PERBANDINGAN STANDAR PROSES
ANTARA KTSP 2006 DENGAN KURIKULUM 2013
A.
PENDAHULUAN
Secara konseptual, kurikulum merupakan suatu respon
pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi
muda bangsanya. Kurikulum harus menjamin pemberdayaan siswa pada semua aspek
kompetensi, yang memungkinkan siswa siap menjadi warga masyarakat yang bermutu. Oleh pihak sekolah, pemberdayaan siswa
dilakukan dengan segala cara, menata proses pembelajaran sesuai situasi dan
lingkungannya. Pikiran ini sebenarnya telah diakomodir oleh KTSP selama ini. Romine
(dalam Hamalik, 2010:18) menyatakan:
“Curriculum
is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences
which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or
not”
Jadi, kurikulum diinterpretasikan untuk
‘mengorganisasikan’ semua pelajaran, aktivitas, dan pengalaman siswa di bawah
arahan pihak sekolah, entah di dalam kelas atau di luar kelas. Di sini, guru
memiliki peran sangat vital dalam menata proses pembelajaran.
Standar Proses KTSP diatur dalam
Permendiknas No 41 Tahun 2007, sedangkan standar proses Kurikulum 2013 diatur
dalam Permendikbud No 65 Tahun 2013. Kedua peraturan menteri ini masing-masing menjadi
dasar hukum pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah
untuk mencapai kompetensi lulusan. Dalam hal ini, dengan berlakunya
Permendikbud No 65 Tahun 2013 maka Permendiknas No 41 Tahun 2007 dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Pada Permendikbud No 65 Tahun 2013 pasal 1
ayat 1, dinyatakan bahwa Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah
selanjutnya disebut Standar Proses merupakan kriteria mengenai pelaksanaan
pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah untuk mencapai
kompetensi lulusan.
Menarik untuk dikaji apakah Permendiknas
No 41 Tahun 2007 pantas diubah karena memiliki banyak kekurangan ataukah malah
sebaliknya. Karena dalam edaran Bahan Uji Publik Kurikulum 2013, disebutkan
bahwa ada empat elemen perubahan dari KTSP 2006 ke kurikulum 2013, yaitu (1) standar isi, (2) standar
proses, (3) standar penilaian dan (4) standar kompetensi lulusan. Berkaitan
dengan standar proses, timbul pertanyaan:
1. Apa saja
permasalahan pada standar proses KTSP 2006; dan
2. Bagaimana
upaya perbaikan pada kurikulum 2013?
B.
BEBERAPA PERMASALAHAN PADA STANDAR PROSES KTSP
2006
1.
Umumnya
pembelajaran hanya berorientasi pada penguasaan konsep ilmu dan dominan dilakukan
di dalam kelas.
Dalam
KTSP 2006, proses pembelajaran tidak disertai tagihan penilaian secara tegas dan simultan
antara aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penilaian lebih ditekankan
pada aspek pengetahuan saja. Guru menganggap siswa telah mencapai standar
kompetensi manakala siswa tersebut mendapat nilai bagus dalam bentuk tes
tertulis. Sementara tes tertulis hanya mengukur aspek kognitif saja. Ini merupakan kelemahan KTSP yang memengaruhi
cara kerja guru di mana desain pembelajaran umumnya hanya berorientasi pada
penguasaan konsep saja.
Untuk
matematika misalnya, walaupun ada KD yang dirumuskan ‘mampu menerapkan konsep ilmu matematika dalam memecahkan persoalan
dalam kehidupan sehari-hari’. Kompetensi dasar ini ‘dieksekusi’ dengan
hanya memberikan instrumen berupa soal terapan (matematika realistik), tetapi
itu hanya dilakukan di atas kertas. Fenomena ini menimbulkan kesan seolah-olah
KTSP 2006 mendukung pembelajaran hanya
berorientasi pada penguasaan konsep ilmu saja.
Dampak
lanjutannya adalah pembelajaran dominan terjadi di dalam kelas. PR/Tugas yang
diberikan juga hanya untuk mendukung upaya penguasaan konsep belaka. Ini
bertentangan dengan prinsip pedagogis:
kurikulum adalah rancangan pendidikan yang memberi kesempatan untuk peserta
didik mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang
menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan dirinya untuk memiliki kualitas yang
diinginkan masyarakat dan bangsanya (Kemdikbud, 2012:2).
2.
Pembelajaran
cenderung berpusat pada guru
Dampak
lanjutan dari pembelajaran
‘hanya’ berorientasi pada penguasaan konsep adalah kecenderungan bahwa
pembelajaran didominasi guru. Tekanan psikologis seorang guru yang telah diberi
tugas membawahi suatu mata pelajaran, jelas tidak ingin ketinggalan materi matapelajarannya.
