Thursday, September 26, 2013

PROSES BUDAYA DAN BELAJAR: HARAPAN, AKSI DAN HASIL







A.       PENDAHULUAN

Hakekatnya manusia adalah makhluk berbudaya. Setiap kumpulan manusia pada tempat tertentu akan menunjukkan ‘kebiasaan unik’ dalam tata pergaulan di tempat tersebut. Jika ‘kumpulan manusia’ cukup besar dan ‘wilayah’ cakupan pergaulan dengan kebiasaan unik cukup luas, maka terbentuk suatu daerah dengan kebudayaan tertentu. Inilah yang membuat kita mengenal istilah budaya barat, budaya timur, budaya Eropa, budaya Asia, budaya Jawa, budaya Bali, budaya Manggarai, dan lain sebagainya. Budaya merupakan hasil pikiran manusia, diwujudkan dalam tindakan, agar manusia mampu mempertahankan hidup dan hubungannya dengan alam maupun  pergaulannya dengan orang lain. Budaya menjadi habitus sosial yang mendukung manusia untuk memperoleh taraf hidup lebih baik.
Pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya. Dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan sendiri, secara proses mantransfernya yang paling efektif dengan cara pendidikan. Keduanya sangat erat sekali hubungannya karena saling melengkapi dan mendukung antara satru sama lainnya. Tujuan pendidikan pun adalah melestarikan dan selalu meningkatkan kebudayaan itu sendiri, dengan adanya pendidikanlah kita bisa mentransfer kebudayaan itu sendiri dari generasi ke generasi selanjutnya.
Perumusan mengenai batasan kebudayaan banyak sekali. Diantara batasan – batasan itu terdapat suatu kesepakatan bahwa kebudayaan itu dipelajari dan bahwa kebudayaan menyebabkan orang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dapat diartikan bahwa manusia hidup dalam suatu lingkungan alam dan lingkungan sosial, hal mana berarti juga bahwa kebudayaan tidak semata-mata merupakan unsur gejala biologis. Kebudayaan mencakup semua umur yang diciptakan manusia dari kelompoknya, dengan jalan mempelajarinya secara sadar atau dengan suatu proses penciptaan keadaan – keadaan tertentu. Hal itu semua mencakup aneka ragam teknik, lembaga-lembaga sosial, kepercayaan, maupun pola perilaku.
Sementara itu, pendidikan adalah upaya sadar manusia untuk membentuk karakter dan kemampuan pribadi seseorang menjadi lebih baik. Dengan pendidikan, manusia akan menguasai bidang keahlian tertentu, sesuai kemampuannya. Dalam kamus bahasa Inggris, Oxford Learners Pocket Dictionary, kata pedidikan diartikan sebagai pelatihan dan pembelajaran (2009:5). Dalam bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik. Jika diberi awalan me- akan menjadi kata mendidik, yang berarti: membantu seorang anak untuk menguasai aneka pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang diwarisi oleh keluarga dan masyarakatnya. Ini sama dengan istilah dalam bahasa Yunani: paedagogiek yang berarti ilmu menuntun anak, dan paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Orang yang menuntun atau mendidik disebut paedagog. Dalam istilah Romawi, pendidikan disebut educare artinya mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia.
Beberapa pendapat ahli tentang pengertian pendidikan adalah sebagai berikut (dalam Rohman: 2009). John Dewey  mengartikan pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental baik secara intelektual maupun emosiaonal ke arah alam dan sesame manusia. Sementara itu, Crow mengartikan pendidikkan sebagai proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.  Tampak bahwa, kedua ahli di atas mencetuskan pengertian pendidikan dengan pengaruh budaya yang kuat pada upaya mendidik seseorang. Ahli lain, George F Kneller melihat pendidikan dalam tiga cakupan, yaitu luas, teknis dan hasil. Arti luas dari pendidikan adalah menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan pikiran (mind), watak (character) dan kemampuan fisik (physical ability) individu. Arti teknis pendidikan adalah roses di mana masyarakat, melalui lembaga-lembaga pendidikan, dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, berupa pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi. Arti hasil pendidikan adalah apa yang boleh kita peroleh melalui belajar (pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan).
Sementara itu, ahli pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai usaha menuntun segenap kekuatan kodrat yang ada pada anak, baik sebagai individu manusia maupun sebagai anggota masyarakat, agar dapat mencapai kesempurnaan hidup. Dryarkara, menyatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia muda. Kedua definisi terakhir ini menitik beratkan pengertian pendidikan pada manusia sebagai subjek sekaligus objeknya (Rohman:2009).  
Hubungan antara budaya dan pendidikan begitu erat. Perkembangan peradaban manusia mulai dari zaman pra sejarah hingga zaman modern, tidak terlepas dari perkembangan pendidikan. Dengan didikan primitif, manusia pada zaman batu memepertahankan kebiasaan berburu menggunakan senjata ‘canggih’ berupa batu yang dipertajam. Kecanggihan pada saat itu sebatas menggunakan benda-benda alam dengan taraf manipulasi yang sangat sedikit.  Hal itu sesuai level pendidikan  manusia pada saat itu, dimana mereka hanya belajar meniru kebiasaan seorang senior. Bandingkan dengan keadaan sekarang, segala peralatan hidup manusia begitu canggih. Saking canggihnya, sehingga manusia menggunakan hitungan matematika untuk merancang pesawat pergi ke planet Mars. Setelah ribuan tahun manusia hidup dalam lingkungan budayanya, menghasilkan ribuan generasi baru dari zaman ke zaman, maka munculah teknologi canggih, yang mengubah total gaya hidup manusia. Tentu hal ini dicapai karena kemajuan di bidang pendidikan manusia. Lantas muncul pertanyaan: bagaimana perkembangan pendidikan itu sendiri? Apakah ada peran budaya di dalam transformasi pendidikan ke arah yang lebih maju? Jika ada, bagaimana peran budaya terhadap perubahan kemajuan pendidikan manusia? Adakah unsur budaya yang menghambat perkembangan pendidikan manusia?
