Dalam kegiatan pendidikan, ada tiga unsur pokok yang berperanan yaitu guru (pendidik), siswa (peserta didik), sarana dan prasarana pembelajaran. Guru atau pendidik berperan sebagai mediator antara siswa dan sumber belajar. Sarana dan prasarana berperan sebagai sumber belajar dan pendukung belajar agar siswa dapat mengeksplorasi kemampuan, menggali pengetahuan baru, membentuk sikap dan mengembangkan keterampilan. Guru (pendidik) memberikan umpan agar siswa terpancing menelaah ilmu pada sumber belajar. Guru juga bisa menjadi sumber belajar. Sumber belajar yang lain adalah lingkungan, buku, alat peraga dan sebagainya.
Dewasa ini
tuntutan belajar mandiri kian gencar, namun campur tangan pendidik masih sangat dibutuhkan, artinya kehadiran
guru di kelas adalah mutlak. Idealnya, siswa hadir di kelas dengan kesadaran
penuh untuk melakukan kegiatan belajar. Siswa harus siap secara mental dan
fisik. Disadari sepenuhnya bahwa jika hanya
ada sumber belajar dan siswa, belum tentu proses belajar dapat berjalan. Ini
berarti, guru perlu mengintervensi kegiatan belajar siswa melalui desain
pembelajaran. Kecuali jika terjadi kasus tertentu atau pada tingkatan umur
tertentu, yang mana siswa hanya dengan membaca atau kegiatan pengamatan akan
dapat memahami materi pelajaran dan menarik kesimpulan.
Pembelajaran adalah usaha terencana untuk
membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara pikir,
sarana untuk mengeksperesikan dirinya, dan cara-cara bagaimana belajar (Joice
dan Well, 1996, dalam Uno & Kuadrat, 2009:4). Dalam pembelajaran terdapat
kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode, untuk mencapai hasil
pembelajaran yang diinginkan.
Secara
sosial, pembelajaran
merupakan proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar
mencapai kompetensi diri melalui proses perolehan ilmu dan pengetahuan,
penguasaan keterampilan dan pembentukan sikap. Dengan kata lain, pembelajaran
adalah proses untuk membantu siswa agar dapat mengembangkan potensi dirinya.
Dalam usaha belajar, ada tiga masalah
pokok (Hudojo, 1998:1) yaitu (1) masalah mengenai faktor-faktor terjadinya
belajar, (2) masalah mengenai bagaimana belajar itu berlangsung, dan (3) masalah
mengenai hasil belajar.
Jika
prestasi belajar siswa rendah, seringkali guru dikritik. Guru dianggap memiliki
kemampuan rendah dan gagal melakukan pembelajaran bermutu. Benarkah demikian?
Apa yang membuat guru sering gagal dalam pembelajaran? Di sini, harus dipahami
bahwa dalam suatu proses pendidikan formal ada dua sumber daya manusia yang
berperan langsung di ruang kelas yaitu guru selaku pendidik dan siswa selaku
peserta didik. Kesuksesan belajar siswa bukan hanya ditentukan oleh faktor guru
saja tetapi juga oleh siswa itu sendiri.
Dalam
pembelajaran, sebenarnya siswa memegang peran yang lebih besar daripada guru.
Semua upaya dalam pengelolaan pembelajaran ditujukan pada unsur siswa. Sukses
atau gagalnya suatu pembelajaran tergantung pada kemampuan guru mempertimbangkan
unsur siswa. Maka siswa perlu dipahami
secara lebih mendalam, khususnya hal yang berkaitan dengan aspek kejiwaan dan
kemampuan pribadinya, sebagai bagian yang terkait dengan kegiatan belajar.
Dalam pembelajaran, siswa sebagai manusia diperlakukan apa adanya, sebagaimana
kemampuan dirinya. Selain aspek bakat dan kemampuan, dalam diri siswa ada
aspek-aspek kejiwaan, misalnya perasaan, minat, dan instink yang menjadi dasar
dari pengembangan dirinya. Semua hal tersebut harus dipahami guru, dan sedapat mungkin
mengidentifikasi apakah berpengaruh terhadap kesuksesan belajar siswa.
Arikunto (1993:12) mengemukakan
“pembelajaran adalah suatu kegiatan yang mengandung terjadinya proses
penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap oleh subjek yang sedang belajar”.
Arikunto (1993:4) juga mengemukakan bahwa “pembelajaran adalah bantuan
pendidikan kepada anak didik agar mencapai kedewasaan di bidang pengetahuan,
keterampilan dan sikap”.
Di sisi lain pembelajaran mempunyai
pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi
yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar siswa dapat belajar
dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan
(aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta
keterampilan (aspek psikomotor) seorang siswa, namun proses pengajaran ini
memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar
saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar
dengan siswa.
