Wednesday, October 16, 2013

PERBANDINGAN STANDAR PROSES ANTARA KTSP 2006 DENGAN KURIKULUM 2013



PERBANDINGAN STANDAR PROSES
ANTARA KTSP 2006  DENGAN KURIKULUM 2013

A.           PENDAHULUAN

Secara konseptual, kurikulum merupakan suatu respon pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Kurikulum harus menjamin pemberdayaan siswa pada semua aspek kompetensi, yang memungkinkan siswa siap menjadi warga masyarakat yang bermutu.  Oleh pihak sekolah, pemberdayaan siswa dilakukan dengan segala cara, menata proses pembelajaran sesuai situasi dan lingkungannya. Pikiran ini sebenarnya telah diakomodir oleh KTSP selama ini. Romine (dalam Hamalik, 2010:18) menyatakan:
“Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not”
Jadi, kurikulum diinterpretasikan untuk ‘mengorganisasikan’ semua pelajaran, aktivitas, dan pengalaman siswa di bawah arahan pihak sekolah, entah di dalam kelas atau di luar kelas. Di sini, guru memiliki peran sangat vital dalam menata proses pembelajaran.
Standar Proses KTSP diatur dalam Permendiknas No 41 Tahun 2007, sedangkan standar proses Kurikulum 2013 diatur dalam Permendikbud No 65 Tahun 2013. Kedua peraturan menteri ini masing-masing menjadi dasar hukum pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah untuk mencapai kompetensi lulusan. Dalam hal ini, dengan berlakunya Permendikbud No 65 Tahun 2013 maka Permendiknas No 41 Tahun 2007 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pada Permendikbud No 65 Tahun 2013 pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah selanjutnya disebut Standar Proses merupakan kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah untuk mencapai kompetensi lulusan.
Menarik untuk dikaji apakah Permendiknas No 41 Tahun 2007 pantas diubah karena memiliki banyak kekurangan ataukah malah sebaliknya. Karena dalam edaran Bahan Uji Publik Kurikulum 2013, disebutkan bahwa ada empat elemen perubahan dari KTSP 2006 ke kurikulum  2013, yaitu (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar penilaian dan (4) standar kompetensi lulusan. Berkaitan dengan standar proses, timbul pertanyaan:
1.       Apa saja permasalahan pada standar proses KTSP 2006; dan
2.       Bagaimana upaya perbaikan pada kurikulum 2013? 

B.           BEBERAPA PERMASALAHAN PADA STANDAR PROSES KTSP 2006

1.       Umumnya pembelajaran hanya berorientasi pada penguasaan konsep ilmu dan dominan dilakukan di dalam kelas.

Dalam KTSP 2006, proses pembelajaran tidak disertai tagihan penilaian secara tegas dan  simultan antara aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penilaian lebih ditekankan pada aspek pengetahuan saja. Guru menganggap siswa telah mencapai standar kompetensi manakala siswa tersebut mendapat nilai bagus dalam bentuk tes tertulis. Sementara tes tertulis hanya mengukur aspek kognitif saja.  Ini merupakan kelemahan KTSP yang memengaruhi cara kerja guru di mana desain pembelajaran umumnya hanya berorientasi pada penguasaan konsep saja.
Untuk matematika misalnya, walaupun ada KD yang dirumuskan ‘mampu menerapkan konsep ilmu matematika dalam memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari’. Kompetensi dasar ini ‘dieksekusi’ dengan hanya memberikan instrumen berupa soal terapan (matematika realistik), tetapi itu hanya dilakukan di atas kertas. Fenomena ini menimbulkan kesan seolah-olah KTSP 2006 mendukung  pembelajaran hanya berorientasi pada penguasaan konsep ilmu saja.
Dampak lanjutannya adalah pembelajaran dominan terjadi di dalam kelas. PR/Tugas yang diberikan juga hanya untuk mendukung upaya penguasaan konsep belaka. Ini bertentangan dengan prinsip pedagogis: kurikulum adalah rancangan pendidikan yang memberi kesempatan untuk peserta didik mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan dirinya untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat dan bangsanya (Kemdikbud, 2012:2).