Peran budaya, entah langsung maupun tak langsung, jelas berdampak signifikan bagi perkembangan pendidikan seseorang. Kenyataannya, kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia. Pendidikan merupakan suatu ‘perilaku’. Maka, budaya memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian seseorang, entah dari segi kognitif, afektif maupun psikomotoriknya. Sebagai contoh, dengan budaya gotong royong, akan memudahkan siswa untuk bekerja kelompok dalam membahas konsep matematika. Demikian juga dalam pendidikan matematika, setiap budaya memiliki dampak tersendiri bagi seorang anak dalam upaya memahami konsep matematika. Tidak bisa disangkal bahwa aktivitas sehari-hari akan mempengaruhi kemampuan belajar matematika seorang anak. Secara sederhana, kita dapat menganggap bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan sering diberi kesempatan untuk melakukan ekpserimen-eksperimen sederhana berkaitan ‘kejadian matematika’, tentu akan lebih akrab dan mudah memahami ‘konsep matematika’. Muncul pertanyaan, kebiasaan atau ‘budaya’ apa saja dan yang bagaimana saja yang dapat membantu seorang anak mudah membangun pemahaman dalam mempelajari konsep matematika? 
Dewasa ini, secara umum kelompok para peneliti menyetujui bahwa pengetahuan diperoleh  individu sebagai hasil dari pengalaman mereka sendiri (Lesle dkk: 1996). Pengalaman timbul sebagai akibat dari aktivitas (act), bahkan sebagai pengamat, dalam konteks budaya. Seorang ahli, van Oers menyajikan gambaran budaya-sejarah matematika sebagai jawaban atas pencarian seorang manusia aktif, yang tertanam dalam sejarah aktivitas manusia. Dalam cakupan budaya yang luas, diluar sekolah, ada beberapa bukti bahwa aktivitas matematika,  cara matematika digunakan dan dialami, dan orang-orang yang menggunakannya berubah. Di masa lalu, matematika umumnya digunakan oleh elit untuk membantu dalam pemahaman tentang lingkungan fisik. Sekarang ini, matematika telah digunakan untuk menafsirkan, menjelaskan, dan mendefinisikan lingkungan sosial. Bab ini mengeksplorasi keterkaitan dinamis kegiatan belajar, arena sosial budaya di mana mereka terjadi, proses kognitif yang diprakarsai, artefak kognitif yang digunakan, dan kualitas hasil pembelajaran yang dihasilkan. Pendekatan sistemik untuk belajar sebagai suatu aktivitas dalam konteksnya diambil untuk menguraikan relevansi praktis dari teori --- teori tindakan praktis.






B.        PEMBAHASAN
1.         Konteks Budaya dan Pengetahuan
Sebagai mahluk berbudaya, aktivitas manusia tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan hidupnya. Sementara itu, aktivitas akan mempengaruhi pengetahuan baru dalam otak seorang manusia. Meskipun ada sejarah ketidaksepakatan dan perdebatan, Vygotsky (1978) dengan temannya Luria (1973 dan 1982); dan Leont’ev (1981); ketiganya mengembangkan suatu teori dasar yang komprehensif tentang perkembangan manusia dari segi intra-aktivitas (dalam diri) dan interpersonal (antar individu), menyangkut tindakan individu dan dan tindakan kolektif daam konteks sejarah dan budaya. Vygotsky menekankan pada tanda-tanda/isyarat sebagai alat perantara antara ‘obyek-objek pengalaman’ dan ‘fugsi mental’ menimbulkan minat yang besar. Perhatiannya yang serius pada interaksi sosial dan bahasa yang sesuai dengan praktik pendidikan pada umumnya. Vygotsky menyatakan bahwa kekuatan budaya yang lebih luas membentuk perkembangan intelektual dan pada gilirannya dibentuk oleh produk dari aktivitas manusia. Ia menggunakan istilah coknowledge untuk pengaruh basis  sosiokultural pada pengetahuan. Dia juga menekankan sifat keasadaran yang  tidak mutlak alamiah (nonabsolute nature of consciousness). Artinya, orang-orang membentuk budaya dan dibentuk oleh budaya melalui proses mediasi makna sosial.
Teori yang dikemukakan oleh Luria (1973) tentang kegiatan otak, menjelaskan suatu hubungan neuro-psykologis dari kegiatan intrapersonal. Teorinya memberikan penjelasan yang kuat dari proses kognitif yang terkait dengan kegiatan belajar yang berbeda. Sementara itu, Leont’ev dan peneliti lain, dengan teori aktivitas, mengembangkan suatu model yang jelas tentang proses perkembangan kognitif dalam konteks melalui aktivitas seseorang ---hubungan antara pengetahuan dan tindakan---. Mereka telah mengusulkan hubungan yang dinamis antara aktivitas manusia dari semua jenis dengan perkembangan kognitifnya.
