A. PENDAHULUAN
Hakekatnya manusia adalah makhluk
berbudaya. Setiap kumpulan manusia pada tempat tertentu akan menunjukkan
‘kebiasaan unik’ dalam tata pergaulan di tempat tersebut. Jika ‘kumpulan
manusia’ cukup besar dan ‘wilayah’ cakupan pergaulan dengan kebiasaan unik
cukup luas, maka terbentuk suatu daerah dengan kebudayaan tertentu. Inilah yang
membuat kita mengenal istilah budaya barat, budaya timur, budaya Eropa, budaya
Asia, budaya Jawa, budaya Bali, budaya Manggarai, dan lain sebagainya. Budaya
merupakan hasil pikiran manusia, diwujudkan dalam tindakan, agar manusia mampu
mempertahankan hidup dan hubungannya dengan alam maupun pergaulannya dengan orang lain. Budaya
menjadi habitus sosial yang mendukung manusia untuk memperoleh taraf hidup
lebih baik.
Pendidikan secara praktis tak dapat
dipisahkan dengan nilai-nilai budaya. Dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan
sendiri, secara proses mantransfernya yang paling efektif dengan cara
pendidikan. Keduanya sangat erat sekali hubungannya karena saling melengkapi
dan mendukung antara satru sama lainnya. Tujuan pendidikan pun adalah melestarikan
dan selalu meningkatkan kebudayaan itu sendiri, dengan adanya pendidikanlah
kita bisa mentransfer kebudayaan itu sendiri dari generasi ke generasi
selanjutnya.
Perumusan mengenai batasan
kebudayaan banyak sekali. Diantara batasan – batasan itu terdapat suatu
kesepakatan bahwa kebudayaan itu dipelajari dan bahwa kebudayaan menyebabkan
orang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya.
Dapat diartikan bahwa manusia hidup dalam suatu lingkungan alam dan lingkungan
sosial, hal mana berarti juga bahwa kebudayaan tidak semata-mata merupakan
unsur gejala biologis. Kebudayaan mencakup semua umur yang diciptakan manusia
dari kelompoknya, dengan jalan mempelajarinya secara sadar atau dengan suatu
proses penciptaan keadaan – keadaan tertentu. Hal itu semua mencakup aneka
ragam teknik, lembaga-lembaga sosial, kepercayaan, maupun pola perilaku.
Sementara itu, pendidikan adalah
upaya sadar manusia untuk membentuk karakter dan kemampuan pribadi seseorang
menjadi lebih baik. Dengan pendidikan, manusia akan menguasai bidang keahlian
tertentu, sesuai kemampuannya. Dalam kamus bahasa Inggris, Oxford Learners Pocket Dictionary, kata pedidikan diartikan sebagai
pelatihan dan pembelajaran (2009:5). Dalam bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik. Jika diberi awalan me- akan menjadi kata mendidik, yang berarti: membantu seorang
anak untuk menguasai aneka pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang
diwarisi oleh keluarga dan masyarakatnya. Ini sama dengan istilah dalam bahasa
Yunani: paedagogiek yang berarti ilmu
menuntun anak, dan paedagogia yang
berarti pergaulan dengan anak-anak. Orang yang menuntun atau mendidik disebut paedagog. Dalam istilah Romawi,
pendidikan disebut educare artinya
mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa
waktu dilahirkan di dunia.
Beberapa pendapat ahli tentang
pengertian pendidikan adalah sebagai berikut (dalam Rohman: 2009). John
Dewey mengartikan pendidikan adalah
suatu proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental baik secara
intelektual maupun emosiaonal ke arah alam dan sesame manusia. Sementara itu,
Crow mengartikan pendidikkan sebagai proses yang berisi berbagai macam kegiatan
yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat
dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi. Tampak bahwa, kedua ahli di atas mencetuskan
pengertian pendidikan dengan pengaruh budaya yang kuat pada upaya mendidik
seseorang. Ahli lain, George F Kneller melihat pendidikan dalam tiga cakupan,
yaitu luas, teknis dan hasil. Arti luas
dari pendidikan adalah menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang
mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan
pikiran (mind), watak (character) dan kemampuan fisik (physical ability) individu. Arti teknis pendidikan adalah roses di mana
masyarakat, melalui lembaga-lembaga pendidikan, dengan sengaja
mentransformasikan warisan budayanya, berupa pengetahuan, nilai-nilai dan
keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi. Arti hasil pendidikan adalah apa yang boleh kita peroleh melalui belajar
(pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan).
Sementara itu, ahli pendidikan
Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai usaha menuntun
segenap kekuatan kodrat yang ada pada anak, baik sebagai individu manusia
maupun sebagai anggota masyarakat, agar dapat mencapai kesempurnaan hidup.
Dryarkara, menyatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia muda.
Kedua definisi terakhir ini menitik beratkan pengertian pendidikan pada manusia
sebagai subjek sekaligus objeknya (Rohman:2009).
Hubungan antara budaya dan
pendidikan begitu erat. Perkembangan peradaban manusia mulai dari zaman pra
sejarah hingga zaman modern, tidak terlepas dari perkembangan pendidikan. Dengan
didikan primitif, manusia pada zaman batu memepertahankan kebiasaan berburu
menggunakan senjata ‘canggih’ berupa batu yang dipertajam. Kecanggihan pada
saat itu sebatas menggunakan benda-benda alam dengan taraf manipulasi yang
sangat sedikit. Hal itu sesuai level
pendidikan manusia pada saat itu, dimana
mereka hanya belajar meniru kebiasaan seorang senior. Bandingkan dengan keadaan sekarang, segala peralatan hidup
manusia begitu canggih. Saking canggihnya, sehingga manusia menggunakan
hitungan matematika untuk merancang pesawat pergi ke planet Mars. Setelah
ribuan tahun manusia hidup dalam lingkungan budayanya, menghasilkan ribuan
generasi baru dari zaman ke zaman, maka munculah teknologi canggih, yang
mengubah total gaya hidup manusia. Tentu hal ini dicapai karena kemajuan di
bidang pendidikan manusia. Lantas muncul pertanyaan: bagaimana perkembangan
pendidikan itu sendiri? Apakah ada peran budaya di dalam transformasi
pendidikan ke arah yang lebih maju? Jika ada, bagaimana peran budaya terhadap
perubahan kemajuan pendidikan manusia? Adakah unsur budaya yang menghambat
perkembangan pendidikan manusia?
Peran budaya, entah langsung maupun
tak langsung, jelas berdampak signifikan bagi perkembangan pendidikan
seseorang. Kenyataannya, kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku
manusia. Pendidikan merupakan suatu ‘perilaku’. Maka, budaya memiliki peran
penting dalam membentuk kepribadian seseorang, entah dari segi kognitif,
afektif maupun psikomotoriknya. Sebagai contoh, dengan budaya gotong royong, akan
memudahkan siswa untuk bekerja kelompok dalam membahas konsep matematika.
Demikian juga dalam pendidikan matematika, setiap budaya memiliki dampak
tersendiri bagi seorang anak dalam upaya memahami konsep matematika. Tidak bisa
disangkal bahwa aktivitas sehari-hari akan mempengaruhi kemampuan belajar
matematika seorang anak. Secara sederhana, kita dapat menganggap bahwa anak
yang dibesarkan dalam keluarga dengan sering diberi kesempatan untuk melakukan
ekpserimen-eksperimen sederhana berkaitan ‘kejadian matematika’, tentu akan
lebih akrab dan mudah memahami ‘konsep matematika’. Muncul pertanyaan,
kebiasaan atau ‘budaya’ apa saja dan yang bagaimana saja yang dapat membantu
seorang anak mudah membangun pemahaman dalam mempelajari konsep matematika?