2.       Pembelajaran cenderung berpusat pada guru

Dampak lanjutan dari pembelajaran ‘hanya’ berorientasi pada penguasaan konsep adalah kecenderungan bahwa pembelajaran didominasi guru. Tekanan psikologis seorang guru yang telah diberi tugas membawahi suatu mata pelajaran, jelas tidak ingin ketinggalan materi matapelajarannya. Situasi ini membuat ia lebih mementingkan pencapaian target ketuntasan materi daripada pembentukan keterampilan dan sikap pada siswa. Di sinilah muncul desain pembelajaran yang lebih didominasi guru.
Padahal, pembelajaran yang ideal adalah berpusat pada orang yang sedang belajar. Situasi ini hampir sama dengan nasib kusikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dimana siswa seharusnya aktif melakukan kegiatan belajar. Namun kegiatan belajar di kelas cenderung didesain sebagai kegiatan pengajaran, guru mengajar dan siswa menyimak atau memperhatikan materi pelajaran. Ini sulit untuk membentuk pengalaman belajar apalagi pemahaman materi pelajaran oleh siswa.

3.       Proses belajar dengan sistem penjurusan di tingkat SMA/SMK

KTSP 2006 menggunakan sistem penjurusan. Ini berarti, siswa diharuskan mempelajari beberapa mata pelajaran yang telah dikemas pada suatu jurusan. Entah siswa berminat atau tidak berminat, ia tetap mempelajari semua bidang studi yang ada. Sebagai gambaran, andaikan seorang siswa lebih berminat mempelajari bahasa China daripada bahasa Jerman. Selama ini, Bahasa Jerman telah ada dalam sistem penjurusan, dan kurikulum akan terlalu padat jika mengakomodir bahasa China.  Minat siswa tersebut jadinya tidak dilayani pendidikan kita. Sebaliknya, ia ‘dipaksakan’ untuk mempelajari semua konten matapelajaran Bahasa Jerman yang telah diatur kurikulum.
Kendala lain adalah bahwa di negara-negara lain, sistem penjurusan di SMA sudah ditiadakan. Akan menemui kesulitan untuk penyetaraan ijazah pendidikan SMA di Indonesia dengan pendidikan SMA  luar negeri.

4.       Proses evaluasi: terjadi fenomena menyontek

Proses (pelaksanaan) evaluasi pada tengah atau akhir semester oleh pihak sekolah, umumnya tidak disertai pengawasan ketat seperti pelakasaan UN. Pelaksanaan UN sendiri rawan kebocoran soal. Karena proses evaluasi pembelajaran lebih dominan dilakukan dengan tes, maka besar kemungkinan nilai perolehan siswa tidak menunjukkan kemampuan dirinya. Sebab, dalam menjalankan tes tertulis, bisa terjadi siswa melakukan tindakan penyontekan. Penyontekan bisa terjadi entah dengan melihat pekerjaan teman, maupun dengan mendapat bocoran soal tes.

5.       Pembelajaran yang berorientasi pada buku teks

Pada KTSP 2006, SK/KD diturunkan dari mata pelajaran. Mata pelajaran memuat pokok-pokok bahasan tertentu yang disusun dalam suatu buku teks siswa/buku pelajaran. Tiap pokok bahasan dijabarkan KD yang harus dicapai siswa, dan sudah dikemas dalam satu buku pelajaran, Maka resiko pembelajaran dilakukan untuk mengejar target materi/pokok bahasan yang telah disusun tersebut.
Dampaknya adalah guru memilih metode dan mendesaian pembelajaran cenderung hanya berorientasi pada buku teks yang ada. Sementara, ada pihak sekolah yang menggunakan buku teks yang disusun/diterbitkan penerbit di luar daerahnya. Contoh, sekolah-sekolah di luar pulau Jawa umumnya menggunakan buku terbitan Erlangga, Tiga Serangkai, dan penerbit lain yang ada di pulau Jawa.  
Idealnya tujuan desain pembelajaran adalah menata situasi belajar dalam kelas agar siswa memperoleh kesempatan belajar yang efektif untuk mencapai kompetensi tertentu. Seharusnya, faktor siswa lebih dipertimbangkan dengan mendesain pembelajaran sesuai dengan realita kehidupan siswa atau lingkungan hidup siswa pada satuan pendidikan. Artinya, pembelajaran harus bersifat kontekstual, bukan hanya membahas materi yang termuat dalam buku pelajaran, yang belum tentu sesuai konteks satuan pendidikan.  
Orientasi pembelajaran seharusnya memberdayakan siswa, bukan sekedar menuntaskan materi dalam satu buku pelajaran. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal ini adalah masih terdapat kecenderungan satuan pendidikan menyusun kurikulum tanpa mempertimbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah.

