PIKIRAN DAN PENALARAN
Untuk dapat memahami dan menjelaskan apa yang
dialami, manusia perlu melakukan kegiatan berpikir. Kegiatan berpikir
mengandaikan adanya pikiran. Pengalaman dan rasa ingin tahu manusia sendiri
sebenarnya sudah mengandaikan pikiran. Terdorong oleh rasa ingin tahu, pikiran
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan persoalan yang dihadapi. Kegiatan
berpikir (dalam arti luas) memang lebih dari sekedar bernalar. Tetapi kegiatan pokok pikiran dalam mencari
pengetahuan adalah penalaran. Maka, pikiran dan penalaran merupakan hal
yang mendasari dan memungkinkan pengetahuan. Tanpa pikiran dan penalaran, tak
mungkin ada pengetahuan. Penalaran
sendiri merupakan proses bagaimana pikiran menarik kesimpulan dari hal-hal yang
sebelumnya telah dietahui. Penalaran bisa berbentuk induksi, deduksi maupun
abduksi. Induksi adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan umum (universal)
dari pelbagai kejadian atau kasus khusus (partikular). Pembuatan perampatan
(generalisasi) biasanya didasarkan atas adanya pola yang terus berulang. Misalnya,
dari sekian banyak percobaan untuk memanasi pelbagai jenis logam dalam pelbagai
situasi selalu tampak bahwa logam-logam itu memuai, secara induktif orang
bernalar bahwa semua logam yang dipanasi akan memuai.
Sebaliknya, deduksi adalah bentuk penalaran yang
berangkat dari suatu pernyataan atau hukum umum ke kejadian khusus yang secara
niscaya dapat diturunakn dari pernyataan atau hukum umum tersebut. Misalnya,
dari pernyataan umum semua logam akan memuai bila dipanasi; dapat disimpulan
secara deduktif bahwa sebuah periuk berbahan logam akan memuai.
Abduksi adalah penalaran untuk merumuskan sebuah
hipotesis berupa pernyataan umum yang memungkinkan kebenarannya masih perlu diujicoba.
Misalnya, semua pohon mangga di kebun Pak Amat adalah mangga jenis golek. Suatu
saat, di dapur Pak Amat terdapat banyak buah mangga dan semuanya berjenis
golek. Ada kemungkinan besar bahwa mangga tersebut dipetik dari kebun Pak Amat sendiri.
Berkat kemampuannya menalar, manusia dapat
mengembangkan pengetahuannya. Inilah yang membedakan manusia dari binatang.
Binatang dapat memperoleh pengetahuan atau paling tidak memperoleh pengenalan
akan lingkungannya, tetapi hanya berdasarkan kemampuan instingtifnya. Sebagai
pengetahuan instingtif, pengetahuan binatang hanya terbaatas pada apa yang
secara alami telah terprogram dalam struktur genetisnya. Pada manusia terbuka
pelbagai kemungkinan. Berkat pikiran dan daya penalarannya, manusia tidak harus
selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dan sosial sekitarnya.
Sebaliknya manusia dapat mengubah lingkungan alam dan sosial sekitarnya untuk
disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhannya. Justru karena kemampuan
mengubah lingkungan alam dan sosial sekitarnya ini, di antara makhluk hidup di
bumi ini, manusia dapat menjadi faktor paling menyebabkan kerusakan ekologis. Tetapi
berkat kemampuan berpikirnya manusia pulalah yang dapat memilih kemungkinan
lain. Seekor kera dapat makan pisang dengan mengupas kulitnya dan meniru
gerk-gerik manusia dalam memakannya tetapi hanya manusia yang dapat mengerti
pelabagai kemungkinan yang bisa dilakukan dalam memakan pisang. Bisa langsung
dimakan, digoreng, digodok, atau dibakar, pisang dalam bentuk pusang selai,
kripik pisang, roti pisang, kolak pisang, dsb.