Dewasa ini, secara umum kelompok
para peneliti menyetujui bahwa pengetahuan diperoleh individu sebagai hasil dari pengalaman mereka
sendiri (Lesle dkk: 1996). Pengalaman timbul sebagai akibat dari aktivitas (act), bahkan sebagai pengamat, dalam
konteks budaya. Seorang ahli, van Oers menyajikan gambaran budaya-sejarah
matematika sebagai jawaban atas pencarian seorang manusia aktif, yang tertanam
dalam sejarah aktivitas manusia. Dalam cakupan budaya yang luas, diluar
sekolah, ada beberapa bukti bahwa aktivitas matematika, cara matematika digunakan dan dialami, dan
orang-orang yang menggunakannya berubah. Di masa lalu, matematika umumnya
digunakan oleh elit untuk membantu dalam pemahaman tentang lingkungan fisik. Sekarang
ini, matematika telah digunakan untuk menafsirkan, menjelaskan, dan
mendefinisikan lingkungan sosial. Bab ini mengeksplorasi keterkaitan
dinamis kegiatan belajar, arena sosial budaya di mana mereka terjadi, proses
kognitif yang diprakarsai, artefak kognitif yang digunakan, dan kualitas hasil
pembelajaran yang dihasilkan. Pendekatan sistemik untuk belajar sebagai suatu
aktivitas dalam konteksnya diambil untuk menguraikan relevansi praktis dari
teori --- teori tindakan praktis.
B.
PEMBAHASAN
1.
Konteks Budaya dan Pengetahuan
Sebagai mahluk berbudaya, aktivitas
manusia tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan hidupnya. Sementara itu,
aktivitas akan mempengaruhi pengetahuan baru dalam otak seorang manusia. Meskipun
ada sejarah ketidaksepakatan dan perdebatan, Vygotsky (1978)
dengan temannya Luria (1973 dan 1982); dan Leont’ev (1981); ketiganya
mengembangkan suatu teori dasar yang komprehensif tentang perkembangan manusia
dari segi intra-aktivitas (dalam diri) dan interpersonal (antar individu),
menyangkut tindakan individu dan dan tindakan kolektif daam konteks sejarah dan
budaya. Vygotsky menekankan pada tanda-tanda/isyarat sebagai alat perantara
antara ‘obyek-objek pengalaman’ dan ‘fugsi mental’ menimbulkan minat yang
besar. Perhatiannya
yang serius pada interaksi sosial dan bahasa yang sesuai dengan praktik pendidikan pada umumnya.
Vygotsky menyatakan bahwa kekuatan
budaya yang lebih luas membentuk perkembangan intelektual dan pada gilirannya dibentuk oleh produk dari aktivitas
manusia. Ia menggunakan istilah coknowledge untuk pengaruh basis sosiokultural pada pengetahuan. Dia juga
menekankan sifat
keasadaran yang tidak mutlak alamiah (nonabsolute nature
of consciousness).
Artinya, orang-orang
membentuk budaya dan dibentuk oleh budaya melalui proses mediasi makna sosial.
Teori yang dikemukakan oleh Luria
(1973) tentang kegiatan otak, menjelaskan suatu hubungan neuro-psykologis dari
kegiatan intrapersonal. Teorinya memberikan penjelasan yang kuat dari proses kognitif yang terkait dengan
kegiatan belajar yang berbeda.
Sementara
itu, Leont’ev dan peneliti lain, dengan teori aktivitas, mengembangkan suatu model yang jelas tentang proses
perkembangan kognitif dalam konteks melalui aktivitas seseorang ---hubungan antara pengetahuan dan
tindakan---. Mereka telah mengusulkan
hubungan yang dinamis antara aktivitas manusia dari semua jenis dengan perkembangan kognitifnya.
Teori
orang Rusia, terutama teori Leont’ev dan teori-teori aktivitas lainnya,
mengklaim bahwa ‘fungsi mental yang lebih tinggi’, adalah sistem
fungsional komplek yang terbentuk selama perkembangan individu sebagai hasil
pengalaman dan aktivitas sosial.
Dengan kata lain, tingkatan pengetahuan abstrak yang lebih tinggi, ide dan kapasitas pemrosesan, berkembang dalam situasi di mana ini adalah fungsional dalam hal kebutuhan, harapan, dan tujuan dari individu atau kelompok budaya. Posisi teoritis mereka menyajikan tantangan besar bagi asumsi filosofis dan psikologis yang mendasari organisasi dan praktek lembaga pendidikan dan penelitian pendidikan.
Dengan kata lain, tingkatan pengetahuan abstrak yang lebih tinggi, ide dan kapasitas pemrosesan, berkembang dalam situasi di mana ini adalah fungsional dalam hal kebutuhan, harapan, dan tujuan dari individu atau kelompok budaya. Posisi teoritis mereka menyajikan tantangan besar bagi asumsi filosofis dan psikologis yang mendasari organisasi dan praktek lembaga pendidikan dan penelitian pendidikan.
Pertama, Psikolog Barat secara tradisional terbatas pertimbangan mereka dari perkembangan manusia di tengkorak, atau kulit, dari
seorang individu. Penilaian pendidikan berfokus pada individu tanpa mengacu pada konteks aktivitas mereka. Ada kecenderungan perbedaan
pengalaman dan tindakan untuk menjadi tertarik sebagai
perbedaan dalam kemampuan. Penelitian
awal pada perempuan dan prestasi matematika adalah sebuah contoh
(e.g. Fennema dan Sherman, 1977). Untuk teori aktivitas hubungan
antara unsur-unsur dari suatu sistem kegiatan, baik
orang dan artefak budaya, menjadi pusat perhatian dalam analisis aktivitas manusia.
Velsiner
(1972: 7) menampilkan pandangan yang sama, dimana ia menyatakan:
Suatu asumsi sosial alamiah dari psikologi perkembangan tampaknya mengharuskan
batas-batas ditarik pada titik-titik yang menggabungkan aspek-aspek yang
relevan dari lingkungan sosial ke dalam sistem. Akhirnya, pendekatan sistem
tampaknya mengharuskan upaya yang dilakukan untuk memahami hubungan saling
tergantung antara bagian-bagian konstituen daripada mencari sebab dan akibat.
Kedua, pemisahan
antara pikiran dan tubuh, atau antara pengetahuan/kognitif dengan aktifitas
fisik, telah nyata dalam pemikiran pendidik sejak zaman Aristoteles. Hal ini
juga menjadi dasar dari titik utama perbedaan antara Vygotsky dan Leont'ev.
Pemisahan ini tercermin dalam definisi kebudayaan dalam literatur Barat. Harris
(1968:16) mendfinisikan budaya dalam istilah ‘pola perilaku’sedangkan
Goodenough (1957:167) menjelaskan budaya dengan istilah ‘sesuatu yang dimiliki
orang dalam pikirannya’. Untuk teori aktivitas, tindakan fisik, pikiran dan
perasaan, adalah bagian dari aktivitas manusia.
Pandangan beberapa ahli ini
merupakan gambaran realita bahwa manusia bisa ‘berkembang’ bila mana manusia
tersebut banyak ‘berbuat’. Menurut Anne Ahira (dalam www.anneahira.com), perkembangan di sini meliputi beberapa aspek, yakni aspek
kecerdasan (kognitif), aspek perasaan dan emosi (afektif), dan aspek
keterampilan fisik (psikomotorik).
Pengertian kesadaran nonabsolut,
banyak sudut pandang, memiliki kurangnya pemisahan aktivitas manusia dari konteksnya,
menuju gagasan objektivitas sensitif, universalitas, dan
generalisasi
yang merupakan dasar-dasar penting dari disiplin ilmu matematika dan juga mendukung penelitian psikologis. Misalnya, Cattel
(1971), yang mengakui peran budaya dalam perkembangan kognitif, menggambarkan tugas-tugas yang
melibatkan persepsi visual
dari
hubungan kompleks sebagai 'budaya bebas'
atas dasar bahwa kesempatan
untuk melihat sama-sama setara bagi semua
orang.
