusan. Orang tua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan baik akademis maupun non akademis, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Saat KTS berlaku, RPS merupakan agenda rutin di awal tahun ajaran.
  1. REMAJA SEBAGAI GENERASI PENERUS, FENOMENA KEHIDUPANNYA DALAM MASYARAKAT DAN CARA MENDIDIKNYA
Akhir-akhir ini, banyak keluhan orang tua terhadap perilaku anaknya, misalnya ‘anak sulit dikendalikan’, ‘anak nakal dan berbuat sesuka hati’, ‘anak tidak mau mendengarkan’, sering terjadi perkelahian/tawuran/konflik antar pemuda/i’, dsb. Ini menjadi fenomena umum terkini, padahal akses pendidikan kita makin maju. Apakah pihak sekolah mendidik siswanya menjadi tukang tawuran? Tentu tidak demikian. Tetapi, mengapa permasalahan ‘krisis remaja’ itu terjadi?
Riberu (1984:49) menyatakan bahwa “seorang remaja menjauhi orang lain yang tidak sepaham dengannya”. Anak remaja lebih suka melihat ke dalam dirinya (introvert). Hal ini terjadi karena ia berada dalam tahap perkembangan, baik fisik maupun mental. Ia belum kaya akan pengalaman. Maka, terjadilah anak remaja melawan orang tua!
Bentrokan sering terjadi karena salah persepsi dan senjang generasi (Riberu, 1984:79). Dijelaskan bahwa bentrokan sering terjadi karena ‘salah sambung’. Artinya, terjadi perbedaan persepsi, salah persepsi. Di sini, orang tua dipaksakan untuk memahami kehidupan remaja. Namun, sebaliknya remaja dituntut harus memahami ‘tolok ukur’ yang diakui orang tua atau khalayak umum.  Ketidakseimbangan anatara kehendak orang tua dan ‘gejolak bathin remaja’ inilah yang menimbulkan situasi ‘salah sambung’, sehinga terjadi konflik.
*       Konflik antar remaja, mengapa terjadi?
Krisis remaja terjadi karena adanya gejolak bathin yang dialami muda-mudi. Gejolak ini menyebabkan muda-mudi gelisah, tidak tenang, berontak dalam bathin, malahan berontak secara terbuka.
Remaja (muda/mudi) mulai bersikap acuh, kurang taat, sulit dikendalikan, sulit menerima masukan dari orang tua, dsb. Dalam taraf ekstrim, akan terbentuk pribadi remaja yang berperilaku liar, menjadi pengacau dan pembuat kerusuhan. Adanya sifat sulit menerima masukan atau sulit mendengar pendapat orang lain menimbulkan konfli antar remaja.
*       Bagaimana mendidik remaja?
Remaja dididik melalui perbuatan nyata. Mendidik seorang remaja, sulit memakai kata-kata, karena anak remaja cenderung bersikap tak acuh dan tidak mau mendengar masukkan/pendapat orang lain, tidak mau didikte.
Masa remaja merupakan masa dimana seorang mulai mengeksplore pengalaman dan mulai menunjukkan perannya. Masa remaja penuh dengan ide, sehingga disebut idealis.
Salah satu cara adalah membiarkan dia berbuat, mewujudkan idenya dan meminta dia untuk tidak lari dari tangggungjawab, menerima segala resiko dari perbuataanya. Dengan demikian, ia akan belajar dari pengalaman, ia membangun makna atas suatu peristiwa. Pemaknaan inilah yang akan menjadi modal perbaikan diri selanjutnya. Hal ini sudah banyak di lingkungan masyarakat bahwa seseorang yang pada waktu muda dikenal ‘nakal’ bahkan ‘bengal/bandel’, lalu kemudian jadi sukses.
Namun tidak semua anak nakal itu sukses. Bisa saja, kenakalan itu berdampak sangat buruk, menimbulkan kelainan mental bahkan cacat fisik. Di sini, peran orang tua adalah mengarahkan, memberi peringatan akan resiko dari perilaku seorang remaja. Dibutuhkan ilmu dan seni penyampaian dari orang tua kepada remaja, agar mereka bisa menerima pendapat orang tua.

1 comment:

  1. Izin ya admin..:)
    Yuk dapatkan hadiah ny dengan modal 20rb saja sudah bisa menikmati semua permainan poker di ARENADOMINO loh yuk langsung saja.. WA +855 96 4967353

    ReplyDelete