Thursday, November 7, 2013

ANTARA GENDER DAN USAHA BELAJAR MATEMATIKA


Dalam kegiatan pendidikan, ada tiga unsur pokok yang berperanan yaitu guru (pendidik), siswa (peserta didik), sarana dan prasarana pembelajaran. Guru atau pendidik berperan sebagai mediator antara siswa dan sumber belajar. Sarana dan prasarana berperan sebagai sumber belajar dan pendukung belajar agar siswa dapat mengeksplorasi kemampuan, menggali pengetahuan baru, membentuk sikap dan mengembangkan keterampilan. Guru (pendidik) memberikan umpan agar siswa terpancing menelaah ilmu pada sumber belajar. Guru juga bisa menjadi sumber belajar. Sumber belajar yang lain adalah lingkungan, buku, alat peraga dan sebagainya.
Dewasa ini tuntutan belajar mandiri kian gencar, namun campur tangan pendidik  masih sangat dibutuhkan, artinya kehadiran guru di kelas adalah mutlak. Idealnya, siswa hadir di kelas dengan kesadaran penuh untuk melakukan kegiatan belajar. Siswa harus siap secara mental dan fisik.  Disadari sepenuhnya bahwa jika hanya ada sumber belajar dan siswa, belum tentu proses belajar dapat berjalan. Ini berarti, guru perlu mengintervensi kegiatan belajar siswa melalui desain pembelajaran. Kecuali jika terjadi kasus tertentu atau pada tingkatan umur tertentu, yang mana siswa hanya dengan membaca atau kegiatan pengamatan akan dapat memahami materi pelajaran dan menarik kesimpulan.
Pembelajaran adalah usaha terencana untuk membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara pikir, sarana untuk mengeksperesikan dirinya, dan cara-cara bagaimana belajar (Joice dan Well, 1996, dalam Uno & Kuadrat, 2009:4). Dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode, untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.
Secara sosial, pembelajaran merupakan proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar mencapai kompetensi diri melalui proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan keterampilan dan pembentukan sikap. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu siswa agar dapat mengembangkan potensi dirinya.
Dalam usaha belajar, ada tiga masalah pokok (Hudojo, 1998:1) yaitu (1) masalah mengenai faktor-faktor terjadinya belajar, (2) masalah mengenai bagaimana belajar itu berlangsung, dan (3) masalah mengenai hasil belajar.
Jika prestasi belajar siswa rendah, seringkali guru dikritik. Guru dianggap memiliki kemampuan rendah dan gagal melakukan pembelajaran bermutu. Benarkah demikian? Apa yang membuat guru sering gagal dalam pembelajaran? Di sini, harus dipahami bahwa dalam suatu proses pendidikan formal ada dua sumber daya manusia yang berperan langsung di ruang kelas yaitu guru selaku pendidik dan siswa selaku peserta didik. Kesuksesan belajar siswa bukan hanya ditentukan oleh faktor guru saja  tetapi juga oleh siswa itu sendiri.
Dalam pembelajaran, sebenarnya siswa memegang peran yang lebih besar daripada guru. Semua upaya dalam pengelolaan pembelajaran ditujukan pada unsur siswa. Sukses atau gagalnya suatu pembelajaran tergantung pada kemampuan guru mempertimbangkan unsur siswa.  Maka siswa perlu dipahami secara lebih mendalam, khususnya hal yang berkaitan dengan aspek kejiwaan dan kemampuan pribadinya, sebagai bagian yang terkait dengan kegiatan belajar. Dalam pembelajaran, siswa sebagai manusia diperlakukan apa adanya, sebagaimana kemampuan dirinya. Selain aspek bakat dan kemampuan, dalam diri siswa ada aspek-aspek kejiwaan, misalnya perasaan, minat, dan instink yang menjadi dasar dari pengembangan dirinya. Semua hal tersebut harus dipahami guru, dan sedapat mungkin mengidentifikasi apakah berpengaruh terhadap kesuksesan belajar siswa. 
Arikunto (1993:12) mengemukakan “pembelajaran adalah suatu kegiatan yang mengandung terjadinya proses penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap oleh subjek yang sedang belajar”. Arikunto (1993:4) juga mengemukakan bahwa “pembelajaran adalah bantuan pendidikan kepada anak didik agar mencapai kedewasaan di bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap”.
Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar siswa dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang siswa, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan siswa.
Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi siswa dan kreatifitas guru. Siswa yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan intervensi guru yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan menuju pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memadai dan dengan kreatifitas guru akan membuat siswa lebih mudah mencapai target belajar.