Teori orang Rusia, terutama teori Leont’ev dan teori-teori aktivitas lainnya, mengklaim bahwa ‘fungsi mental yang lebih tinggi, adalah sistem fungsional komplek yang terbentuk selama perkembangan individu sebagai hasil pengalaman dan aktivitas sosial.
Dengan kata lain,
tingkatan pengetahuan abstrak yang lebih tinggi, ide dan kapasitas pemrosesan, berkembang dalam situasi di mana ini adalah fungsional dalam hal kebutuhan, harapan, dan tujuan dari individu atau kelompok budaya. Posisi teoritis mereka menyajikan tantangan besar bagi asumsi filosofis dan psikologis yang mendasari organisasi dan praktek lembaga pendidikan dan penelitian pendidikan.
Pertama, Psikolog Barat secara tradisional terbatas pertimbangan mereka dari perkembangan manusia di tengkorak, atau kulit, dari seorang individu. Penilaian pendidikan berfokus pada individu tanpa mengacu pada konteks aktivitas mereka. Ada kecenderungan perbedaan pengalaman dan tindakan untuk menjadi tertarik sebagai perbedaan dalam kemampuan. Penelitian awal pada perempuan dan prestasi matematika adalah sebuah contoh (e.g. Fennema dan Sherman, 1977). Untuk teori aktivitas hubungan antara unsur-unsur dari suatu sistem kegiatan, baik orang dan artefak budaya, menjadi pusat perhatian dalam analisis aktivitas manusia.
Velsiner (1972: 7) menampilkan pandangan yang sama, dimana ia menyatakan:
Suatu asumsi sosial alamiah dari psikologi perkembangan tampaknya mengharuskan batas-batas ditarik pada titik-titik yang menggabungkan aspek-aspek yang relevan dari lingkungan sosial ke dalam sistem. Akhirnya, pendekatan sistem tampaknya mengharuskan upaya yang dilakukan untuk memahami hubungan saling tergantung antara bagian-bagian konstituen daripada mencari sebab dan akibat.
Kedua, pemisahan antara pikiran dan tubuh, atau antara pengetahuan/kognitif dengan aktifitas fisik, telah nyata dalam pemikiran pendidik sejak zaman Aristoteles. Hal ini juga menjadi dasar dari titik utama perbedaan antara Vygotsky dan Leont'ev. Pemisahan ini tercermin dalam definisi kebudayaan dalam literatur Barat. Harris (1968:16) mendfinisikan budaya dalam istilah ‘pola perilaku’sedangkan Goodenough (1957:167) menjelaskan budaya dengan istilah ‘sesuatu yang dimiliki orang dalam pikirannya’. Untuk teori aktivitas, tindakan fisik, pikiran dan perasaan, adalah bagian dari aktivitas manusia.  
Pandangan beberapa ahli ini merupakan gambaran realita bahwa manusia bisa ‘berkembang’ bila mana manusia tersebut banyak ‘berbuat’. Menurut Anne Ahira (dalam www.anneahira.com), perkembangan di sini meliputi beberapa aspek, yakni aspek kecerdasan (kognitif), aspek perasaan dan emosi (afektif), dan aspek keterampilan fisik (psikomotorik).
Pengertian kesadaran nonabsolut, banyak sudut pandang, memiliki kurangnya pemisahan aktivitas manusia dari konteksnya, menuju gagasan objektivitas sensitif, universalitas, dan generalisasi yang merupakan dasar-dasar penting dari disiplin ilmu matematika dan juga mendukung  penelitian psikologis. Misalnya, Cattel (1971), yang mengakui peran budaya dalam perkembangan kognitif, menggambarkan tugas-tugas yang melibatkan persepsi visual dari hubungan kompleks sebagai 'budaya bebas' atas dasar bahwa kesempatan untuk melihat sama-sama setara bagi semua orang.
Implikasi dari kontribusi penting Vygotsky adalah fokus konsep van Oers (bab 7). Vygotsky merujuk pada istilah Leont’ev (1975) tentang makna budaya (znacenie) dan menunjukan bahwa hal itu dapat diekspresikan dengan symbol-simbol (umumnya bahasa), ditransformasikan dalam kandungan/isi kurikulum, dan diajarkan sebagai perhatian utama pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Untuk ahli teori Rusia, budaya umumnya identik dengan pendidikan. Walaupun van Oers menyatakan pentingnya pemikiran Leont’ev tentang makna pribadi (akal: smysl), ia terfokus pada proses enkulturasi matematika dan pembentukan makna --- pentingnya negosiasi antara para ahli dan pemula karena mereka diinisiasi ke bentuk budaya yang signifikan pengetahuan matematikanya. Dalam diskusi lanjutan, fokus bergeser jauh dari tugas sekolah tradisional, menegosiasikan makna kultural disetujui untuk menguji hubungan antara pengetahuan dan tindakan.