Implikasi dari kontribusi penting
Vygotsky adalah fokus konsep van Oers (bab 7). Vygotsky merujuk pada istilah
Leont’ev (1975) tentang makna budaya (znacenie) dan menunjukan bahwa hal itu
dapat diekspresikan dengan symbol-simbol (umumnya bahasa), ditransformasikan
dalam kandungan/isi kurikulum, dan diajarkan sebagai perhatian utama pengajaran
dan pembelajaran di sekolah. Untuk ahli teori Rusia, budaya umumnya identik
dengan pendidikan. Walaupun van Oers menyatakan pentingnya pemikiran Leont’ev
tentang makna pribadi (akal: smysl), ia terfokus pada proses enkulturasi
matematika dan pembentukan makna --- pentingnya
negosiasi antara para ahli dan pemula karena mereka diinisiasi ke bentuk budaya
yang signifikan pengetahuan matematikanya. Dalam diskusi lanjutan, fokus
bergeser jauh dari tugas sekolah tradisional, menegosiasikan makna kultural
disetujui untuk menguji hubungan antara pengetahuan dan tindakan.
2.
Belajar
sebagai Aktivitas
a)
Pengetahuan,
Sasaran, dan Aktivitas
Dalam menjalankan hidup, manusia modern
pasti mengacu pada tiga hal: pengetahuan, sasaran, dan aktivitas. Pengetahuan
dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus ‘alat’ untuk menentukan
tindakan. Pengetahuan yang cukup memadai akan membantu subjek dalam menentukan
sikap selanjutnya. Sasaran merupakan objek yang akan menentukan ke mana arah
pelaksanaan tindakan. Jika telah memiliki pengetahuan dan sasaran, maka mudah
untuk melaksanakan aktivitasnya. Demikian juga dalam pembelajaran matematika,
seorang pendidik harus memiliki pengetahuan yang cukup dan memahami sasaran
pembelajaran, sehingga mudah menata aktivitas pembelajarannya. Demikian juga
dengan peserta didik, pengetahuan dasar yang diperoleh dari ‘aktivitas belajar’
sebelumnya menjadi modal untuk mengidentifikasi sasaran belajar dan mengatur
‘aktivitas belajarnya’.
Teori aktivitas dan penelitian yang didasarkan
pada pandangan aktivitas manusia dan pembelajaran dalam konteks menunjukkan
pentingnya model yang lebih sistematis dari proses pembelajaran, di mana
pengalaman masa lalu dan kesempatan peserta didik, konsepsi mereka saat ini
dalam konteks pendidikan, kesadaran atau kepedulian, perasaan mereka, dan
pendekatan mereka untuk tugas-tugas tertentu yang diperhitungkan.
Matematika
sering digambarkan sebagai suatu jalan untuk mengetahui atau memahami dunia,
---suatu proses pemahaman dengan variabel
dan hubungan antar variabel. Kategori berpikir
(Categorical thinking) penting dalam pengembangan ide-ide awal penjumlahan atau pengukuran dan dalam aplikasi matematika pada
umumnya.
Istilah
kategori berpikir (Categorical thinking) yang dicetuskan
oleh Luria (1973) dan Vygotsky (1978) merujuk pada proses dimana kategorisasi
pikiran mengacu
pada proses
yang sebelumnya diinternalisasi konsep kategoris yang
kompleks digunakan sebagai
sasaran
(object)
dari kesadaran aktivitas intelektual.
Vygotsky sangat tertarik pada proses perkembangan yang terjadi sebagai konsep secara bertahap diinternalisasikan melalui komunikasi dengan orang lain yang signifikan (orang tua, teman dan guru).
Mungkin karena kebutuhan historis
untuk menyesuaikan diri dengan
ideologi resmi (negara), teori aktivitas
dan Luria telah
menyelidiki pandangan yang lebih global
tentang
aktivitas manusia dan komunikasi sebagai
dasar untuk perkembangan manusia dan
fokus yang lebih tajam pada hubungan
antara yang
mengetahui, pelajar, dan yang dikenal. Luria merujuk kepada pengetahuan
yang kompleks dan abstrak yang
dihasilkan tentang kategori
yang bermakna dan hubungan antara
mereka sebagai matriks hubungan masyarakat
(matrices of community relations). Pengetahuan berasal dari tindakan dan perasaan masa lalu, harapan, peran sosial, perilaku, dan relasi, serta pengetahuan
formal, sebagai matriks yang tertanam dan diwujudkan
dalam tindakan selanjutnya.
Hal ini sangat pribadi dan, dalam arti bahwa sejarah
aktivitas dan latar/suasana di mana aktivitas telah terjadi,
berbeda untuk setiap individu, sangat subjektif.
Sekolah adalah
hanya merupakan bagian kecil dari pengalaman budaya anak-anak, tindakan berbagi
masyarakat yang menarik
perhatian mereka untuk kategori budaya yang signifikan. Luria (dalam Lesle dkk: 1996)
mempresentasikan bukti pembentukan kesadaran kategori berdasarkan kegiatan
budaya yang signifikan. Dia juga mencatat bahwa tanpa pendidikan formal banyak
orang menggambarkan atribut objek dalam bentuk aktivitas yang terkait.
Contoh yang jelas dari sifat
non-mutlak kesadaran dan perbedaan dalam pemikiran dan tindakan kategoris
diinternalisasi terjadi di sekolah-sekolah untuk anak-anak dari Dwibudaya
tradisional, masyarakat Pitjantjatjara di Australia tengah. Penelitian antropologis,
menunjukkan perbedaan substansial pemikiran kategoris antara Aborigin dan
non-Aborigin bahkan tentang konsep-konsep perseptual membumi seperti warna.
Untuk anak-anak Pitjantjatjara warna primer yang biasa digunakan untuk
membedakan counter dan bahan manipulatif lainnya yang digunakan di sekolah
tidak segera jelas sebagai sarana klasifikasi. Mereka menemukan counter plastik
berwarna, yang biasa digunakan dalam kegiatan nomor awal, dibedakan dalam hal
bermakna. Kesulitan ini kontras dengan anak-anak Australia non-Aborigin untuk
siapa warna biasanya, signifikan jika bukan utama, dasar untuk klasifikasi set
objek.
Dalam pendidikan matematika, sangat
penting untuk mengakui bahwa tindakan berbagi
(shared action) dan pengalaman budaya membentuk basis
‘pengertian/pengalaman’ budaya (cultural
sense). ---Berbagi pengalaman pribadi dalam sekelompok orang. Makna yang lebih abstrak dan pemahaman
akan terbentuk berdasarkan hal ini. Yang paling penting,
motivasi dari peserta didik untuk bertindak secara matematis, dan
kemampuan/kualitas pengetahuan matematika mereka akan bergantung pada persepsi
pribadi mereka terhadap makna budaya dalam tindakan-tindakan tersebut,
signifikansi budaya terhadap cara berpikir matematika, ebagaimana pengetahuan
mereka tentang makna matematika dan tekniknya. Kadang-kadang pertentangan
nilainya sangat akut. Siswa dewasa pada
Anangu Teacher Education Program (ANTEP) sering bertanya : “mengapa Anda membandingkan hal-hal sepanjang waktu dan perlu tahu berapa banyak semuanya?”
kemudian mereka mengetes perbandingan ini, terutama yang dibuat tentang orang-orang,
mana yang sangat dicela dalam komunitas mereka. Di samping itu, prioritas tertinggi dalam budaya
barat, menyangkut kuantitas/jumlah dan variable terukur, tidak dipengaurhi oleh
aktifitas harian dan modus pengetahuan terkategori pada msyrakata tradisional
Aborigin. Menurut mereka, belajar matematika adalah keputusan yang serius
karena harga/nilai dan skala prioritas terkandung dalam aktivitas matematika.
