oleh: SEBASTIANUS FEDI, S.Si
Mahasiswa Jurusan Matematika, Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali
Mahasiswa Jurusan Matematika, Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali
Remaja. Jujur saja, kata ini cukup sedap dan
terasa sangat indah di bathin setiap manusia. Mengapa?
Yah, karena inilah masa
di mana seorang manusia bereksplorasi sebebas-bebasnya. Perhatikan saja
fenomena kehidupan mereka: (1) cara menata rambut, (2) cara berpakaian (3)
cara berkomunikasi (khususnya) penggunaan bahasa; (4) pola pergaulan/ berteman/ berkoloni.
Apa itu
remaja?
Remaja, orang Manggarai, Flores menyebutnya ‘Ata Remeng Uwa’. [Ata = orang, remeng = sementara, selagi; uwa = tumbuh dan berkembang]. Remaja, dalam bahasa Inggris disebut “Adolescence’. Dalam
bahasa Latin disebut "Adolescere". Adolescere berarti "membesar" atau
"membesar menjadi matang" (Santrock, 2007). Ada ahli psikologi
mendefinisikan remaja sebagai suatu tempo perkembangan fisik dan suatu fenomena sosiobudaya. Pada umumnya
remaja didefinisikan sebagai masa peralihan antara masa anak-anak dan masa
dewasa yang berlangsung antara umur 12 tahun sampai 22 tahun.
Remaja
dan Proses sosio-budaya
Dampak pergaulan sosial,
entah bergaul langsung dengan manusia dari budaya lain atau hasil menonton TV,
akses internet, nonton video, dll sangat mudah mempengaruhi pola perilaku
remaja. Jika terlena, maka proses infiltrasi sosial-budaya cenderung menciptakan
suatu generasi baru yang berbudaya asing. Kita lupa akan ‘Mbate dise Ame’. Idealnya,
kita harus (belajar) meniru budaya kita, biar tetap lestari.
Jika kita jeli mengamati,
yang membuat orang tua miris adalah (1) kehadiran bahasa-bahasa gaul dan (2) cara
berpakaian. Bukannya melarang untuk hidup dan berpenampilan gaul. Tapi kita
harus selektif, menerima tingkah-laku gaul,
bahasa gaul atau cara berpakaian yang tidak melanggar norma budaya kita.
Misalnya: (1) gaya gunting rambut (2). Logat iyo ga (logat baru akhir-akhir ini).
Tapi ada ‘trend gaul’
tertentu yang harus kita hindari. Coba bayangkan jika kita ke Gereja dengan
pakaian seperti Julia Peres, Inul Daratista, Rihanna, Marriah Carrey, atau
seperti posisi celananya Justin Bieber dan Eminem. Semua umat yang lain, bukan
menatap altar, tapi (maaf) menatap pemandangan super indah dan menggoda yang
terpampang pada tubuh anda.
Misa untuk berdosa, ya
‘kan? Umat Tuhan pergi ke neraka melalui Gereja. Gawat!
Masa remaja itu merupakan
suatu proses, bukan sekedar jangka waktu usia. Proses yang dimaksudkan di sini
ialah proses memperoleh sikap dan keyakinan yang diperlukan demi pelibatan
diri yang berkesan positif dalam masyarakat. Apakah masyarakat berkesan baik
jika kita pakai celana yang dilubangi di dekat ‘markas militer’ kita?
Masa remaja merupakan suatu
masa peralihan dari dunia kanak-kanak
menuju masa dewasa. Jika anak-anak belum tahu malu, maka saat mencapai usia 12 tahun (tamat SD), seharusnya seseorang
kedepankan rasa malu. Bukan untuk malu-maluan tampil dalam segala hal, tapi paling
tidak bisa menilai: mana yang pantas dan mana yang tidak pantas. Kita harus
merasa malu pada hal-hal yg tidak pantas.
KECENDERUNGAN
BELAJAR PARA REMAJA
Remaja selalu belajar
meniru. Muncullah laki-laki pake anting (seperti Eminem): anting di hidung (=
wohe pada kerbau), anting di sudut mata, tindik di pusat (seperti Aishwarya Rai
dan Karena Kapoor dari India). Celana di-dodorkan hingga muncul belahan pinggul
bahkan lubang pantat (seperti Justin Bieber dari Amerika).
Kita lupa pada artis lokal yang telah membesarkan kita:
ise Ende agu ise Ema.