6.       Buku teks hanya memuat materi bahasan

Pada KTSP 2006, buku teks sebagai sumber belajar berupa hanya memuat materi bahasan. Bukut teks tidak disertai dengan proses (metode) pembelajaran dan sistem penilaian. Hal ini oleh sebagian guru diterapkan secara kaku. Penilaian monoton hanya dengan tes, sehingga siswa hanya terangsang untuk mengembangkan aspek kognitif saja. Penilaian sikap dan keterampilan umumnya tidak dilakukan.
Jika dibiarkan, proses seperti ini akan menghasilkan out come pendidikan yang memiliki  pengetahuan tetapi tidak diimbangi oleh keterampilan. Dengan kata lain, lulusan suatu lembaga pendidikan hanya dibekali soft skill, tidak diimbangi hard skill.  Sehingga di tengah masyarakat, ilmu yang diperoleh akan menjadi mubasir, siswa sulit menerapkan konsep ilmu yang telah dipelajarinya karena hard skill yang tak terdidik. Situasi ini menciptakan anomali produk pendidikan di tengah masyarakat, sehingga pendidikan kita dianggap gagal.

C.            UPAYA PERBAIKAN STANDAR PROSES KTSP PADA KURIKULUM 2013

Di tengah masyarakat, tuntutan kualitas siswa secara utuh sebagai manusia harus mencakup tiga aspek kompetensi: (1) sikap, (2) pengetahuan, dan (3) keterampilan. Untuk mengatasi kelemahan KTSP 2006, pemerintah menyusun kurikulum 2013 dengan perubahan Standar Proses sebagai berikut:

1.         Perbaikan bagian inti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Bagian inti RPP pada KTSP 2006,  yang memuat (a) eksplorasi, (b) elaborasi dan (c) konfirmasi diubah menjadi  pelaksanaan standar (a) sikap; (b) pengetahuan, (c) keterampilan pada kurikulum 2013. RPP dengan aspek keterampilan dan sikap, berarti tuntutan kurikulum dilengkapi dengan mencipta. Sebelumnya, eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi tentu terjadi melalui proses mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan, dan menyimpulkan.
Tuntutan sikap pada bagian inti RPP berarti membina (langsung) siswa untuk menjalankan sikap yang sesuai karakter bangsa. Dengan demikian, kurikulum 2013 mendukung pendidikan karakter.



Dengan tuntutan mencipta, maka siswa dirangsang bukan hanya untuk menguasai konsep ilmu saja. Dengan pengalaman (langsung) siswa digembleng untuk memperoleh keterampilan sesuai kemampuan belajarnya. Perbedaan proses belajar ini digambarkan sebagai berikut:

2.         Mengganti sistim penjurusan dengan sistim peminatan tingkat SMA

Sistem penjurusan berarti telah ada satu paket mata pelajaran dalam satu jurusan (IPA, Bahasa, atau IPS). Artinya, siswa hanya belajar mata pelajaran yang menjadi jurusannya sekalipun materi pelajaran itu tidak diminati. Pada kurikulum 2013, proses belajar diubah seiring perubahan standar isi di mana ada kelompok: (1) mata dan (2) mata pelajaran pilihan. Ketentuan pengambilan mata pelajaran wajib dan pilihan sebagai berikut:
a)      Untuk SMA dan SMK
·         Semua peserta didik wajib mengikuti mata pelajaran wajib kelompok A dan kelompok B.
·         Pramuka adalah ekstra kurikuler wajib demi keterlibatan siswa dalam kegiatan kemasyarakatan dan lingkungan.

b)      Untuk SMA
·         Setiap peserta didik memilih salah satu peminatan (matematika dan Sains, IPS atau Bahasa) sesuai dengan pendidikan lanjutan yang akan dipilih.
·         Setiap peserta didik wajib mengikuti 40 jam pelajaran per minggu, terdiri dari 18 JP wajib, 16 JP peminatan, dan 6 JP pilihan.
·         Mata pelajaran pilihan (6JP) dapat diambil dari:
1.       matapelajaran pilihan lintas minat (dari kelompok matapelajaran peminatan lain),  atau
2.       matapelajaran pendalaman minat, dan/atau
3.       mata pelajaran pilihan
4.       sekolah dapat menawarkan mata pelajaran pilihan tambahan (maksimum 4 JP)
Menurut pemerintah, kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan perkembangan dunia pendidikan:
a.       tidak ada lagi negara yang menganut sistem penjurusan di SMA
b.       membuka peluang setiap lulusan SMA untuk melanjutkan ke semua jurusan di Perguruan Tinggi
c.       Mempermudah penyetaraan ijazah
Dengan kebijakan tersebut, maka ada penghargaan khusus untuk minat belajar tiap individu (di pendidikan menengah). Beban belajar siswa menjadi lebih ringan sesuai kemampuannya. Sementara itu, siswa yang kemampuan intelektualnya bagus dapat lebih banyak mengambil mata pelajaran.