Seorang wanita berceletuk:’ “jika kita belajar hal-hal ini, kita tidak akan benar-benar
menjadi orang Anangu lagi”.
Suatu paradigma untuk
membangun pengetahuan melalui
aktivitas
Teori
aktivitas yang dipostulatkan oleh Leont’ev (1981) merupakan suatu paradigma
besar, yang mendeskripsikan
pengetahuan sebagai hasil konstruksi dari kepribadian/personal, dan subjektif, pengalaman
dari suatu kegiatan. Berbeda dengan
Psikologi Barat umumnya, Leont'ev
menekankan ketidakterpisahan refleksi mental manusia dari aspek-aspek aktivitas
manusia yang menimbulkan itu.
Ia menggunakan istilah activity (aktivitas),
untuk menggambarkan kesadaran intelektual dan perilaku lainnya, yang dirangsang
oleh suatu motif dan subordinasi menuju suatu tujuan dan harapan. Inklusivitas diperluas untuk memasukkan faktor-faktor afektif.
Sebagai contoh, Fel’dshtein (1983.p.22) membuat perbedaan antara aktifitas
objek terorientasi dan aktifitas yang diarahkan pada pengembangan saling
keterkaitan antara orang dan masyarakat. Bagaimanapun, ia lebih menekankan
bahwa perbedaan bersifat
sementara 'karena
proses kegiatan adalah salah satu'.
Leont’ev
(1981:61) memberikan hasil mikroanalisis tentang aktivitas dan menjelaskan aksi
dan operasi sebagai komponen dasar. Ia membedakan antara tindakan
dan operasi sebagai berikut:
·
Suatu
aksi (action)/tindakan melibatkan perilaku sadar yang
mengacu pada tujuan.
·
Suatu Operasi merupakan tindakan yang telah berubah sebagai sarana
untuk mencapai hasil dalam
kondisi tertentu.
Leont’ev berkesan bahwa operasi bisa berupa gagasan yang
sebagian besar respon kerjanya tidak disadari termasuk dalam kegiatan-kegiatan
lainnya, yang akan merupakan cara teknik
ke arah suatu akhiran (an end). Ia
mencontohkan proses perubahan gigi pada suatu kendaraan, sebagai gambaran
perubahan suatu action (aksi) ke
bentuk operasi (operation). Semula,
perubahan gigi merupakan suatu aksi,
yang disadari akan menuju tujuan. Pada akhirnya, dengan banyak pengalaman,
operasi ini akan terbentuk secara tak sadar, sebagai suatu cara ke arah aksi
mengubah kecepatan kendaraan.
Luria (1973), mengemukakan bahwa
unit-unit fungsional berbeda pada otak berhubungan dengan aksi yang disadari
dan operasi-operasi rutin. Penelitian Craword (1986) mengklaim dan
mengindikasikan bahwa operasi adalah aspek utama tagihan kognitif dari penilaian
guru pada semua level peserta didik, sedangkan action berperan pada pemecahan masalah dan inquiri (penyelidikan).
Sebagaimana penekanan pada
operasi-operasi ini, dalam hal berbeda dengan aksi yang tidak mementingkan
tujuan, terbentuk secara tidak sadar, Leont’ev (1981:64) menjelaskan “adalah
hal yang biasa bahwa secara kebetulan operasi-operasi, cepat atau lambat,
mereka akan menjelma jadi fungsi suatu mesin.”
Sebagai contoh, jika menggunakan kalkulator utk perhitungan matematika,
aksi tidak akan terganggu oleh extracerebral link. Lebih baik, perhitungan
secara aritmetik menjadi operasi teknis: kegunaan mesin.
Aktivitas yang nyata cukup
ditegaskan oleh kedua hal: motifasi dan tujuan atau harapan. Suatu motifasi
tunggal, akan merangsang beberapa aksi berbeda, tergantung persepsi pribadi
tentang tujuan atau sumber motifasi.
Selanjutnya, tujuan tunggal didukung oleh beberapa aksi berbeda, tergantung
pada motifasi. Sebagai contoh, suatu pertanyaan terbuka, pada lingkungan
belajar yang terpusat pada siswa, bisa menimbulkan variasi tanggapan sesuai
banyaknya siswa, dengan kebutuhan berbeda dan persepsi berbeda terhadap tujuan,
sehingga mencari solusi dengan cara berbeda.
Pada kondisi otoriter, tujuan
memperoleh jawaban soal matematika bisa ditiru dari pekerjaan teman,
mengerjakannya diluar prinsip pertama, atau mengingat jawaban sesuai pengalaman
sebelumnya. Rupanya, aksi yang identik bisa memiliki makna berbeda sesuai mutu
pikiran dan belajar yang berbeda, untuk orang – orang dengan kebutuhan dan
tujuan berbeda.
Devydov, Zinchenko, dan Talysina
(1983) menyatakan bahwa aktivitas meliputi
hal-hal berikut:
1. Suatu kebutuhan mendorong
seseorang/subjek untuk mencari suatu objek atau tujuan
2. Penemuan suatu objek atau pencapaian
tujuan. Sekali penemuan objek, aktifitas itelektual tidak begitu jauh dituntun
oleh sifat-sifat objek , tetapi dituntun oleh bayangan/imaginasi subjek/pelaku
3. Pembentukan suatu bayangan/image
yang tampak sebagai proses timbal balik antara subjek dan objek
4. Konversi aktivitas menjadi hasil
yang objektif
Karena persepsi kebutuhan dan tujuan
adalah subjektif, kerangka ideologi nilai, harapan, dan kepercayaan dan
pengetahuan dihasilkan melalui pelaksanaan aktifitas yang cepat, suatu tolok
ukur penting dalam proses berpikir.
Davydovv dkk (1983), menekankan
perbedaan antara proses di atas dengan Teori Stimulus-Respon, yang mana
pernyataan subjek langsung ditentukan oleh objek. Aktivitas dalam tatanan Leont’ev dideskripsikan sebagai suatu
proses dimana subjek dan objek saling bertukar posisi.
Pembentukan aktivitas yang begitu
singkat kelihatan mendominasi tujuan eksternal. Aktivitas internal dianggap
sebagai hal kedua dan dibentuk melalui proses internalisasi dari aktivitas
objek eksternal yang sesuai. Davydovv dkk (1983), menyatakan
‘Pertama,
dalam proses internalisasi, bukan hanya perubahan dari bidang-bidang eksternal
ke hal-hal internal, tapi juga perubahan dari aktivitas kolektif ke aktivitas individual (aktivitas kolektif ditempatkan sebagai aktivitas praktis bersama
dalam bentuk komunikasi dan bahasa). Kedua, internalisasi tidak termuat dalam
pergeseran aktivitas eksternal ke bidang-bidang internal dari kesadaran yang
mendahuluinya, tetapi termuat dalam formasi bidang itu juga’.
Teori aktivitas yang dikemukakan
oleh Leont’ev menjelaskan dinamika kognitif, dari tataan (setting) yang
dijelaskan oleh Lave (1988). Ia membuat suatu tataan/setting sebagai ‘hubungan
antara orang yg beraksi dan arena dalamm kaitan dengan apa mereka beraksi’.
Pada saat dinamika pada konsekuensi kognitif dari lingkungan (setting) berbeda akan tereksplorasi, sejumlah
pertanyaan baru akan muncul, tentang belajar dalam suatu lingkungan budaya. Apa
yang telah dipelajari siswa dari pengalaman budaya sebelumnya? Mengapa mereka
‘membutuhkan’ untuk melakukan suatu tugas khusus matematika di sekolah? Apakah
ada pertentangan antara keperluan guru dengan keperluan siswa? Apakah tujuan
guru dicerna siswa? Apa saja interpretasi atau harapan siswa tentang latar/setting aktivitas mereka? Bagaimana
mereka merasakan objek budaya yang signifikan dari lingkungan, misalnya
komputer? Bagaimana mereka merasakan objek (tujuan) dari usaha mereka?