Situasi ini membuat ia lebih mementingkan pencapaian target ketuntasan materi
daripada pembentukan keterampilan dan sikap pada siswa. Di sinilah muncul
desain pembelajaran yang lebih didominasi guru.
Padahal,
pembelajaran yang ideal adalah berpusat pada orang yang sedang belajar. Situasi
ini hampir sama dengan nasib kusikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dimana
siswa seharusnya aktif melakukan kegiatan belajar. Namun kegiatan belajar di kelas cenderung didesain sebagai kegiatan pengajaran, guru mengajar dan siswa
menyimak atau memperhatikan materi pelajaran. Ini sulit untuk membentuk
pengalaman belajar apalagi pemahaman materi pelajaran oleh siswa.
3.
Proses belajar dengan sistem penjurusan di tingkat SMA/SMK
KTSP 2006 menggunakan sistem
penjurusan. Ini berarti, siswa diharuskan mempelajari beberapa mata pelajaran
yang telah dikemas pada suatu jurusan. Entah siswa berminat atau tidak
berminat, ia tetap mempelajari semua bidang studi yang ada. Sebagai gambaran,
andaikan seorang siswa lebih berminat mempelajari bahasa China daripada bahasa
Jerman. Selama ini, Bahasa Jerman telah ada dalam sistem penjurusan, dan
kurikulum akan terlalu padat jika mengakomodir bahasa China. Minat siswa tersebut jadinya tidak dilayani
pendidikan kita. Sebaliknya, ia ‘dipaksakan’ untuk mempelajari semua konten
matapelajaran Bahasa Jerman yang telah diatur kurikulum.
Kendala lain adalah bahwa di
negara-negara lain, sistem penjurusan di SMA sudah ditiadakan. Akan menemui
kesulitan untuk penyetaraan ijazah pendidikan SMA di Indonesia dengan pendidikan
SMA luar negeri.
4.
Proses evaluasi: terjadi fenomena menyontek
Proses (pelaksanaan) evaluasi
pada tengah atau akhir semester oleh pihak sekolah, umumnya tidak disertai
pengawasan ketat seperti pelakasaan UN. Pelaksanaan UN sendiri rawan kebocoran
soal. Karena proses evaluasi pembelajaran lebih dominan dilakukan dengan tes,
maka besar kemungkinan nilai perolehan siswa tidak menunjukkan kemampuan
dirinya. Sebab, dalam menjalankan tes tertulis, bisa terjadi siswa melakukan
tindakan penyontekan. Penyontekan bisa terjadi entah dengan melihat pekerjaan
teman, maupun dengan mendapat bocoran soal tes.
5.
Pembelajaran yang berorientasi pada buku teks
Pada
KTSP 2006, SK/KD diturunkan dari mata pelajaran. Mata pelajaran memuat
pokok-pokok bahasan tertentu yang disusun dalam suatu buku teks siswa/buku
pelajaran. Tiap pokok bahasan dijabarkan KD yang harus dicapai siswa, dan sudah
dikemas dalam satu buku pelajaran, Maka resiko pembelajaran dilakukan untuk
mengejar target materi/pokok bahasan yang telah disusun tersebut.
Dampaknya
adalah guru memilih metode dan mendesaian pembelajaran cenderung hanya berorientasi
pada buku teks yang ada. Sementara, ada pihak sekolah yang menggunakan buku
teks yang disusun/diterbitkan penerbit di luar daerahnya. Contoh,
sekolah-sekolah di luar pulau Jawa umumnya menggunakan buku terbitan Erlangga,
Tiga Serangkai, dan penerbit lain yang ada di pulau Jawa.
Idealnya
tujuan desain pembelajaran adalah menata situasi belajar dalam kelas agar siswa
memperoleh kesempatan belajar yang efektif untuk mencapai kompetensi tertentu. Seharusnya,
faktor siswa lebih dipertimbangkan dengan mendesain pembelajaran sesuai dengan realita kehidupan siswa atau lingkungan hidup siswa pada satuan
pendidikan. Artinya, pembelajaran harus bersifat kontekstual, bukan hanya membahas materi yang termuat dalam buku
pelajaran, yang belum tentu sesuai konteks satuan pendidikan.
Orientasi
pembelajaran seharusnya memberdayakan siswa, bukan sekedar menuntaskan materi
dalam satu buku pelajaran. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal ini adalah masih terdapat kecenderungan satuan
pendidikan menyusun kurikulum tanpa mempertimbangkan kondisi satuan pendidikan,
kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah.
6.
Buku teks hanya memuat materi bahasan
Pada KTSP 2006, buku teks sebagai sumber belajar
berupa hanya memuat materi bahasan. Bukut teks tidak
disertai dengan proses (metode) pembelajaran dan sistem penilaian. Hal ini oleh
sebagian guru diterapkan secara kaku. Penilaian monoton hanya dengan tes,
sehingga siswa hanya terangsang untuk mengembangkan aspek kognitif saja.