LOGIKA
Kegiatan penalaran tidak bisa dilakukan lepas dari
logika. Tidak sembarang kegiatan berpikir disebut penalaran. Penalaran adalah kegiatan berpikir seturut
asas kelurusan berpikir atau atau sesuai dengan hukum logika. Penalaran
sebagai kegiatan berpikir logis memang belum menjamin bahwa kesimpulan yang
ditarik atau pengetahuan yang dihasilkan pasti benar. Dalam penalaran deduktif
yang penarikan kesimpulannya selalu berlaku niscaya, kebenaran pernyataannya
tergantung dari apakah premis-premis (mayor dan minor) yang menjadi dasar
penrikan kesimpulan memang benar. Misalnya, secara logis silogisme berikut
sahih atau memenuhi hukum kelurusan berpikir:
Semua mahasiswa FMIPA pandai
Padahal Joko adalah mahasisa FMIPA
maka Joko pandai
Kesimpulan apakah Joko memang pandai atau tidak
masih tergantung kebenaran premis-premis sebelumnya. Walaupun pengetahuan yang
diperoleh dari penalaran yang memenuhi hukum logika belum terjamin
kebenarannya, namun logika tetap merupakan suatu dasar yang amat perlu untuk
memperoleh pengetahuan yang benar. Sebab tanpa logika, penalaran tidak mungkin
dilakukan, dan tanpa penalaran tidak akan ada pengetahuan yang benar.
Hanya penalaran yang membawa ke penyimpulan deduktif
dapat dikatakan sahih (valid). Suatu penyimpulan bersifat valid kalau
premis-premisnya benar dan kesimpulan yang ditarik daripadanya juga terjamin benar.
Hanya penalaran deduktif membawa ke penarikan kesimpulan yang bersifat niscaya.
Maka penalaran induktif dan deduktif tidak dapat dikatakan sahih atau tidak
sahih, melainkan terjamin atau tidak, dilakukan secara baik atau tidak baik,
tergantung dari apakah penyimpulannya dilakukan sesuai hukum-hukum penalaran
atau tidak. Hanya penyimpulan deduktif mempunyai aturan kesahihan. Kajian atas
aturan tersebut dilakukan dalam Logika Formal.
Argumen deduktif biasanya diungkapkan dalam bentuk
silogisme. Setiap silogisme mempunyai dua
macam premis (premis mayor dan premis minor) dan satu kesimpulan. Sebuah
silogisme dapat bersifat kategoris, hipotetis, atau disjungtif.
Silogisme kategoris adalah silogisme yang terdiri
dari proposisi-proposisi yang bersifat kategoris, yakni proposisi yang
berbentuk S itu P atau S itu bukan P. Di samping kesimpulan,
ada premis mayor dan premis minor. Premis mayor mengandung term mayor, premis
minor mengandung term minor. Term mayor
menjadi predikat kesimpulan,
sedangkan term minor menjadi subjek kesimpulan. Term yang sama pada
premis mayor dan minor disebut term penengah atau term pengantara (terminus medius).
Contoh:
Semua manusia dapat
mati
Ken
Arok seorang manusia
Ken Arok dapat mati
Contoh di
atas adalah silogisme kategoris yang bersifat afirmatif atau positif. Silogisme
kategoris juga dapat bersifat negatif. Selain itu subjek dan predikatnya pun
dapat ada perbedaan kuantitas. Maka secara umu ada 4 silogisme kategoris
sejajar dengan empat jenis proposisi kategoris.
Afirmatif
universal (A) : Semua manusia dapat mati
Negatif
universal (E) : Semua manusia tidak dapat
hidup terus di dunia
Afirmatif
Partikular (I) : Beberapa orang dapat
berenang
Negatif
Partikular (O) : Beberapa orang tidak
dapat berenang
Silogisme hipotetis adalah silogisme dalam proposisi bersyarat. Premis mayor dalam silogisme hipotetis
adalah suatu implikasi; suatu
pernyataan dalam bentuk: Kalau ... maka
... Premis minor atau meneguhkan yang dipersyaratkan atau menolak
akibatnya, dan kemudian menarik kesimpulan, entah dalam bentuk yang meneguhkan
akibatnya atau menolak yang dipersyaratkan. Ada dua macam silogisme hipotetis,
yaitu:
(1)
Modus Ponens:
(2)
Modus Tollens
Bentuk-bentuk silogisme hipotetis yang lain secara
logis tidak sahih.
Silogisme
disjungtif adalah silogisme yang
sahih hanya dalam salah satu kemungkinan yang menyingkirkan kemungkinan- kemungkinan
yang lain.
Contoh: Atau
p, atau q, atau r
Tetapi bukan p dan bukan q
Maka
r
Dikutip dari buku:
Epistemologi Dasar. Pengantar Filsafat Pengetahuan. Karangan : J. Sudarminta.
Epistemologi Dasar. Pengantar Filsafat Pengetahuan. Karangan : J. Sudarminta.
No comments:
Post a Comment