Thursday, September 26, 2013

PSIKOLOGI REMAJA, BELAJAR DAN PELESTARIAN BUDAYA




Fat dan temannya.jpg
oleh: SEBASTIANUS FEDI, S.Si
Mahasiswa Jurusan Matematika, Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali


Remaja. Jujur saja, kata ini cukup sedap dan terasa sangat indah di bathin setiap manusia. Mengapa?
Yah, karena inilah masa di mana seorang manusia bereksplorasi sebebas-bebasnya. Perhatikan saja fenomena kehidupan mereka: (1) cara menata rambut, (2) cara berpakaian (3) cara berkomunikasi (khususnya) penggunaan bahasa; (4) pola pergaulan/ berteman/ berkoloni.

Apa itu remaja?
Remaja, orang Manggarai, Flores menyebutnya ‘Ata Remeng Uwa’. [Ata = orang, remeng = sementara, selagi; uwa = tumbuh dan berkembang]. Remaja, dalam bahasa Inggris disebut “Adolescence’. Dalam bahasa Latin disebut "Adolescere".  Adolescere berarti "membesar" atau "membesar menjadi matang" (Santrock, 2007). Ada ahli psikologi mendefinisikan remaja sebagai suatu tempo perkembangan fisik dan suatu fenomena sosiobudaya. Pada umumnya remaja didefinisikan sebagai masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang berlangsung antara umur 12 tahun sampai 22 tahun.

Remaja dan Proses sosio-budaya
Dampak pergaulan sosial, entah bergaul langsung dengan manusia dari budaya lain atau hasil menonton TV, akses internet, nonton video, dll sangat mudah mempengaruhi pola perilaku remaja. Jika terlena, maka proses infiltrasi sosial-budaya cenderung menciptakan suatu generasi baru yang berbudaya asing. Kita lupa akan ‘Mbate dise Ame’. Idealnya, kita harus (belajar) meniru budaya kita, biar tetap lestari.

Jika kita jeli mengamati, yang membuat orang tua miris adalah (1) kehadiran bahasa-bahasa gaul dan (2) cara berpakaian. Bukannya melarang untuk hidup dan berpenampilan gaul. Tapi kita harus selektif, menerima tingkah-laku gaul,  bahasa gaul atau cara berpakaian yang tidak melanggar norma budaya kita. Misalnya: (1) gaya gunting rambut (2). Logat iyo ga (logat baru akhir-akhir ini).

Tapi ada ‘trend gaul’ tertentu yang harus kita hindari. Coba bayangkan jika kita ke Gereja dengan pakaian seperti Julia Peres, Inul Daratista, Rihanna, Marriah Carrey, atau seperti posisi celananya Justin Bieber dan Eminem. Semua umat yang lain, bukan menatap altar, tapi (maaf) menatap pemandangan super indah dan menggoda yang terpampang pada tubuh anda.

Misa untuk berdosa, ya ‘kan? Umat Tuhan pergi ke neraka melalui Gereja.  Gawat!

Masa remaja itu merupakan suatu proses, bukan sekedar jangka waktu usia. Proses yang dimaksudkan di sini ialah proses memperoleh sikap dan keyakinan yang diperlukan demi pelibatan diri yang berkesan positif dalam masyarakat. Apakah masyarakat berkesan baik jika kita pakai celana yang dilubangi di dekat ‘markas militer’ kita?
Masa remaja merupakan suatu masa peralihan dari dunia kanak-kanak menuju masa dewasa. Jika anak-anak belum tahu malu, maka saat mencapai usia 12 tahun (tamat SD), seharusnya seseorang kedepankan rasa malu. Bukan untuk malu-maluan tampil dalam segala hal, tapi paling tidak bisa menilai: mana yang pantas dan mana yang tidak pantas. Kita harus merasa malu pada hal-hal yg tidak pantas.

KECENDERUNGAN BELAJAR PARA REMAJA
Remaja selalu belajar meniru. Muncullah laki-laki pake anting (seperti Eminem): anting di hidung (= wohe pada kerbau), anting di sudut mata, tindik di pusat (seperti Aishwarya Rai dan Karena Kapoor dari India). Celana di-dodorkan hingga muncul belahan pinggul bahkan lubang pantat (seperti Justin Bieber dari Amerika).
Kita lupa pada artis lokal yang telah membesarkan kita: ise Ende agu ise Ema.