Namun kehadiran faktor penghambat belajar tidak dapat dielakkan. Dibutuhkan solusi untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut. Salah satu cara adalah guru sebaiknya memahami kondisi psikologis siswa. Dengan memahami bagaimana kondisi psikologis siswa, maka diharapkan guru dapat menyiapkan dan menjalankan suatu tindakan  antisipasi agar siswa mengikuti pembelajaran atau siswa belajar tanpa gangguan.
Hubungan antara perasaan manusia dan kegiatan belajar
Perasaan termasuk gejala jiwa yang dimiliki oleh semua orang, hanya corak dan tingkatannya berbeda. Perasaan adalah suatu keadaan kerohanian atau peristiwa kejiwaan yang dialami dan berbentuk senang atau tidak senang dalam hubungan dengan peristiwa mengenal sesuatu dan bersifat subyektif.  Perasaan sangat dipengaruhi oleh tafsiran pribadi dari orang yang mengalaminya, lebih erat hubungannya dengan kepribadian seseorang dan berhubungan dengan gejala-gejala kejiwaan. Oleh sebab itu (tanggapan) perasaan seseorang terhadap sesuatu tidak sama dengan tanggapan perasaan orang lain, terhadap hal yang sama.
Perasaan tidak merupakan suatu gejala kejiwaan yang berdiri sendiri, tetapi bersangkut paut atau berhubungan erat dengan gejala-gejala jiwa yang lain, antara lain dengan gejala mengenal. Kadang-kadang gejala perasaan diiringi oleh peristiwa mengenal dan sebaliknya pada suatu ketika ada gejala perasaan yang menyertai peristiwa mengenal. Perasaan timbul setelah kita mengenal sesuatu melalui panca indra kita.
Sebagai manusia, siswa memiliki perasaan. Sementara perasaan juga sangat menentukan tindakan. Maka patut diduga bahwa perasaan siswa juga dapat mempengaruhi prestasi belajarnya. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Gagne (1992) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran, yang perlu dilakukan  guru adalah mengontrol  situasi belajar.
Gagne (1992:6) menyebut ‘situasi’ yang mendukung proses demi terjadinya efek belajar disebut ‘situasi belajar’. Gagne  juga menyatakan bahwa aspek-aspek yang penting untuk mendesain pembelajaran (pengajaran) adalah yang berhubungan dengan pengontrolan ‘event’ dan pengontrolan ‘situasi’. Ia menyarankan agar pengaruh dari peristiwa tertentu terhadap belajar, sebaiknya selalu dicek dan bisa dicek lagi pada kondisi yang bervariasi (berbeda-beda). Dapat dikatakan bahwa, pada waktu dan tempat berbeda, faktor-faktor yang telah teridentifikasi berpengaruh terhadap situasi belajar, perlu diuji lagi. Dengan cara ini, sekumpulan fakta tentang belajar akan teruji dari waktu ke waktu, juga akan terungkap situasi lokal yang memengaruhi kesuksesan belajar siswa di suatu sekolah. Ini berarti situasi belajar merupakan aspek utama yang harus dipertimbangkan dalam mendesain model pembelajaran. 
Ada suatu hal yang penting diperhatikan guru dalam usaha belajar siswa: orang berbeda, jelas ada perbedaan antar individu. Bagaimana perbedaan perasaan dari segi jenis kelamin?  Bagaimana perbedaan tingkat kecemasan matematika dari aspek gender?
 Ada anggapan umum (stereotype) bahwa mental laki-laki  jauh lebih prima daripada mental wanita. Laki-laki tidak mudah takut. Namun, ada juga anggapan bahwa secara emosional, wanita lebih dewasa dan lebih matang daripada laki-laki. Temuan ahli menyatakan bahwa wanita lebih emosional dan penuh perasaan, sedangkan laki-laki lebih rasional dan lebih menggunakan logika. Stereotipe ini sangat kuat dan meresap kuat pada budaya masyarakat tertentu (Shields, 1991a dalam Santrock, 2003:376).
Sementara para peneliti menemukan bahwa wanita dan laki-laki sering kali sama pengalaman emosinya, bertentangan dengan stereotype di atas. Ada kenyataan bahwa rata-rata performa matematika laki-laki lebih tinggi daripada wanita. Namun terjadi pikiran yang kontradiktif, tumpang tindih antara kedua jenis kelamin tersebut tetap besar. Tidak semua laki-laki memiliki performa matematika yang lebih baik dibandingkan wanita. Besarnya tumpang tindih mengindikasikan bahwa, walaupun nilai rata-rata laki-laki lebih tinggi, tetapi banyak wanita memiliki kemampuan yang  melebihi laki-laki dalam hal kemampuan matematika (Santrock, 2003:377).