Pembelajaran yang berkualitas sangat
tergantung dari motivasi siswa dan kreatifitas guru. Siswa yang memiliki
motivasi tinggi ditunjang dengan intervensi
guru yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan menuju pada keberhasilan
pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap
dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik,
ditunjang fasilitas yang memadai dan dengan kreatifitas guru akan membuat siswa
lebih mudah mencapai target belajar.
Namun kehadiran
faktor penghambat belajar tidak dapat dielakkan. Dibutuhkan solusi untuk
mengatasi berbagai hambatan tersebut. Salah satu cara adalah guru sebaiknya memahami kondisi psikologis siswa. Dengan memahami
bagaimana kondisi psikologis siswa, maka diharapkan guru dapat menyiapkan dan
menjalankan suatu tindakan antisipasi
agar siswa mengikuti pembelajaran atau siswa belajar tanpa gangguan.
Hubungan antara perasaan
manusia dan kegiatan belajar
Perasaan termasuk gejala jiwa yang
dimiliki oleh semua orang, hanya corak dan tingkatannya berbeda. Perasaan
adalah suatu keadaan kerohanian atau peristiwa kejiwaan yang dialami dan berbentuk
senang atau tidak senang dalam hubungan dengan peristiwa mengenal sesuatu dan
bersifat subyektif. Perasaan sangat
dipengaruhi oleh tafsiran pribadi dari orang yang mengalaminya, lebih erat
hubungannya dengan kepribadian seseorang dan berhubungan dengan gejala-gejala kejiwaan.
Oleh sebab itu (tanggapan) perasaan seseorang terhadap sesuatu tidak sama
dengan tanggapan perasaan orang lain, terhadap hal yang sama.
Perasaan tidak merupakan suatu gejala
kejiwaan yang berdiri sendiri, tetapi bersangkut paut atau berhubungan erat
dengan gejala-gejala jiwa yang lain, antara lain dengan gejala mengenal.
Kadang-kadang gejala perasaan diiringi oleh peristiwa mengenal dan sebaliknya
pada suatu ketika ada gejala perasaan yang menyertai peristiwa mengenal.
Perasaan timbul setelah kita mengenal sesuatu melalui panca indra kita.
Sebagai
manusia, siswa memiliki perasaan. Sementara perasaan juga sangat menentukan
tindakan. Maka patut diduga bahwa perasaan siswa juga dapat mempengaruhi
prestasi belajarnya. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Gagne (1992) yang
menyatakan bahwa dalam pembelajaran, yang perlu dilakukan guru adalah mengontrol situasi belajar.
Gagne (1992:6) menyebut ‘situasi’ yang mendukung
proses demi terjadinya efek belajar disebut ‘situasi belajar’. Gagne juga menyatakan bahwa aspek-aspek yang
penting untuk mendesain pembelajaran (pengajaran) adalah yang berhubungan
dengan pengontrolan ‘event’ dan
pengontrolan ‘situasi’. Ia menyarankan agar pengaruh dari peristiwa tertentu
terhadap belajar, sebaiknya selalu dicek dan bisa dicek lagi pada kondisi yang
bervariasi (berbeda-beda). Dapat dikatakan bahwa, pada waktu dan tempat
berbeda, faktor-faktor yang telah teridentifikasi berpengaruh terhadap situasi
belajar, perlu diuji lagi. Dengan cara ini, sekumpulan fakta tentang belajar
akan teruji dari waktu ke waktu, juga akan terungkap situasi lokal yang
memengaruhi kesuksesan belajar siswa di suatu sekolah. Ini berarti situasi
belajar merupakan aspek utama yang harus dipertimbangkan dalam mendesain model
pembelajaran.
Ada suatu hal yang penting
diperhatikan guru dalam usaha belajar siswa: orang berbeda, jelas ada perbedaan
antar individu. Bagaimana perbedaan perasaan dari segi jenis kelamin? Bagaimana perbedaan tingkat kecemasan
matematika dari aspek gender?
Ada anggapan umum (stereotype) bahwa mental laki-laki
jauh lebih prima daripada mental wanita. Laki-laki tidak mudah takut.
Namun, ada juga anggapan bahwa secara emosional, wanita lebih dewasa dan lebih
matang daripada laki-laki. Temuan ahli menyatakan bahwa wanita lebih emosional
dan penuh perasaan, sedangkan laki-laki lebih rasional dan lebih menggunakan
logika. Stereotipe ini sangat kuat dan meresap kuat pada budaya masyarakat tertentu
(Shields, 1991a dalam Santrock, 2003:376).
Sementara para peneliti
menemukan bahwa wanita dan laki-laki sering kali sama pengalaman emosinya,
bertentangan dengan stereotype di atas. Ada kenyataan bahwa rata-rata performa
matematika laki-laki lebih tinggi daripada wanita. Namun terjadi pikiran yang
kontradiktif, tumpang tindih antara
kedua jenis kelamin tersebut tetap besar. Tidak semua laki-laki memiliki
performa matematika yang lebih baik dibandingkan wanita. Besarnya tumpang
tindih mengindikasikan bahwa, walaupun nilai rata-rata laki-laki lebih tinggi,
tetapi banyak wanita memiliki kemampuan yang
melebihi laki-laki dalam hal kemampuan matematika (Santrock, 2003:377).