Engestrom (1989), memperluas teori
Leont’ev dan menggunaka istilah activity
system untuk menggambarkan situasi, yang umum dalam konteks pendidikan,
dimana sekelompok orang bekerja
bersama-sama untuk mengembangkan dan menggunakan keahlian mereka. Menurut
Ebgestrom, system aktivits termasuk
masyarakat, level kemampuan, pembagian kerja, peralatan/instrumen,
subjek/pelaku, objek/tujuan bersama (shared
objects/goal), dan hasil akhir. Ini merupakan system interaktif, yang
selalu berada dalam keseimbangan sebagai pekerjaan kelompok, melalui ketegangan
dan inkonsistensi untuk mencapai tujuan.
Penerapan
Teori Aktifitas dalam Pendidikan Matematika
Teori aktifitas telah digunakan
sebagai dasar untuk penelitian pendidikan matematika oleh para peneliti
Rusia. Dengan pengaruh teori Aktifitas
Leont’ev, para peneliti tersebut menyelidiki apek proses informasi (tentang
objek dalam dunia Fisika) dari perspektif yang sangat fenomenal. Hubungan
antara faktor-faktor yang berperan misalnya: aturan, cara pengkodean, dan
disiplin diri adalah hal-hal yang mereka amati. Hasil pengamatan ini, aktivitas
kognitif (---dianggap---) termasuk dalam konteks sosial. Pendekstan ini
ditambahkan secara bermakna ke dalam penejlasan/tafsiran model sebagai basis
teoritis untuk investigasi hubungan antara kemampuan kognitif dan kemampuan
memecahkan masalah ---antara berpikir dan berbuat---
Sebagai contoh, Semenov (1978)
melalui suatu studi pemecahan masalah aritmetika, menyatakan bahwa :
‘pemecahan masalah oleh manusia
tampak seperti membawa system yang rumit ke kondisi pekerjaan, dan sistem ini
berperan sebagai aturan penting dalam menetukan hasil akhir (outcome) sebagaimana peran informasi
dari lingkungan’. Ia menekankan pentingnya kegiatan (action), dalam istilah Leont’ev, sebagaimana kemampuan operasional
dalam proses pemecahan masalah. Menurut Semonov, action meliputi dua bidang dari kemampuan intelektual. Cara dimana
situasi dialami subjek/pelaku adalah merujuk pada orangnya ---selaku object plane atau intellectual plane--- dari pikiran. Proses kognitif mencakup monitoring dan
evaluasi terhadap usaha pemecahan masalah yang sedang berlangsung, mengaacu
kepada personal plane of thinking. Dalam
hal ini, kesadaran tujuan aktivitas kognitif, termasuk proses disiplin diri,
terjadi melalui dua hal sekaligus: refleksi tentang informasi objektif dan
refleksi tentang strategi pemecahan masalah. Itu terjadi bila mempertimbangkan
hal ketiga: bidang/ccakupan aktivitas, faktor yang dianggap oleh Semonov
seperti logika matematika, proses
deduktif yang berhubungan dengan aspek kognitif sebagaimana hasil penelitian
Barat umumnya.
Semonov menjelaskan aturan/ketentuan
berbeda pada aspek personal dan aspek intelektual dari aktifitas kognitif
melalui cara: aspek intelektual sebagai wujud hasil pikiran berhubungan dengan
pengembangan isi per-masalah-an; aspek personal mengacu pada luasan cakupan
masalah dimana masalah menjadi bagian dari kesadaran individual.
Dalam penjelasan Semenov tentang
pelaksanaan pemecahan masalah, hubungan antar objek dan komponen personal dari
aktivitas kognitif adalah dimediasi oleh refleksi. Sehingga subjek-subjek
terhubung dari refleksi objek permasalahan menuju pertimbangan dan evaluasi
aksi dan strategi mereka selama proses berjalan. Jumlah objek-objek aktivitas
kognitif berkembang melalui respon terhadap permasalahan makna kata yang
kkompleks..
Sesuai penelitian (saya---penulis
buku) tentang pendekatan siswa dalam memformulasi kata-kata pada permasalahan
aritmetika (Crawford: 1986a, 1986b), data mendukung klaim yang dibuat oleh
Semenov. Secara khusus, siswa (anak-anak) memanfaatkan aktivitas kesadaran
intelektual atau bidang objek personal (dalam hal ini mngggunakan proses
simultan sesuai model Luria tentang fungsi otak dan roses meta-kognitif pada
aspek pribadi), secara istimewa berhubungan dengan interpretasi masalah dan
pemilihan strategi penyelesaian. Hasilnya menunjukkan bahwa implementasi nyata
dari prosedur algoritma untuk memperoleh penyelesaian (umumnya secara otomatis
baik untuk studi/pengamatan sampel), menunjukkan peran kecil dari kemampuan
intelektual. Bagaimanapun, interview kepada siswa memberikan dampak kuat untuk
mengungkap latar belakang (setting)
dimana diri mereka berada. Tuntutan guru
untuk bekerja cepat akan berdampak luas, dimana saat menyelesaiakan
permasalahan dalam konteks situasi kelas normal, banyak siswa langsung beralih
ke suatu aspek operasional pikiran, dan secara umum mengalami salah tafsir pada
pertanyaan dengan semantik (kosakata) yang rumit. Saat interview, diharapkan
siswa memikirkan makna pada permasalahan sebelumnya, untuk memperoleh suatu
solusi, secara eksplisit/dengan tegas membawa banyak kemungkinan untuk
menginterpretasi masalah secara tepat tanpa bantuan lebih lanjut. Tidak satupun dari sampel
(n=210) secara spontan mengecek solusi yang mereka buat. Beberapa
menginformasikan (kepada saya = penulis buku) selama interview ‘itu merupakan pekerjaan guru.’ Saat secara tegas ditanya untuk
mengecek jawaban mereka ‘masuk akal’ semua siswa mengecek penggunaan prosedur
operasional dan tidak mengkaji makna dari pertanyaan yang
diajukan. Demikian pula, meskipun semua anak
menyadari instruksi guru untuk menggunakan estimasi
sebagai sarana untuk menghindari kesalahan perhitungan, tidak
menggunakan teknik kecuali perkiraan, itu diperlukan sebagai bagian dari
jawaban tertulis.
Bahkan siswa yang sukarela
komentar tentang dukungan lebih lanjut
untuk memperkirakan dari orangtua
menjelaskan bahwa dalam kenyataannya
ada keuntungan ada karena perkiraan yang belum
diakui oleh guru dan karena,
dalam pengalaman mereka, 'kecepatan'
sangat penting dalam
matematika. "Jika Anda
memperkirakan Anda tidak mendapatkan
dia bekerja selesai".
Itu jelas bahwa persepsi
anak-anak dari peran
mereka sebagai peserta didik dan peran
guru, diturunkan sebagai kesimpulan
diam-diam dari tindakan
setiap orang dalam konteks, memiliki dampak yang kuat
pada perilaku mereka dan mengesampingkan instruksi lisan dan penjelasan yang tidak konsisten dengan dinamika kegiatan interpersonal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam konteks pembelajaran, aktivitas kognitif siswa dalam matematika sering terlalu dibatasi
untuk operasi dan aspek
operasional pemikiran. Selanjutnya,
keputusan dalam aspek
pribadi
tentang prioritas
dan pilihan tentang tindakan yang akan dilakukan umumnya rahasia,
dan sangat
dipengaruhi oleh karakteristik pada konsep --- peran yang diadopsi oleh anggota
dari sistem kegiatan, kendala waktu, dan nilai-nilai yang tersirat dan
prioritas yang ditafsirkan dari tindakan masa lalu dari anggota lain dari
kelompok itu. Tanpa pengalaman pengambilan keputusan (sebelumnya) tentang
tindakan dan kesempatan untuk berkomunikasi mengenai mereka dalam kelompok,
banyak siswa tidak mempunyai perkembangan bahasa maupun pemahaman matematika
untuk mengatasi tugas semantik yang
rumit/kompleks.