Butuh pemikiran jernih untuk menyadari bahwa di setiap kampung dan daerah, untuk setiap insan muda telah ada artis kesayangan dan idola utama: Ende agu Ema. Mereka telah weariskan seni berpakaian: DENG LEWE dan TENGGE JANDAR. Deng Lewe dan Tengge Jandar adalah budaya busana bermartabat tinggi. Deng Lewe menjunjung tinggi harga diri wanita. Tengge Jandar mantap untuk kegantengan laki-laki. Generasi muda harus belajar meniru dari orang tua (artis tradisional bermartabat tinggi). Meneladani gaya busana dari budaya orang tua adalah wujud cinta kepada mereka. Ledong dise empo, mbate dise ame, identitas budaya kita.

Belajar dan Tranformasi Budaya Manggarai ke Pola-Pola Modern-Gaul

Secara modern dan gaul, adalah wajar jika deng lewe dan tengge jandar dimodifikasi menjadi rok panjang dan celana panjang. Tetapi, bukan diganti dengan rok mini, celana berlubang-lubang, apalagi celana umpan! Celana umpan dan Rok Umpan atau berlubang-lubang adalah suatu penerapan hasil belajar yang salah. Filosofi belajar adalah usaha sadar untuk memperoleh pengetahuan baru demi perubahan diri ke arah yang lebih baik. Meniru perilaku yang menyimpang dari nilai positif budaya sendiri masuk kategori gagal belajar. Witherington, dalam bukunya Educational Psychology menyatakan:
‘belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada suatu reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian’
Semua bentuk reaksi dan sikap, menjurus kepada hal-hal positif.

Bahasa Gaul: Hasil Belajar yang Indah Tapi Aneh
Akhir-akhir ini muncul bahasa-bahasa baru, ungkapan-ungkapan baru. Misalnya: Met (org tua), bro (kakak), cia (makan), ciu (minum), timi, genok, cewek... Ada lagi tulisan yang sekedar dipampamg saja: ACX. Padahal ACX = aku cinta seks. Tapi ini sering terpampang di oto atau bemo. 
Ema = ayahanda, bapak. Ende = ibunda, mama. Tetapi secara gaul disebut Met. Ada MET TIMI (mama), ada MET GENOK (bapa). Met adalah pelafalan bahasa Inggris: Mad. Mad = gila. Jadi, Ende dan Ema= orang gila. Saudari = inewai, enu (Manggarai). Tapi bahasa gaul menggantinya dengan TIMI. TIMI = teman intim malam ini. Pantaskah itu untuk memanggil anak perempuan dari kerabat kita? Bahasa CEWEK, COWOK, GENOK, memang gaul. Namun maknanya menyimpang dari budaya Manggarai. Jika kita terus-terusan menggunakan bahasa-bahasa gaul ini, maka secara tidak sadar kita mewariskan budaya orang kepada generasi penerus kita. Budaya asli kita akan punah, seiring kepunahan penuturnya.

Adalah sangat mudah untuk menyebut MAKAN = LOMPONG, HANG. Daripada menyebutnya jadi CIA. Sebut MINUM = INUNG, bukan CIU. Karena CIA dan CIU adalah bahasa gaulnya konsumen NARKOBA. Saya khawatir, esok-esok SAKA HANG disebut SAKAW. POLI TAUNG = PUTAW. Seolah-olah kita lahir dan dibesarkan di lingkungan NARKOBA oleh para penjahat ‘MET’ kita! 

Bahasa gaul memang singkat, hemat waktu, mudah dimengerti. Tapi, apakah mengirim sms dengan bahasa gaul biayanya lebih murah daripada sms berbahasa daerah dari Artis Tua-Renta kita? Saya yakin, pihak Telkomsel atau Indosat tidak pernah mengenakan TARIF istimewa untuk bahasa gaul. Malah, penerima sms akan cengar-cengir dengan bahasa yang asing itu. Jadi, kata soalnya jangan ditulis jadi COZ. TERIMAKASIH lebih baik disingkat TKS daripada BLZ atau Z (Zombie). Tidak seberapa lama kok, kurang dari 10 detik saja waktu ketiknya. Zombie merujuk pada: (1) muka dgn mata membelalak, mulut terbuka lebar, lidah menjulur [ciri manusia setan]  (2) org yg kerja tidak pakai hati.


Oke, gaul sih boleh. Tapi yang wajar-wajar saja. Jika menyimpang apalagi jika belum tahu maknanya, yah jangan gunakan bahasa gaul itu. Inspirasi dan motivasi belajar terbesar adalah dari orang tua kita. Karena mereka polos mendidik dan memberi contoh tentang moral dan norma yang mulia. Neka hemong MBATE DISE AME, LEDONG DISE EMPO.
Salam ...

No comments:

Post a Comment