2.         Belajar sebagai Aktivitas
a)      Pengetahuan, Sasaran, dan Aktivitas
Dalam menjalankan hidup, manusia modern pasti mengacu pada tiga hal: pengetahuan, sasaran, dan aktivitas. Pengetahuan dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus ‘alat’ untuk menentukan tindakan. Pengetahuan yang cukup memadai akan membantu subjek dalam menentukan sikap selanjutnya. Sasaran merupakan objek yang akan menentukan ke mana arah pelaksanaan tindakan. Jika telah memiliki pengetahuan dan sasaran, maka mudah untuk melaksanakan aktivitasnya. Demikian juga dalam pembelajaran matematika, seorang pendidik harus memiliki pengetahuan yang cukup dan memahami sasaran pembelajaran, sehingga mudah menata aktivitas pembelajarannya. Demikian juga dengan peserta didik, pengetahuan dasar yang diperoleh dari ‘aktivitas belajar’ sebelumnya menjadi modal untuk mengidentifikasi sasaran belajar dan mengatur ‘aktivitas belajarnya’.
Teori aktivitas dan penelitian yang didasarkan pada pandangan aktivitas manusia dan pembelajaran dalam konteks menunjukkan pentingnya model yang lebih sistematis dari proses pembelajaran, di mana pengalaman masa lalu dan kesempatan peserta didik, konsepsi mereka saat ini dalam konteks pendidikan, kesadaran atau kepedulian, perasaan mereka, dan pendekatan mereka untuk tugas-tugas tertentu yang diperhitungkan.
Matematika sering digambarkan sebagai suatu jalan untuk mengetahui atau memahami dunia, ---suatu proses pemahaman dengan variabel dan hubungan antar variabel. Kategori berpikir (Categorical thinking) penting dalam pengembangan ide-ide awal penjumlahan atau pengukuran dan dalam aplikasi matematika pada umumnya. Istilah kategori berpikir (Categorical thinking) yang dicetuskan oleh Luria (1973) dan Vygotsky (1978) merujuk pada proses dimana kategorisasi pikiran mengacu pada proses yang sebelumnya diinternalisasi konsep kategoris yang kompleks digunakan sebagai sasaran (object) dari kesadaran aktivitas intelektual. Vygotsky sangat tertarik pada proses perkembangan yang terjadi sebagai konsep secara bertahap diinternalisasikan melalui komunikasi dengan orang lain yang signifikan (orang tua, teman dan guru).
Mungkin karena kebutuhan historis untuk menyesuaikan diri dengan ideologi resmi (negara), teori aktivitas dan Luria telah menyelidiki pandangan yang lebih global tentang aktivitas manusia dan komunikasi sebagai dasar untuk perkembangan manusia dan fokus yang lebih tajam pada hubungan antara yang mengetahui,  pelajar, dan yang dikenal. Luria merujuk kepada pengetahuan yang kompleks dan abstrak yang dihasilkan tentang kategori yang bermakna dan hubungan antara mereka sebagai matriks hubungan masyarakat (matrices of community relations). Pengetahuan berasal dari tindakan dan perasaan masa lalu, harapan, peran sosial, perilaku, dan relasi, serta pengetahuan formal, sebagai matriks yang tertanam dan diwujudkan dalam tindakan selanjutnya. Hal ini sangat pribadi dan, dalam arti bahwa sejarah aktivitas dan latar/suasana di mana aktivitas telah terjadi, berbeda untuk setiap individu, sangat subjektif.
Sekolah adalah hanya merupakan bagian kecil dari pengalaman budaya anak-anak, tindakan berbagi masyarakat yang menarik perhatian mereka untuk kategori budaya yang signifikan. Luria (dalam Lesle dkk: 1996) mempresentasikan bukti pembentukan kesadaran kategori berdasarkan kegiatan budaya yang signifikan. Dia juga mencatat bahwa tanpa pendidikan formal banyak orang menggambarkan atribut objek dalam bentuk aktivitas yang terkait.
Contoh yang jelas dari sifat non-mutlak kesadaran dan perbedaan dalam pemikiran dan tindakan kategoris diinternalisasi terjadi di sekolah-sekolah untuk anak-anak dari Dwibudaya tradisional, masyarakat Pitjantjatjara di Australia tengah. Penelitian antropologis, menunjukkan perbedaan substansial pemikiran kategoris antara Aborigin dan non-Aborigin bahkan tentang konsep-konsep perseptual membumi seperti warna. Untuk anak-anak Pitjantjatjara warna primer yang biasa digunakan untuk membedakan counter dan bahan manipulatif lainnya yang digunakan di sekolah tidak segera jelas sebagai sarana klasifikasi. Mereka menemukan counter plastik berwarna, yang biasa digunakan dalam kegiatan nomor awal, dibedakan dalam hal bermakna. Kesulitan ini kontras dengan anak-anak Australia non-Aborigin untuk siapa warna biasanya, signifikan jika bukan utama, dasar untuk klasifikasi set objek.