3. Kebutuhan,
Harapan dan Tujuan: Mengubah Mutu Pembelajaran
Inovasi selalu dikaitkan dengan
ketegangan (tekanan) dan inkonsistensi. Perubahan dalam gaya pedagogis
(pengajaran) dan inovasi teknologi masing-masing dikaitkan dengan situasi yang menyoroti
ketidak konsistenan dalam kebutuhan,
harapan, dan tujuan dari para peserta yang
berbeda dalam suatu sistem kegiatan
dan memberikan wawasan ke dalam
dinamika proses pembelajaran.
Kegiatan dalam
Pendidikan Guru
Hubungan antara akting orang dan arena di mana mereka bertindak memiliki
konsekuensi yang kuat dalam hal hasil belajar. Love (1988) melaporkan 'bahwa
kelas dengan program otoritatif pengetahuan yang akan dikirim dan terpisah dari
aspek kehidupan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa untuk, dengan
disiplin dan tes, memiliki dampak yang kuat pada pengetahuan yang terkandung
... bertahun-tahun kemudian '. Ini menandakan ideologi
yang dewasa bertindak atas
dalam kaitannya dengan kegiatan matematika. Dia melaporkan
bahwa bentuk algoritmik
'matematika nyata' yang diskursif ditransmisikan
di lingkungan sekolah tampaknya jauh lebih kuat diwujudkan
dalam praktek nanti.
Johnson (1991) menemukan hasil
yang sama dalam pekerjaannya menjelajahi
kenangan wanita profesional dewasa tentang bagaimana mereka datang untuk menjadi 'mathematized' sebagai
perempuan dalam budaya barat.
Kenangan adalah perasaan sukses,
gambar topping kelas
atau kegagalan, status
atau posisi dalam latar
belakang
sosial di mana mereka pelajari, dan bagaimana rasanya menjadi seorang
gadis melakukan matematika. Ada keheningan penting dalam akun
mereka tentang matematika yang sebenarnya mereka belajar.
Kenangan yang hampir secara eksklusif dari ‘latarbelakang/setting’ sesuai istilah Lave (1988) atau dalam ‘aspek pribadi’ menurut Semenov (1978). Mereka menggambarkan hubungan antara diri mereka sebagai orang yang bertindak
dan konteks di mana kegiatan mereka dilakukan.
Guru merupakan orang tokoh penting dalam pendidikan
matematika. Pengalaman belajar matematika sesuai aturan/setting sekolah secara mendalam akan terwujud dalam praktek
profesional seorang guru. Ball (1987), menulis tentang pentingnya 'belajar
meninggalkan pengajaran matematika'.
Crawford (1992), menemukan
bahwa preservis guru SD
memasuki pelajaran
matematika dengan sikap yang dipegang teguh dan keyakinan
tentang bagaimana matematika dipelajari dan peran guru yang berasal dari
pengalaman pendidikan mereka. Keyakinan
tentang belajar matematika ---tentang apa yang guru dan siswa lakukan--- menimbulkan persepsi mereka
tentang kegiatan kelas dan
perilaku mereka sebagai guru
pemula. Meskipun para
calon guru (mahasiswa PPL) atau guru pemula, memiliki
pengetahuan yang luas tentang teori belajar terkini, bentuk pengetahuan ini sedikit membantu
ketika mereka diminta untuk bekerja dalam sebuah tim di sekolah, untuk
mengembangkan konteks pembelajaran
yang berpusat
pada siswa untuk penyelidikan matematika. Menulis esai tentang teori pembelajaran tidak memberdayakan
mereka dengan pengetahuan tentang bagaimana bertindak di dalam kelas.
Hampir semua mahasiswa mengalami kesulitan dalam sesi awal praktek karena
keyakinan bahwa mereka perlu 'mengajarkan sesuatu kepada anak-anak'
sebelum mereka bisa mengharapkan anak-anak untuk bertanya atau menyelidiki. Hal
ini tentu saja, perlu
mengambil prioritas di atas tujuan yang ditetapkan. Banyak yang terkejut ketika
berhadapan dengan keyakinan yang dipegang teguh bahwa anak-anak merupakan "bejana
kosong". Namun demikian, mereka melaporkan bahwa mereka menghabiskan
sebagian besar waktu di sesi awal "mengatakan" kepada anak-anak tentang
matematika. Seorang
mahasiswa menulis "sering aku merasa terdorong untuk memberitahu anak-anak
jawaban atau untuk menunjukkan kepada mereka bagaimana melakukannya ... setelah
selalu menemukan matematika mudah namun, saya menyadari bahwa saya tidak masuk ke kelas kosong
---. Aku mampu
menahan pikiran saya sendiri dan perasaan dan fokus pada pengembangan kemampuan
anak untuk berpikir."
Selain ketegangan antara mereka sangat membantu
keyakinan tentang bagaimana guru bertindak dan pengetahuan mereka tentang
teori belajar, kesulitan
utama yang lain muncul. Para siswa guru
(mahasiswa praktek) memiliki matematika yang
komplit dan menyelesaikan
program di
tingkat matrikulasi dan telah
sukses dalam belajar aksioma dan algoritma.
Bagaimanapun, sebagian dari mereka memiliki pengalaman menggunakan matematika
untuk menyelesaikan soal yang unik atau berbicara atau menjelaskan konsep
matematika. Kesenjangan
dalam pengetahuan matematika mereka hanya terungkap ketika mereka mencoba untuk berpikir matematis dalam lingkungan baru.
Calon guru (mahasiswa PPL), diminta untuk
menilai kebutuhan, harapan, dan tujuan dari anak-anak saat mereka bekerja.
mereka juga diminta untuk memungkinkan anak-anak untuk menikmati keputusan
aktif dan bertanggung jawab keputusan tentang tujuan kegiatan dan cara-cara
di mana tujuan tersebut mungkin tercapai. Artinya, mereka menciptakan
suasana di mana anak-anak
bisa terlibat dalam aktivitas
mengarahkan diri sendiri. Banyak ditemukan hal ini sulit. Hal ini memerlukan cara yang sama sekali baru dalam memandang anak-anak belajar.
Hanya menjelang akhir kursus
para calon guru mulai berbeda
antara niat dan tujuan mereka sendiri
dan anak-anak. Ketika mereka mulai bertindak
atas kesadaran baru ini mereka
mulai melihat perubahan dalam
dinamika kelas. Ketika tujuan diklarifikasi dan
harapan baru bagi anak-anak
yang dinegosiasikan, calon
guru mengubah posisi mereka di dalam kelas
dan memulai proses "melihat" nuansa berbeda. Seorang mahasiswa berbicara
penuh semangat tentang "melewati
gapura dan keluar di tempat yang saya tidak
pernah tahu ada." Kebanyakan menunjukkan keterkejutannya dan kagum pada pengetahuan
dan kreativitas anak-anak saat mereka menanggapi kondisi
baru. Selain itu, untuk calon
guru, tindakan
menciptakan suasana baru untuk belajar matematika
telah memperdalam pemahaman mereka tentang proses belajar mengajar dengan cara yang belum pernah terjadi sebagai akibat
dari program yang konvensional.