Penilaian sikap dan keterampilan umumnya tidak dilakukan.
Jika dibiarkan, proses seperti ini akan menghasilkan out come pendidikan yang memiliki pengetahuan tetapi tidak diimbangi oleh
keterampilan. Dengan kata lain, lulusan suatu lembaga pendidikan hanya dibekali
soft skill, tidak diimbangi hard skill. Sehingga di tengah masyarakat, ilmu yang
diperoleh akan menjadi mubasir, siswa sulit menerapkan konsep ilmu yang telah
dipelajarinya karena hard skill yang tak terdidik. Situasi ini
menciptakan anomali produk pendidikan
di tengah masyarakat, sehingga pendidikan kita dianggap gagal.
C.
UPAYA
PERBAIKAN STANDAR PROSES KTSP PADA KURIKULUM 2013
Di tengah masyarakat, tuntutan kualitas siswa secara utuh sebagai manusia
harus mencakup tiga aspek kompetensi: (1) sikap, (2) pengetahuan, dan (3)
keterampilan. Untuk mengatasi kelemahan KTSP 2006, pemerintah menyusun
kurikulum 2013 dengan perubahan Standar Proses sebagai berikut:
1.
Perbaikan bagian inti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Bagian inti RPP pada KTSP
2006, yang memuat (a) eksplorasi, (b)
elaborasi dan (c) konfirmasi diubah menjadi pelaksanaan standar (a) sikap; (b) pengetahuan, (c) keterampilan
pada kurikulum 2013. RPP dengan aspek keterampilan dan sikap, berarti tuntutan
kurikulum dilengkapi dengan mencipta.
Sebelumnya, eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi tentu terjadi melalui proses mengamati, menanya, mengolah, menalar,
menyajikan, dan menyimpulkan.
Tuntutan sikap pada bagian inti RPP berarti membina (langsung) siswa untuk
menjalankan sikap yang sesuai karakter bangsa. Dengan demikian, kurikulum 2013 mendukung
pendidikan karakter.
Dengan tuntutan mencipta, maka siswa dirangsang bukan hanya untuk menguasai konsep ilmu saja. Dengan pengalaman (langsung) siswa digembleng untuk memperoleh keterampilan sesuai kemampuan belajarnya. Perbedaan proses belajar ini digambarkan sebagai berikut:
2.
Mengganti sistim penjurusan dengan sistim peminatan tingkat SMA
Sistem
penjurusan berarti telah ada satu paket mata pelajaran dalam satu jurusan (IPA,
Bahasa, atau IPS). Artinya, siswa hanya belajar mata pelajaran yang menjadi
jurusannya sekalipun materi pelajaran itu tidak diminati. Pada kurikulum 2013,
proses belajar diubah seiring perubahan standar isi di mana ada kelompok: (1) mata
dan (2) mata pelajaran pilihan. Ketentuan pengambilan mata pelajaran wajib dan
pilihan sebagai berikut:
a)
Untuk SMA dan SMK
·
Semua peserta didik wajib mengikuti mata
pelajaran wajib kelompok A dan kelompok B.
·
Pramuka adalah ekstra kurikuler wajib demi
keterlibatan siswa dalam kegiatan kemasyarakatan dan lingkungan.
b)
Untuk SMA
·
Setiap peserta didik memilih salah satu
peminatan (matematika dan Sains, IPS atau Bahasa) sesuai dengan pendidikan
lanjutan yang akan dipilih.
·
Setiap peserta didik wajib mengikuti 40
jam pelajaran per minggu, terdiri dari 18 JP wajib, 16 JP peminatan, dan 6 JP
pilihan.
·
Mata pelajaran pilihan (6JP) dapat diambil
dari:
1.
matapelajaran pilihan lintas minat (dari
kelompok matapelajaran peminatan lain),
atau
2.
matapelajaran pendalaman minat, dan/atau
3.
mata pelajaran pilihan
4.
sekolah dapat menawarkan mata pelajaran
pilihan tambahan (maksimum 4 JP)
Menurut
pemerintah, kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan perkembangan dunia pendidikan:
a. tidak ada lagi negara yang
menganut sistem penjurusan di SMA
b. membuka peluang setiap
lulusan SMA untuk melanjutkan ke semua jurusan di Perguruan Tinggi
c. Mempermudah penyetaraan
ijazah
Dengan
kebijakan tersebut, maka ada penghargaan khusus untuk minat belajar tiap
individu (di pendidikan menengah). Beban belajar siswa menjadi lebih ringan
sesuai kemampuannya. Sementara itu, siswa yang kemampuan intelektualnya bagus
dapat lebih banyak mengambil mata pelajaran.