Dalam pendidikan matematika, sangat penting untuk mengakui bahwa tindakan berbagi  (shared action) dan pengalaman budaya membentuk basis ‘pengertian/pengalaman’ budaya (cultural sense). ---Berbagi pengalaman pribadi dalam sekelompok orang. Makna yang lebih abstrak dan pemahaman akan terbentuk berdasarkan hal ini. Yang paling penting, motivasi dari peserta didik untuk bertindak secara matematis, dan kemampuan/kualitas pengetahuan matematika mereka akan bergantung pada persepsi pribadi mereka terhadap makna budaya dalam tindakan-tindakan tersebut, signifikansi budaya terhadap cara berpikir matematika, ebagaimana pengetahuan mereka tentang makna matematika dan tekniknya. Kadang-kadang pertentangan nilainya sangat akut.  Siswa dewasa pada Anangu Teacher Education Program (ANTEP) sering bertanya : “mengapa Anda membandingkan hal-hal sepanjang waktu dan perlu tahu berapa banyak semuanya?” kemudian mereka mengetes perbandingan ini, terutama yang dibuat tentang orang-orang, mana yang sangat dicela dalam komunitas mereka. Di samping itu, prioritas tertinggi dalam budaya barat, menyangkut kuantitas/jumlah dan variable terukur, tidak dipengaurhi oleh aktifitas harian dan modus pengetahuan terkategori pada msyrakata tradisional Aborigin. Menurut mereka, belajar matematika adalah keputusan yang serius karena harga/nilai dan skala prioritas terkandung dalam aktivitas matematika. Seorang wanita berceletuk:’ “jika kita belajar hal-hal ini, kita tidak akan benar-benar menjadi orang Anangu lagi”.
Suatu paradigma untuk membangun pengetahuan melalui aktivitas
Teori aktivitas yang dipostulatkan oleh Leont’ev (1981) merupakan suatu paradigma besar, yang mendeskripsikan pengetahuan sebagai hasil konstruksi dari kepribadian/personal, dan subjektif, pengalaman dari suatu kegiatan. Berbeda dengan Psikologi Barat umumnya, Leont'ev menekankan ketidakterpisahan refleksi mental manusia dari aspek-aspek aktivitas manusia yang menimbulkan itu. Ia menggunakan istilah activity (aktivitas), untuk menggambarkan kesadaran intelektual dan perilaku lainnya, yang dirangsang oleh suatu motif dan subordinasi menuju suatu tujuan dan harapan. Inklusivitas diperluas untuk memasukkan faktor-faktor afektif. Sebagai contoh, Fel’dshtein (1983.p.22) membuat perbedaan antara aktifitas objek terorientasi dan aktifitas yang diarahkan pada pengembangan saling keterkaitan antara orang dan masyarakat. Bagaimanapun, ia lebih menekankan bahwa perbedaan bersifat sementara 'karena proses kegiatan adalah salah satu'.
Leont’ev (1981:61) memberikan hasil mikroanalisis tentang aktivitas dan menjelaskan aksi dan operasi sebagai komponen dasar. Ia membedakan antara tindakan dan operasi sebagai berikut:
·            Suatu aksi (action)/tindakan melibatkan perilaku sadar yang mengacu pada tujuan.
·            Suatu Operasi merupakan tindakan yang telah berubah sebagai sarana untuk mencapai hasil dalam kondisi tertentu.
Leont’ev berkesan bahwa operasi bisa berupa gagasan yang sebagian besar respon kerjanya tidak disadari termasuk dalam kegiatan-kegiatan lainnya,  yang akan merupakan cara teknik ke arah suatu akhiran (an end). Ia mencontohkan proses perubahan gigi pada suatu kendaraan, sebagai gambaran perubahan suatu action (aksi) ke bentuk operasi (operation). Semula, perubahan gigi merupakan suatu aksi, yang disadari akan menuju tujuan. Pada akhirnya, dengan banyak pengalaman, operasi ini akan terbentuk secara tak sadar, sebagai suatu cara ke arah aksi mengubah kecepatan kendaraan.
Luria (1973), mengemukakan bahwa unit-unit fungsional berbeda pada otak berhubungan dengan aksi yang disadari dan operasi-operasi rutin. Penelitian Craword (1986) mengklaim dan mengindikasikan bahwa operasi adalah aspek utama tagihan kognitif dari penilaian guru pada semua level peserta didik, sedangkan action berperan pada pemecahan masalah dan inquiri (penyelidikan).
Sebagaimana penekanan pada operasi-operasi ini, dalam hal berbeda dengan aksi yang tidak mementingkan tujuan, terbentuk secara tidak sadar, Leont’ev (1981:64) menjelaskan “adalah hal yang biasa bahwa secara kebetulan operasi-operasi, cepat atau lambat, mereka akan menjelma jadi fungsi suatu mesin.”  Sebagai contoh, jika menggunakan kalkulator utk perhitungan matematika, aksi tidak akan terganggu oleh extracerebral link. Lebih baik, perhitungan secara aritmetik menjadi operasi teknis: kegunaan mesin.
Aktivitas yang nyata cukup ditegaskan oleh kedua hal: motifasi dan tujuan atau harapan. Suatu motifasi tunggal, akan merangsang beberapa aksi berbeda, tergantung persepsi pribadi tentang tujuan atau  sumber motifasi. Selanjutnya, tujuan tunggal didukung oleh beberapa aksi berbeda, tergantung pada motifasi. Sebagai contoh, suatu pertanyaan terbuka, pada lingkungan belajar yang terpusat pada siswa, bisa menimbulkan variasi tanggapan sesuai banyaknya siswa, dengan kebutuhan berbeda dan persepsi berbeda terhadap tujuan, sehingga mencari solusi dengan cara berbeda.
Pada kondisi otoriter, tujuan memperoleh jawaban soal matematika bisa ditiru dari pekerjaan teman, mengerjakannya diluar prinsip pertama, atau mengingat jawaban sesuai pengalaman sebelumnya. Rupanya, aksi yang identik bisa memiliki makna berbeda sesuai mutu pikiran dan belajar yang berbeda, untuk orang – orang dengan kebutuhan dan tujuan berbeda.