Tampak bahwa harapan, pengetahuan,
sikap, dan keyakinan diinternalisasikan sebagai hasil dari aktivitas sebelumnya, termasuk proses
budaya bersekolah, yang diwujudkan dalam
kegiatan yang terkait, apakah mereka
telah secara resmi
didiskusikan dan dinegosiasikan atau tidak. “Teori Aktivitas
" ini (Argyris: 1993)
sangat pribadi dan biasanya tak
perlu diungkapkan dengan
kata-kata, tapi dioperasionalkan. Mereka tidak
mudah untuk ulasan, mungkin karena refleksi dan diskusi tentang dinamika
tindakan yang bukan merupakan komponen utama dari pendidikan formal. Ada
beberapa bukti bahwa pengetahuan metakognitif mempengaruhi kualitas kegiatan
dalam "aspek pribadi" baik bagi guru juga siswa dan
bahwa itu lebih kuat diwujudkan dalam tindakan daripada dalam bentuk pengetahuan deklaratif teori belajar, saran
atau instruksi.
Bertindak dan Belajar dengan alat-alat
baru
Alat-alat baru juga menekankan ketegangan
dalam suatu sistem kegiatan pendidikan
(Engestrom: 1989). Kehadiran artefak budaya
seperti komputer dalam suatu
sistem kegiatan pendidikan mengubah
konteks --- kemungkinan
peran, hubungan, dan
kognisi. Untuk teoretikus Rusia, pengertian budaya
atau alat budaya dalam
berpikir, dianggap untuk
dikembangkan melalui pendidikan.
Dalam prakteknya mereka umumnya mengabaikan
pembelajaran 'primitif' yang terjadi di luar sistem
pendidikan. Namun, dampak dari
prioritas budaya yang berbeda pada pendekatan anak-anak Aborigin untuk tugas belajar
sekolah telah disebutkan.
Komputer adalah jenis tertentu alat budaya
yang
secara teknik membentuk bagian yang semakin penting dan
meresap aktivitas manusia dan organisasi sosial.
Papert (1980) menyatakan
bahwa "matematika sekolah" adalah konstruksi sosial dari era sebelum komputer. Dia
melanjutkan dengan mengatakan bahwa
"metafora komputer sebagai entitas pembicaraan matematika menempatkan pelajar
dalam semacam hubungan kualitatif baru
dengan domain yang penting dari pengetahuan." Ada ketegangan
antara cara-cara tradisional belajar dan mengajar matematika di sekolah dan
kualitas kegiatan pembelajaran yang diperlukan untuk berhitung fungsional dalam
usia sebuah komputer. Saat
ini, ada sedikit bukti bahwa komputer telah memenuhi potensi pendidikan yang
dibayangkan oleh Papert.
Engestrom (1989) berpendapat
bahwa suatu system aktivitas sangat
bermanfaat sebagai kerangka kerja untuk menganalisis aktivitas sekelompok gadis
berusia 6 tahun, yang diperkenalkan dengan material Lego/LOGO sebagai bagian
dari pendidikan matematika dan sains mereka (Crawford:1991). Proyek menyediakan suatu contoh cemerlang
tentang tekanan dan kontradiksi antara mode instruksi tradisional dan budaya
sekolah tradisional dan lebih banyak lingkungan pembelajaran aktif disajikan
oleh teori konstruktif terkini. Proyek ini juga menunjukkan beberapa pemahaman
ke arah pikiran logis di belakang dua hal yang saling bertentangan yang mana
banyak menginginkan penggunaan aplikasi komputer dalam kurikulum utama.
Kebudayaan sekolah terlindungi
secara ekstrim. Observasi kelas terungkap bahwa mode instruksi bersifat sangat
terpusat pada guru. Kelakuan baik, perintah, dan kerapian lebih banyak
dihargai. Para gadis sendiri merasa taat pada instruksi khusus dan menghasilkan
hasil yang benar sebagaimana harapan utama guru. Para siswa selalu bekerja
sendiri dan ‘pemberdayaan’ dihindari dengan pengamatan yang tertutup dan
pencelaan. Tes tertulis dan nilai persentase adalah satu-satunya bentuk
penilaian dan pelaporan yang digunakan dalam matematika. Sudah jelas, para
gadis menginterpretasikan peran mereka secara pasif, dan menjadikan diri mereka
sebagaimana pendapat Semenov (1978) yang menjelaskannya sebagai aktivitas aspek
personal, untuk menunjukkan hasil belajar
yang diminta oleh guru. Ranah kognitif/pengetahuan dalam suasana ini
lebih bersifat operasional.
Pada budaya ini, pembelajaran matematika
mencakup: imitasi/meniru, mengikuti petunjuk (Leont’ev:1981), dan dievaluasi
oleh guru yang ‘pandai’. Pembelajaran dilakukan sendiri. Mutu pengetahuan
matematika para gadis merupakan gambaran output pendidikan bernuansa
tradisional. Para gadis sangat efisien pada algoritma berhitung. Banyak yang mengetahui tabel perkalian dengan menghafal.
Buku mereka sangat bersih, dan diisi dengan hati-hati memuat hasil perhitungan
atau informasi konsep geometri yang mereka tiru dari papan tulis. Saat
diberikan tugas dan diminta menjelasan penyelesaian dengan kata-kata, sebagian
besar memiliki tanggapan dalam bentuk tidak terinstruksi --- menurut
ketentuan taksonomi SOLO--- tentang
respons siswa (Collins dan Bigs:1982). Hanya sebagian kecil saja yang dapat
mendiskusikan jawaban mereka sesuai ketentuan semua variable yang relevan dan
menjelaskan hubungan antar variable-variabel tersebut.
Di rumah mereka, balok-balok dan
mekanik dianggap sebagai sesuatu yang hanya dipikirkan kaum pria. Mereka
mengikuti les musik, tarian ballet, atau hal-hal lain yang lebih layak dikejar.
Sebagian besar tidak pernah memberikan perhatian besar untuk urusan eletronik
di rumah mereka, roda gigi/(persneling)
dan katrol pada mesin, atau benda-benda lain di lingkungan yang akan memberikan
mereka pemahaman akan barang-barang/material teknik dan logika yang perlu
untuk mendesain program LOGO untuk
model yang mereka buat. Para gadis berasal dari keluarga kaya, tetapi
pengalaman aktivitas keluarga mereka membuat mereka tertinggal dan miskin konsep
geometri/dimensi tiga dan ilmu mekanik.
Para gadis dikumpulkan dan dibekali
dengan material Lego/LOGO. Setelah beberapa diskusi awal tentang material
bangunan, para gadis didorong untuk bereksperimen. Mereka dilumphkan total
dengan kecemasan mengenai tanggapan terhadap pengertian suatu proyek untuk diri
mereka. Pegawai proyek menyiapkan masukan awal tentang membuat program di LOGO
dan beberapa bantuan tentang nama-nama persneling/gear yang bervariasi, dan
sensor yang berbentuk bagian dari peralatan Lego. Para gadis sangat sulit
menentukan bangunan berdimensi tiga.
Imaginasi sekelompok gadis kelihatan
was-was pada tumpukan material Lego. Pada akhirnya, salah satu dari mereka
mendatangi pegawai proyek memegang sebuah model di tangannya. “Apakah ini benar?”,
ia bertanya penuh ragu. Seorang dari kelompok lain berminat melihat model
tersebut. Ini direbut dan ditangisi: “Jangan ditiru”. Pada akhirnya, karena ini
merupakan sesi pertama, masing-msing kelompok memilih satu kartu dari Lego/LOGO
untuk meniru model. Disertai keluhan, mereka diberi tugas yang familiar. Guru
juga kelihatan sangat terhibur begitu susunan diperbaiki. Guru berkomentar
bahwa para gadis telah melakukan banyak kerja, pada bangun tiga dimensi dalam
pelajaran matematika. Guru terkejut karena kesulitan mereka yang begitu nyata.