3.         Mengubah pendekatan pembelajaran yakni:
·         Tematik Integratif
Pendekatan tematik dan/atau tematik terpadu: tiap mata pelajaran membuat pembelajaran secara terintegratif terpadu. Artinya KD antar mata pelajaran tidak berjalan sendiri-sendiri dan tidak saling mengabaikan, tetapi diikat oleh tuntutan pembentukan kompetensi inti: sikap, pengetahuan dan keterampilan.  
Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Poerwadarminta, 1983; dalam Kemdikbud, 2012). Dengan tema diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di antaranya:
1)      Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu,
2)      Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar mata pelajaran dalam tema yang sama;
3)      pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan;
4)      kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa;
5)      Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas;
6)      Siswa lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari matapelajaran lain;
7)      guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkaan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.

·         Pendekatan saintifik dan/atau inkuiri dan penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan ‘karya’ berbasis pemecahan masalah (project based learning)

Pendekatan saintifik (scientific approach) disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan. Tuntutan menghasilkan ‘karya’ berarti siswa mendemonstrasikan kemampuannya, yang dipandu kegiatan inti pembelajaran dengan simultansi aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ini akan mencegah pembelajaran terpusat ada guru, menghindari orientasi pada buku teks atau hanya pada materi dalam buku teks. Siswa tidak terpaku pada buku teks, tetapiu siswa dirangsang untuk menyampaikan pikiran secara kontekstual, menyingkap masalah riil lingkungan hidup sehari-hari.

4.         Mengatasi Fenomena Nilai Hasil Menyontek

Adanya rancangan keseimbangan penilaian antara sikap, pengetahuan dan keterampilan diharapkan dapat mengatasi fenomena menyontek. Sebab tuntutan pembuatan karya nyata/mencipta dapat mengurangi bahkan menghilangkan peluang siswa untuk menyontek. Nilai prestasi hasil belajar bukan hanya berdasarkan jawaban di atas kertas, tetapi diimbangi dengan penilaian sikap dan portofolio atau hasil karya nyata.

5.         Perubahan jam pelajaran

Tak dapat dihindari bahwa aspek sikap dan keterampilan berdampak pada lama (durasi waktu) proses pembelajaran. Sikap dibina melalui teladan. Keterampilan dibentuk dengan kegiatan mencipta. Proses pembelajaran seperti ini jelas memakan waktu tidak sedikit. Karena itu, walaupun integrasi mata pelajaran mengurangi jumlah mata pelajaran, tetapi alokasi waktu pembelajaran dinaikkan. Pemerintah mengubah alokasi waktu pembelajaran sebagai berikut:
Kurikulum
Jumlah waktu pelajaran pada kelas
I
II
III
IV
V
VI
KTSP 2006
26
27
28
32
32
32
Kur 2013
30
32
34
36
36
36
   (disadur dari Bahan Uji Publik Kurikulum 2013)

6.         Pembelajaran lebih mengaktifkan siswa
Kata-kata operasional menuntun guru untuk mencegah terjadinya pembelajaran berpusat pada guru. Guru lebih ditekankan untuk hadir sebagai mediator dan penuntun antara siswa dengan tuntutan kompetensi inti (sikap, pengetahuan, keterampilan) secara utuh.

7.         Perubahan buku teks siswa

Pada kurikulu 2013, buku teks siswa dirancang tidak hanya memuat materi pelajaran tetapi disertai dengan proses pembelajaran, sistem penilaian, serta kompetensi yang diharapkan (Bahan Uji Publik Kurikulum 2013:15). Hal ini mendukung siswa untuk melakukan perbuatan mencipta di luar kelas, di luar jam pelajaran reguler secara mandiri.
===                                                                                                                                                                                     ===
DAFTAR PUSTAKA

Bahan Uji Publik Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hamalik, Oemar. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. 
Permendikbud No 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Kurikulum 2013.
Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses KTSP 2006.

2 comments:

  1. Izin ya admin..:)
    Yuk dapatkan hadiah ny dengan modal 20rb saja sudah bisa menikmati semua permainan poker di ARENADOMINO loh yuk langsung saja.. WA +855 96 4967353

    ReplyDelete