Devydov, Zinchenko, dan Talysina (1983) menyatakan bahwa aktivitas meliputi hal-hal berikut:
1.      Suatu kebutuhan mendorong seseorang/subjek untuk mencari suatu objek atau tujuan
2.      Penemuan suatu objek atau pencapaian tujuan. Sekali penemuan objek, aktifitas itelektual tidak begitu jauh dituntun oleh sifat-sifat objek , tetapi dituntun oleh bayangan/imaginasi subjek/pelaku
3.      Pembentukan suatu bayangan/image yang tampak sebagai proses timbal balik antara subjek dan objek
4.      Konversi aktivitas menjadi hasil yang objektif
Karena persepsi kebutuhan dan tujuan adalah subjektif, kerangka ideologi nilai, harapan, dan kepercayaan dan pengetahuan dihasilkan melalui pelaksanaan aktifitas yang cepat, suatu tolok ukur penting dalam proses berpikir.
Davydovv dkk (1983), menekankan perbedaan antara proses di atas dengan Teori Stimulus-Respon, yang mana pernyataan subjek langsung ditentukan oleh objek. Aktivitas dalam tatanan Leont’ev dideskripsikan sebagai suatu proses dimana subjek dan objek saling bertukar posisi.
Pembentukan aktivitas yang begitu singkat kelihatan mendominasi tujuan eksternal. Aktivitas internal dianggap sebagai hal kedua dan dibentuk melalui proses internalisasi dari aktivitas objek eksternal yang sesuai. Davydovv dkk (1983), menyatakan
‘Pertama, dalam proses internalisasi, bukan hanya perubahan dari bidang-bidang eksternal ke hal-hal internal, tapi juga perubahan dari aktivitas kolektif ke  aktivitas individual (aktivitas kolektif  ditempatkan sebagai aktivitas praktis bersama dalam bentuk komunikasi dan bahasa). Kedua, internalisasi tidak termuat dalam pergeseran aktivitas eksternal ke bidang-bidang internal dari kesadaran yang mendahuluinya, tetapi termuat dalam formasi bidang itu juga’.  
Teori aktivitas yang dikemukakan oleh Leont’ev menjelaskan dinamika kognitif, dari tataan (setting) yang dijelaskan oleh Lave (1988). Ia membuat suatu tataan/setting sebagai ‘hubungan antara orang yg beraksi dan arena dalamm kaitan dengan apa mereka beraksi’. Pada saat dinamika pada konsekuensi kognitif dari lingkungan (setting) berbeda akan tereksplorasi, sejumlah pertanyaan baru akan muncul, tentang belajar dalam suatu lingkungan budaya. Apa yang telah dipelajari siswa dari pengalaman budaya sebelumnya? Mengapa mereka ‘membutuhkan’ untuk melakukan suatu tugas khusus matematika di sekolah? Apakah ada pertentangan antara keperluan guru dengan keperluan siswa? Apakah tujuan guru dicerna siswa? Apa saja interpretasi atau harapan siswa tentang latar/setting aktivitas mereka? Bagaimana mereka merasakan objek budaya yang signifikan dari lingkungan, misalnya komputer? Bagaimana mereka merasakan objek (tujuan) dari usaha mereka?
Engestrom (1989), memperluas teori Leont’ev dan menggunaka istilah activity system untuk menggambarkan situasi, yang umum dalam konteks pendidikan, dimana sekelompok orang  bekerja bersama-sama untuk mengembangkan dan menggunakan keahlian mereka. Menurut Ebgestrom, system aktivits termasuk  masyarakat, level kemampuan, pembagian kerja, peralatan/instrumen, subjek/pelaku, objek/tujuan bersama (shared objects/goal), dan hasil akhir. Ini merupakan system interaktif, yang selalu berada dalam keseimbangan sebagai pekerjaan kelompok, melalui ketegangan dan inkonsistensi untuk mencapai tujuan.
Penerapan Teori Aktifitas dalam Pendidikan Matematika
Teori aktifitas telah digunakan sebagai dasar untuk penelitian pendidikan matematika oleh para peneliti Rusia.  Dengan pengaruh teori Aktifitas Leont’ev, para peneliti tersebut menyelidiki apek proses informasi (tentang objek dalam dunia Fisika) dari perspektif yang sangat fenomenal. Hubungan antara faktor-faktor yang berperan misalnya: aturan, cara pengkodean, dan disiplin diri adalah hal-hal yang mereka amati. Hasil pengamatan ini, aktivitas kognitif (---dianggap---) termasuk dalam konteks sosial. Pendekstan ini ditambahkan secara bermakna ke dalam penejlasan/tafsiran model sebagai basis teoritis untuk investigasi hubungan antara kemampuan kognitif dan kemampuan memecahkan masalah ---antara berpikir dan berbuat---
Sebagai contoh, Semenov (1978) melalui suatu studi pemecahan masalah aritmetika, menyatakan bahwa :
‘pemecahan masalah oleh manusia tampak seperti membawa system yang rumit ke kondisi pekerjaan, dan sistem ini berperan sebagai aturan penting dalam menetukan hasil akhir (outcome) sebagaimana peran informasi dari lingkungan’. Ia menekankan pentingnya kegiatan (action), dalam istilah Leont’ev, sebagaimana kemampuan operasional dalam proses pemecahan masalah. Menurut Semonov, action meliputi dua bidang dari kemampuan intelektual. Cara dimana situasi dialami subjek/pelaku adalah merujuk pada orangnya ---selaku object plane atau intellectual plane--- dari pikiran.  Proses kognitif mencakup monitoring dan evaluasi terhadap usaha pemecahan masalah yang sedang berlangsung, mengaacu kepada personal plane of thinking. Dalam hal ini, kesadaran tujuan aktivitas kognitif, termasuk proses disiplin diri, terjadi melalui dua hal sekaligus: refleksi tentang informasi objektif dan refleksi tentang strategi pemecahan masalah. Itu terjadi bila mempertimbangkan hal ketiga: bidang/ccakupan aktivitas, faktor yang dianggap oleh Semonov seperti logika matematika, proses deduktif yang berhubungan dengan aspek kognitif sebagaimana hasil penelitian Barat umumnya.