Pada banyak pengalaman emosional, para peneliti tidak menemukan perbedaan antara wanita dan laki-laki. Keduanya sama-sama merasakan kecemasan dalam situasi sosial yang baru, marah ketika dihina, merasa malu ketia bersalah, dan sebagainya (Tavris dan Wade, 1984, dalam Santrock, 2003: 377). Mengingat cakupan emosi yang kompleks dan luas, stereotype tersebut perlu dikaji di daerah dengan budaya tertentu. Hal ini mengingat ada kecendrungan di daerah tertentu, khususnya di daerah terpencil: pendidikan anak laki-laki lebih diutamakan daripada pendidikan anak wanita. Situasi ini secara tidak langsung memengaruhi tekanan psikologis bagi anak wanita. Anak wanita terpaksa jatuh dalam kubangan pola pikir yang menghambat usaha belajarnya.
Adalah benar bahwa perasaan kecemasan dialami oleh semua siswa, tidak peduli jenis kelamin. Apakah dalam pembelajaran matematika tingkat kematangan emosional wanita sama dengan laki-laki? Hal ini perlu dikaji secara ilmiah, sebab kematangan emosional menetukan tingkat kecemasan dan akhirnya menentukan situasi belajar tiap siswa.
Gagne membagi situasi belajar menjadi dua bagian: (1) situasi internal dan (2) situasi eksternal. Ini merupakan dua faktor umum, dan pembagian ini merujuk pada hal-hal yang memengaruhi siswa sebagai sasaran utama pembelajaran. Faktor intern meliputi faktor psikologis, faktor fisik (jasmaniah), dan faktor kelelahan. Faktor kelelahan dipisahkan dari kedua faktor sebelumnya, karena yang lelah bisa fisik, bisa juga lelah rohani (kelelahan psikologis: kelesuan dan kejenuhan pikiran). Faktor ekstern meliputi faktor keluarga, faktor sekolah/guru, faktor masyarakat. Slameto (2003:54-60) menyatakan bahwa faktor psikologis meliputi inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan.
Pada dasarnya, manusia cenderung lebih bergairah, bersemangat dan berpikir cepat pada hal-hal yang menyenangkan. Jika hal yang dikenal manusia itu berkesan sulit, dapat dipastikan bahwa manusia akan menghindar, mengalami ketegangan, tidak percaya diri, takut atau cemas.
Sifat matematika sebagai ilmu
Hudojo (1988:3) menyatakan bahwa matematika berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol, tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif, maka belajar matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi. Pola tingkah laku manusia yang tersusun menjadi suatu model sebagai prinsip-prinsip belajar diaplikasikan ke dalam matematika. Prinsip-prinsip belajar ini haruslah dipilih sehingga cocok untuk mempelajari matematika.
Menurut Gagne (1983) dalam jurnal Some Issues in the Psychology of Mathematics Instruction, objek belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsung adalah transfer belajar, kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, disiplin pribadi dan apresiasi pada struktur matematika. Sedangkan objek langsung belajar matematika adalah fakta, keterampilan, konsep dan prinsip.
1.   Fakta (fact) adalah perjanjian-perjanjian dalam matematika seperti simbol-simbol matematika, kaitan simbol “3” dengan kata “tiga” merupakan contoh fakta.  Contoh lainnya fakta : “+” adalah simbol dari operasi penjumlahan dan sinus adalah nama suatu fungsi khusus dalam trigonometri.
2.    Keterampilan (skills) adalah kemampuan memberikan jawaban yang benar dan cepat. Misalnya pembagian cara singkat, penjumlahan pecahan dan perkalian pecahan.
3.     Konsep (concept) adalah ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan objek ke dalam contoh dan bukan contoh. Himpunan, segitiga, kubus, dan jari-jari adalah merupakan konsep dalam matematika.
4.  Prinsip (principle) merupakan objek yang paling kompleks. Prinsip adalah sederetan konsep beserta dengan hubungan diantara konsep-konsep tersebut. Contoh prinsip adalah dua segitiga sama dan sebangun bila dua sisi yang seletak dan sudut apitnya kongruen.
Keempat objek belajar tersebut memberikan tantangan tersendiri dalam mempelajari matematika. Objek belajar pada point (3) di atas sering menimbulkan anggapan bahwa matematika adalah ilmu yang aling sulit dipelajari. Siswa merasa takut dan cemas dalam usaha belajar matematika.

No comments:

Post a Comment