Pada banyak pengalaman
emosional, para peneliti tidak menemukan perbedaan antara wanita dan laki-laki.
Keduanya sama-sama merasakan kecemasan dalam situasi sosial yang baru, marah
ketika dihina, merasa malu ketia bersalah, dan sebagainya (Tavris dan Wade,
1984, dalam Santrock, 2003: 377). Mengingat cakupan emosi yang kompleks dan luas, stereotype tersebut perlu dikaji di
daerah dengan budaya tertentu. Hal ini mengingat ada kecendrungan di daerah
tertentu, khususnya di daerah terpencil: pendidikan anak laki-laki lebih
diutamakan daripada pendidikan anak wanita. Situasi ini secara tidak langsung
memengaruhi tekanan psikologis bagi anak wanita. Anak wanita terpaksa jatuh dalam kubangan pola pikir
yang menghambat usaha belajarnya.
Adalah benar bahwa
perasaan kecemasan dialami oleh semua siswa, tidak peduli jenis kelamin. Apakah dalam pembelajaran
matematika tingkat kematangan emosional wanita sama dengan laki-laki? Hal ini
perlu dikaji secara ilmiah, sebab kematangan emosional menetukan tingkat
kecemasan dan akhirnya menentukan situasi belajar tiap siswa.
Gagne membagi situasi belajar menjadi
dua bagian: (1) situasi internal dan (2) situasi eksternal. Ini merupakan dua
faktor umum, dan pembagian ini merujuk pada hal-hal yang memengaruhi siswa sebagai sasaran utama pembelajaran.
Faktor intern meliputi faktor psikologis, faktor fisik (jasmaniah), dan faktor
kelelahan. Faktor kelelahan dipisahkan dari kedua faktor sebelumnya, karena
yang lelah bisa fisik, bisa juga lelah rohani (kelelahan psikologis: kelesuan
dan kejenuhan pikiran). Faktor ekstern meliputi faktor keluarga, faktor
sekolah/guru, faktor masyarakat. Slameto (2003:54-60) menyatakan bahwa faktor
psikologis meliputi inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan,
dan kesiapan.
Pada dasarnya, manusia cenderung
lebih bergairah, bersemangat dan berpikir cepat pada hal-hal yang menyenangkan.
Jika hal yang dikenal manusia itu berkesan sulit, dapat dipastikan bahwa
manusia akan menghindar, mengalami ketegangan, tidak percaya diri, takut atau
cemas.
Sifat matematika
sebagai ilmu
Hudojo (1988:3) menyatakan bahwa
matematika berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol, tersusun
secara hierarkis dan penalarannya deduktif, maka belajar matematika merupakan
kegiatan mental yang tinggi. Pola tingkah laku manusia yang tersusun menjadi
suatu model sebagai prinsip-prinsip belajar diaplikasikan ke dalam matematika.
Prinsip-prinsip belajar ini haruslah dipilih sehingga cocok untuk mempelajari
matematika.
Menurut Gagne (1983) dalam jurnal Some Issues in the Psychology of Mathematics
Instruction, objek belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek
tak langsung. Objek langsung adalah transfer belajar, kemampuan menyelidiki,
kemampuan memecahkan masalah, disiplin pribadi dan apresiasi pada struktur
matematika. Sedangkan objek langsung belajar matematika adalah fakta,
keterampilan, konsep dan prinsip.
1. Fakta (fact) adalah perjanjian-perjanjian dalam matematika
seperti simbol-simbol matematika, kaitan simbol “3” dengan kata “tiga”
merupakan contoh fakta. Contoh lainnya
fakta : “+” adalah simbol dari operasi penjumlahan dan sinus adalah nama suatu
fungsi khusus dalam trigonometri.
2. Keterampilan (skills) adalah kemampuan memberikan jawaban
yang benar dan cepat. Misalnya pembagian cara singkat, penjumlahan pecahan dan
perkalian pecahan.
3.
Konsep (concept) adalah ide abstrak yang memungkinkan kita
mengelompokkan objek ke dalam contoh dan bukan contoh. Himpunan, segitiga,
kubus, dan jari-jari adalah merupakan konsep dalam matematika.
4. Prinsip (principle) merupakan objek yang paling kompleks.
Prinsip adalah sederetan konsep beserta dengan hubungan diantara konsep-konsep
tersebut. Contoh
prinsip adalah dua segitiga sama dan sebangun bila dua sisi yang seletak dan
sudut apitnya kongruen.
Keempat objek belajar tersebut
memberikan tantangan tersendiri dalam mempelajari matematika. Objek belajar
pada point (3) di atas sering menimbulkan anggapan bahwa matematika adalah ilmu
yang aling sulit dipelajari. Siswa merasa takut dan cemas dalam usaha belajar
matematika.
No comments:
Post a Comment