Konteks baru pada pembelajaran
menimbulkan tuntutan yang sangat berbeda pada para gadis. Mereka membutuhkan
eksperimen, mengajukan permasalahan, mengivestiasi, berlogika tentang hubugan
antar bagian-bagian model yang dibuat, dan bagaimana
mengaturnya/memindahkannya. Mereka harus mengorganisasikan secara fisik, untuk
membuat bangun tiga dimensi ---untuk melibatkan dua hal dalam aktivitas: mental
dan kegiatan fisik--- Tiap group harus mendefinisikan pekerjaan mereka dan mengevaluasi
perkembangannya. Aktivitas mereka berada dalam tataran personal (personal plane), bukan tataran
operasional (operational plane)
dimana mereka memiliki pengalaman dalam pelajaran formal. Mereka harus memahmi
secara konseptual geometri tiga dimensi, walaupun modelnya sederhana. Supaya
dapat bekerja evektif dalam kelompok mareka harus bisa mengekspresikan pikiran
mereka, menguraikan strategi mereka dan memaparkan kesulitan mereka. Mereka
tidak berpengalaman (inexperienced)
dalam kegiatan ini, dan kebutuhan akan hal itu bertolak belakang dengan harapan
mereka.
Paper (1980) dan Sachter (1990)
menulis tentang kepotensialan LOGO sebagai suatu lingkungan pembelajaran aktif.
Latar di mana LOGO
digunakan merupakan faktor penentu
penting dari sejauh mana potensi tersebut direalisasikan. Para gadis dalam proyek ini kegiatan
intelektual tidak terbiasa dan tanggung jawab adalah pengalaman baru. Mereka berdiskusi tentang model mekanik, mereka awalnya sulit karena
mereka tidak memiliki kosa kata maupun
logico-struktur tata bahasa untuk menjelaskan
masalah ini. Sebuah kualitas baru pemahaman matematika diperlukan. Ini
menjadi jelas bahwa "pekerjaan" yang telah mereka lakukan di kelas
pada konsep bangun tiga-dimensi dan gigi/persneling tidak memberikan mereka
basis pengetahuan yang bisa mereka gunakan dalam konteks baru. Guru kelas menemukan peran fasilitatif orang dewasa dalam proyek cukup sulit. Dia menjadi cemas bahwa ia harus "membantu anak-anak .... sehingga mereka bisa melanjutkan dengan itu ... dan selesai pada waktunya ..." Penyesuaian para siswa cukup cepat dengan tuntutan baru. Pada akhir jangka waktu kebanyakan merasa aman dan bangga
dengan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Mereka menjelaskan keputusan
terhadap permasalahan mereka pada tingkat relasional dalam taksonomi SOLO
(Colis dan Biggs: 1982). Kualitas respon mereka mencerminkan kepemilikan dari
kegiatan mereka yang telah dilakukan dan pemahaman yang jelas tentang tujuan
mereka.
Seorang mahasiswa menulis di buku
hariannya:
Saya bekerja
dengan Nadine dan proyek kami adalah sebuah menara dengan lampu berkedip dan
tiga roda gigi dengan roda gigi kecil yang berputar lebih cepat dan roda gigi besar yang
berjalan lebih lambat. Menara ini memiliki sebuah helikopter di puncaknya dan jika tidak
memiliki roda gigi untuk membuatnya berputar lebih lambat. Ini akan berputar, sebagaimana yang kita alami minggu lalu. Gigi seperti roda dengan tepi
berduri (diagram) dengan tiang pada mereka sehingga mereka bergabung ke menara.
Hal baru yang kami lakukan adalah membuat gigi seperti gambar yang diberikan.
Kami mengatur roda gigi untuk membuat helikopter tidak diam. Menakjubkan, bahwa
kita membuat gigi. Saya merasa luar biasa dan bangga bahwa kami membuat
penciptaan ini. Kami menempatkan penciptaan hebat kami pada disk 11.
C. RANGKUMAN
Teori aktivitas menunjukkan adanya
kebutuhan untuk memperhatikan kualitas tindakan yang terinternalisasi,
perasaan, dan harapan sosial selama pembelajaran serta isu yang terkait dengan
proses akulturasi dari siswa dalam arti budaya menyetujui ide-ide matematika,
simbol dan tekniknya. Siswa pengalaman budaya, niat mereka, kebutuhan mereka,
dan jenis kegiatan matematika yang mereka alami bentuk semua kualitas
pembelajaran matematika dan cara-cara yang mereka kemudian dapat merasakan,
bertindak, dan berpikir matematis.
Kegiatan budaya yang terkait dengan
penggunaan pengetahuan matematika telah berubah secara signifikan dengan
munculnya teknologi informasi. Komputer telah dimungkinkan dan dapat diakses,
ide-ide matematika baru seperti yang berkaitan dengan teori chaos dan geometri
fraktal terkait. Ide-ide ini telah mengubah cara di mana sejumlah besar orang
berpikir tentang lingkungan mereka dan posisi mereka di dalamnya. Selain
mengubah hakikat matematika, komputer sekarang melakukan banyak kumpulan
rutinitas dan algoritma yang pernah dipelajari melalui latihan dan praktek (dan
masih menempati sebagian besar dari kurikulum sekolah). seperti perubahan dalam
alat budaya mengimplikasikan perubahan dalam kualitas aktivitas intelektual
ketika kebanyakan manusia bertindak matematis --- mungkin kurang fokus pada
teknik yang dikenal dan lebih memperhatikan tindakan yang lebih kreatif seperti
interpretasi informasi matematika dan pemodelan. Tentu saja, fokus tradisional
di sekolah-sekolah pada bidang operasional teknik pemikiran dan papper dan
pensil sekarang tampaknya ketinggalan zaman. Seperti orang Pitantjatjara,
disebutkan sebelumnya, kita perlu mengenali keseriusan pilihan yang mungkin.
Kita bisa memilih untuk menjaga proses budaya sekolah tradisional. Secara
khusus, kita bisa memilih untuk mempertahankan pengaturan otoritatif di mana
matematika dipelajari, dengan dimensi sosial dari konteks, penekanan pada
teknik papper dan pensil, dan peran marjinal untuk komputer. Namun, sekarang
ada pemahaman yang cukup tentang hubungan antara lingkungan sosial budaya di
mana kegiatan pembelajaran terjadi, kualitas dari proses kognitif yang
fungsional untuk kegiatan yang dihadapi, dan kualitas hasil pembelajaran yang
dihasilkan untuk menunjukkan kebutuhan untuk beberapa perubahan dalam praktik
pendidikan. Kita bisa memilih untuk mengatur konteks pendidikan sedemikian rupa
sehingga, selain negosiasi makna gagasan budaya disetujui, kategori dan teknik,
perhatian ditujukan pada kegiatan anggota komunitas pendidikan. ---Ke isomorfisme
antara aktivitas belajar dan perwujudan tindakan terinternalisasi dalam
kegiatan matematika yang terakhir---. Memilih untuk lebih memperhatikan
tindakan peserta didik dan guru, serta bagaimana pengetahuan matematika yang
diwujudkan dalam tindakan, mungkin melibatkan mempersoalkan perbedaan antara
kualitas, tujuan dan sasaran dari tindakan guru dan peserta didik di sekolah
dan tindakan matematikawan dan pengguna matematika dalam budaya yang lebih
luas.
DAFTAR PUSTAKA
Judul buku:
1. Theories of Mathematical Learning
2. Memahami Pendidikan dan Ilmu Kependidikan.
3. www.anneahira.com
1. Theories of Mathematical Learning
2. Memahami Pendidikan dan Ilmu Kependidikan.
3. www.anneahira.com
No comments:
Post a Comment