Semonov menjelaskan aturan/ketentuan berbeda pada aspek personal dan aspek intelektual dari aktifitas kognitif melalui cara: aspek intelektual sebagai wujud hasil pikiran berhubungan dengan pengembangan isi per-masalah-an; aspek personal mengacu pada luasan cakupan masalah dimana masalah menjadi bagian dari kesadaran individual.
Dalam penjelasan Semenov tentang pelaksanaan pemecahan masalah, hubungan antar objek dan komponen personal dari aktivitas kognitif adalah dimediasi oleh refleksi. Sehingga subjek-subjek terhubung dari refleksi objek permasalahan menuju pertimbangan dan evaluasi aksi dan strategi mereka selama proses berjalan. Jumlah objek-objek aktivitas kognitif berkembang melalui respon terhadap permasalahan makna kata yang kkompleks..
Sesuai penelitian (saya---penulis buku) tentang pendekatan siswa dalam memformulasi kata-kata pada permasalahan aritmetika (Crawford: 1986a, 1986b), data mendukung klaim yang dibuat oleh Semenov. Secara khusus, siswa (anak-anak) memanfaatkan aktivitas kesadaran intelektual atau bidang objek personal (dalam hal ini mngggunakan proses simultan sesuai model Luria tentang fungsi otak dan roses meta-kognitif pada aspek pribadi), secara istimewa berhubungan dengan interpretasi masalah dan pemilihan strategi penyelesaian. Hasilnya menunjukkan bahwa implementasi nyata dari prosedur algoritma untuk memperoleh penyelesaian (umumnya secara otomatis baik untuk studi/pengamatan sampel), menunjukkan peran kecil dari kemampuan intelektual. Bagaimanapun, interview kepada siswa memberikan dampak kuat untuk mengungkap latar belakang (setting) dimana diri mereka berada.  Tuntutan guru untuk bekerja cepat akan berdampak luas, dimana saat menyelesaiakan permasalahan dalam konteks situasi kelas normal, banyak siswa langsung beralih ke suatu aspek operasional pikiran, dan secara umum mengalami salah tafsir pada pertanyaan dengan semantik (kosakata) yang rumit. Saat interview, diharapkan siswa memikirkan makna pada permasalahan sebelumnya, untuk memperoleh suatu solusi, secara eksplisit/dengan tegas membawa banyak kemungkinan untuk menginterpretasi masalah secara tepat tanpa bantuan lebih lanjut. Tidak satupun dari sampel (n=210) secara spontan mengecek solusi yang mereka buat. Beberapa menginformasikan (kepada saya = penulis buku) selama interview ‘itu merupakan pekerjaan guru.’ Saat secara tegas ditanya untuk mengecek jawaban mereka ‘masuk akal’ semua siswa mengecek penggunaan prosedur operasional dan tidak  mengkaji makna dari pertanyaan yang diajukan. Demikian pula, meskipun semua anak menyadari instruksi guru untuk menggunakan estimasi sebagai sarana untuk menghindari kesalahan perhitungan, tidak menggunakan teknik kecuali perkiraan, itu diperlukan sebagai bagian dari jawaban tertulis. Bahkan siswa yang sukarela komentar tentang dukungan lebih lanjut untuk memperkirakan dari orangtua menjelaskan bahwa dalam kenyataannya ada keuntungan ada karena perkiraan yang belum diakui oleh guru dan karena, dalam pengalaman mereka, 'kecepatan' sangat penting dalam matematika. "Jika Anda memperkirakan Anda tidak mendapatkan dia bekerja selesai". Itu jelas bahwa persepsi anak-anak dari peran mereka sebagai peserta didik dan peran guru, diturunkan sebagai kesimpulan diam-diam dari tindakan setiap orang dalam konteks, memiliki dampak yang kuat pada perilaku mereka dan mengesampingkan instruksi lisan dan penjelasan yang tidak konsisten dengan dinamika kegiatan interpersonal.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam konteks pembelajaran, aktivitas kognitif siswa dalam matematika sering terlalu dibatasi untuk operasi dan aspek operasional pemikiran. Selanjutnya, keputusan dalam aspek pribadi tentang prioritas dan pilihan tentang tindakan yang akan dilakukan umumnya rahasia, dan sangat dipengaruhi oleh karakteristik pada konsep --- peran yang diadopsi oleh anggota dari sistem kegiatan, kendala waktu, dan nilai-nilai yang tersirat dan prioritas yang ditafsirkan dari tindakan masa lalu dari anggota lain dari kelompok itu. Tanpa pengalaman pengambilan keputusan (sebelumnya) tentang tindakan dan kesempatan untuk berkomunikasi mengenai mereka dalam kelompok, banyak siswa tidak mempunyai perkembangan bahasa maupun pemahaman matematika untuk mengatasi tugas semantik yang rumit/kompleks.