3.
Mengubah pendekatan pembelajaran yakni:
·
Tematik Integratif
Pendekatan tematik
dan/atau tematik terpadu: tiap mata pelajaran membuat pembelajaran secara terintegratif
terpadu. Artinya KD antar mata pelajaran tidak berjalan sendiri-sendiri dan tidak
saling mengabaikan, tetapi diikat oleh tuntutan pembentukan kompetensi inti:
sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Tema adalah pokok
pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Poerwadarminta, 1983;
dalam Kemdikbud, 2012). Dengan tema diharapkan akan memberikan banyak
keuntungan, di antaranya:
1) Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu
tema tertentu,
2) Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan
mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar mata pelajaran dalam tema yang
sama;
3) pemahaman terhadap materi pelajaran lebih
mendalam dan berkesan;
4) kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih
baik dengan mengkaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa;
5) Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan
makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas;
6) Siswa lebih bergairah belajar karena
dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan
dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari matapelajaran lain;
7) guru dapat menghemat waktu karena mata
pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkaan sekaligus dan
diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk
kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.
·
Pendekatan saintifik dan/atau inkuiri dan
penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran
yang menghasilkan ‘karya’ berbasis pemecahan masalah (project based learning)
Pendekatan saintifik (scientific
approach) disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan jenjang
pendidikan. Tuntutan menghasilkan ‘karya’ berarti siswa mendemonstrasikan
kemampuannya, yang dipandu kegiatan inti pembelajaran dengan simultansi aspek
sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ini akan mencegah pembelajaran terpusat
ada guru, menghindari orientasi pada buku teks atau hanya pada materi dalam
buku teks. Siswa tidak terpaku pada buku teks, tetapiu siswa dirangsang untuk menyampaikan
pikiran secara kontekstual, menyingkap masalah riil lingkungan hidup
sehari-hari.
4.
Mengatasi Fenomena Nilai Hasil Menyontek
Adanya rancangan keseimbangan
penilaian antara sikap, pengetahuan dan keterampilan diharapkan dapat mengatasi
fenomena menyontek. Sebab tuntutan pembuatan karya nyata/mencipta dapat mengurangi bahkan menghilangkan peluang
siswa untuk menyontek. Nilai prestasi hasil belajar bukan hanya berdasarkan jawaban
di atas kertas, tetapi diimbangi dengan penilaian sikap dan portofolio atau
hasil karya nyata.
5.
Perubahan jam pelajaran
Tak dapat dihindari bahwa aspek sikap dan keterampilan berdampak pada
lama (durasi waktu) proses pembelajaran. Sikap dibina melalui teladan.
Keterampilan dibentuk dengan kegiatan mencipta. Proses pembelajaran seperti ini
jelas memakan waktu tidak sedikit. Karena itu, walaupun integrasi mata
pelajaran mengurangi jumlah mata pelajaran, tetapi alokasi waktu pembelajaran
dinaikkan. Pemerintah mengubah alokasi waktu pembelajaran sebagai berikut:
Kurikulum
|
Jumlah waktu
pelajaran pada kelas
|
|||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
|
KTSP 2006
|
26
|
27
|
28
|
32
|
32
|
32
|
Kur 2013
|
30
|
32
|
34
|
36
|
36
|
36
|
(disadur dari
Bahan Uji Publik Kurikulum 2013)
6.
Pembelajaran lebih mengaktifkan siswa
Kata-kata operasional menuntun guru untuk mencegah terjadinya
pembelajaran berpusat pada guru. Guru lebih ditekankan untuk hadir sebagai
mediator dan penuntun antara siswa dengan tuntutan kompetensi inti (sikap,
pengetahuan, keterampilan) secara utuh.
7.
Perubahan buku teks siswa
Pada kurikulu 2013, buku teks siswa dirancang tidak hanya memuat materi
pelajaran tetapi disertai dengan proses pembelajaran, sistem penilaian, serta
kompetensi yang diharapkan (Bahan Uji Publik Kurikulum 2013:15). Hal ini
mendukung siswa untuk melakukan perbuatan
mencipta di luar kelas, di luar jam pelajaran reguler secara mandiri.
=== ===
DAFTAR
PUSTAKA
Bahan Uji Publik
Kurikulum 2013.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Hamalik, Oemar. 2010. Kurikulum dan
Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Permendikbud No 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Kurikulum 2013.
Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses KTSP 2006.
baik untuk berbagi ilmu
ReplyDeleteIzin ya admin..:)
ReplyDeleteYuk dapatkan hadiah ny dengan modal 20rb saja sudah bisa menikmati semua permainan poker di ARENADOMINO loh yuk langsung saja.. WA +855 96 4967353