Butuh pemikiran jernih untuk
menyadari bahwa di setiap kampung dan daerah, untuk setiap insan muda telah ada
artis kesayangan dan idola utama: Ende agu Ema. Mereka telah weariskan seni
berpakaian: DENG LEWE dan TENGGE JANDAR. Deng Lewe dan Tengge Jandar adalah
budaya busana bermartabat tinggi. Deng Lewe menjunjung tinggi harga diri
wanita. Tengge Jandar mantap untuk kegantengan laki-laki. Generasi muda harus
belajar meniru dari orang tua (artis tradisional bermartabat tinggi). Meneladani
gaya busana dari budaya orang tua adalah wujud cinta kepada mereka. Ledong dise
empo, mbate dise ame, identitas budaya kita.
Belajar
dan Tranformasi Budaya Manggarai ke Pola-Pola Modern-Gaul
Secara modern dan gaul, adalah
wajar jika deng lewe dan tengge jandar dimodifikasi menjadi rok panjang dan
celana panjang. Tetapi, bukan diganti dengan rok mini, celana berlubang-lubang,
apalagi celana umpan! Celana umpan dan Rok Umpan atau berlubang-lubang adalah
suatu penerapan hasil belajar yang salah. Filosofi belajar adalah usaha sadar
untuk memperoleh pengetahuan baru demi perubahan diri ke arah yang lebih baik. Meniru
perilaku yang menyimpang dari nilai positif budaya sendiri masuk kategori gagal
belajar. Witherington, dalam bukunya Educational
Psychology menyatakan:
‘belajar adalah suatu
perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru
daripada suatu reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau
suatu pengertian’
Semua bentuk reaksi dan
sikap, menjurus kepada hal-hal positif.
Bahasa
Gaul: Hasil Belajar yang Indah Tapi Aneh
Akhir-akhir ini muncul
bahasa-bahasa baru, ungkapan-ungkapan baru. Misalnya: Met (org tua), bro
(kakak), cia (makan), ciu (minum), timi, genok, cewek... Ada lagi tulisan yang
sekedar dipampamg saja: ACX. Padahal ACX = aku cinta seks. Tapi ini sering
terpampang di oto atau bemo.
Ema = ayahanda, bapak.
Ende = ibunda, mama. Tetapi secara gaul disebut Met. Ada MET TIMI (mama), ada
MET GENOK (bapa). Met adalah pelafalan bahasa Inggris: Mad. Mad = gila. Jadi, Ende
dan Ema= orang gila. Saudari = inewai, enu (Manggarai). Tapi bahasa gaul
menggantinya dengan TIMI. TIMI = teman intim malam ini. Pantaskah itu untuk
memanggil anak perempuan dari kerabat kita? Bahasa CEWEK, COWOK, GENOK, memang
gaul. Namun maknanya menyimpang dari budaya Manggarai. Jika kita terus-terusan
menggunakan bahasa-bahasa gaul ini, maka secara tidak sadar kita mewariskan
budaya orang kepada generasi penerus kita. Budaya asli kita akan punah, seiring
kepunahan penuturnya.
Adalah sangat mudah untuk
menyebut MAKAN = LOMPONG, HANG. Daripada menyebutnya jadi CIA. Sebut MINUM =
INUNG, bukan CIU. Karena CIA dan CIU adalah bahasa gaulnya konsumen NARKOBA.
Saya khawatir, esok-esok SAKA HANG disebut SAKAW. POLI TAUNG = PUTAW.
Seolah-olah kita lahir dan dibesarkan di lingkungan NARKOBA oleh para penjahat ‘MET’
kita!
Bahasa gaul memang singkat,
hemat waktu, mudah dimengerti. Tapi, apakah mengirim sms dengan bahasa gaul
biayanya lebih murah daripada sms berbahasa daerah dari Artis Tua-Renta kita? Saya yakin, pihak Telkomsel atau Indosat
tidak pernah mengenakan TARIF istimewa untuk bahasa gaul. Malah, penerima sms
akan cengar-cengir dengan bahasa yang asing itu. Jadi, kata soalnya jangan
ditulis jadi COZ. TERIMAKASIH lebih baik disingkat TKS daripada BLZ atau Z
(Zombie). Tidak seberapa lama kok, kurang dari 10 detik saja waktu ketiknya. Zombie
merujuk pada: (1) muka dgn mata membelalak, mulut terbuka lebar, lidah menjulur
[ciri manusia setan] (2) org yg kerja
tidak pakai hati.
Oke, gaul sih boleh. Tapi yang wajar-wajar saja. Jika menyimpang
apalagi jika belum tahu maknanya, yah jangan gunakan bahasa gaul itu. Inspirasi
dan motivasi belajar terbesar adalah dari orang tua kita. Karena mereka polos
mendidik dan memberi contoh tentang moral dan norma yang mulia. Neka hemong MBATE
DISE AME, LEDONG DISE EMPO.
Salam ...
No comments:
Post a Comment