3.      Kebutuhan, Harapan dan Tujuan: Mengubah Mutu Pembelajaran
Inovasi selalu dikaitkan dengan ketegangan (tekanan) dan inkonsistensi. Perubahan dalam gaya pedagogis (pengajaran) dan inovasi teknologi masing-masing dikaitkan dengan situasi yang menyoroti ketidak konsistenan dalam kebutuhan, harapan, dan tujuan dari para peserta yang berbeda dalam suatu sistem kegiatan dan memberikan wawasan ke dalam dinamika proses pembelajaran.
Kegiatan dalam Pendidikan Guru
Hubungan antara akting orang dan arena di mana mereka bertindak memiliki konsekuensi yang kuat dalam hal hasil belajar. Love (1988) melaporkan 'bahwa kelas dengan program otoritatif pengetahuan yang akan dikirim dan terpisah dari aspek kehidupan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa untuk, dengan disiplin dan tes, memiliki dampak yang kuat pada pengetahuan yang terkandung ... bertahun-tahun kemudian '. Ini menandakan ideologi yang dewasa bertindak atas dalam kaitannya dengan kegiatan matematika. Dia melaporkan bahwa bentuk algoritmik 'matematika nyata' yang diskursif ditransmisikan di lingkungan sekolah tampaknya jauh lebih kuat diwujudkan dalam praktek nanti.
 Johnson (1991) menemukan hasil yang sama dalam pekerjaannya menjelajahi kenangan wanita profesional dewasa tentang bagaimana mereka datang untuk menjadi 'mathematized' sebagai perempuan dalam budaya barat. Kenangan adalah perasaan sukses, gambar topping kelas atau kegagalan, status atau posisi dalam latar belakang sosial di mana mereka pelajari, dan bagaimana rasanya menjadi seorang gadis melakukan matematika. Ada keheningan penting dalam akun mereka tentang matematika yang sebenarnya mereka belajar. Kenangan yang hampir secara eksklusif dari latarbelakang/setting sesuai istilah Lave (1988)  atau dalam ‘aspek pribadi’ menurut  Semenov (1978). Mereka menggambarkan hubungan antara diri mereka sebagai orang yang bertindak dan konteks di mana kegiatan mereka dilakukan.
Guru merupakan orang tokoh penting dalam pendidikan matematika. Pengalaman belajar matematika sesuai aturan/setting sekolah secara mendalam akan terwujud dalam praktek profesional seorang guru. Ball (1987), menulis tentang pentingnya 'belajar meninggalkan pengajaran matematika'. Crawford (1992), menemukan bahwa preservis guru SD memasuki pelajaran matematika dengan sikap yang dipegang teguh dan keyakinan tentang bagaimana matematika dipelajari dan peran guru yang berasal dari pengalaman pendidikan mereka. Keyakinan tentang belajar matematika ---tentang apa yang guru dan siswa lakukan--- menimbulkan persepsi mereka tentang kegiatan kelas dan perilaku mereka sebagai guru pemula. Meskipun para calon guru (mahasiswa PPL) atau guru pemula, memiliki pengetahuan yang luas tentang teori belajar terkini, bentuk pengetahuan ini sedikit membantu ketika mereka diminta untuk bekerja dalam sebuah tim di sekolah, untuk mengembangkan konteks pembelajaran yang berpusat pada siswa untuk penyelidikan matematika. Menulis esai tentang teori pembelajaran tidak memberdayakan mereka dengan pengetahuan tentang bagaimana bertindak di dalam kelas.
Hampir semua mahasiswa mengalami kesulitan dalam sesi awal praktek karena keyakinan bahwa mereka perlu 'mengajarkan sesuatu kepada anak-anak' sebelum mereka bisa mengharapkan anak-anak untuk bertanya atau menyelidiki. Hal ini tentu saja, perlu mengambil prioritas di atas tujuan yang ditetapkan. Banyak yang terkejut ketika berhadapan dengan keyakinan yang dipegang teguh bahwa anak-anak merupakan "bejana kosong". Namun demikian, mereka melaporkan bahwa mereka menghabiskan sebagian besar waktu di sesi awal "mengatakan" kepada anak-anak tentang matematika. Seorang mahasiswa menulis "sering aku merasa terdorong untuk memberitahu anak-anak jawaban atau untuk menunjukkan kepada mereka bagaimana melakukannya ... setelah selalu menemukan matematika mudah namun, saya menyadari bahwa saya tidak masuk ke kelas kosong ---. Aku mampu menahan pikiran saya sendiri dan perasaan dan fokus pada pengembangan kemampuan anak untuk berpikir."
Selain ketegangan antara mereka sangat membantu keyakinan tentang bagaimana guru bertindak dan pengetahuan mereka tentang teori belajar, kesulitan utama yang lain muncul. Para siswa guru (mahasiswa praktek) memiliki matematika yang komplit dan menyelesaikan program di tingkat matrikulasi dan telah sukses dalam belajar aksioma dan algoritma. Bagaimanapun, sebagian dari mereka memiliki pengalaman menggunakan matematika untuk menyelesaikan soal yang unik atau berbicara atau menjelaskan konsep matematika. Kesenjangan dalam pengetahuan matematika mereka hanya terungkap ketika mereka mencoba untuk berpikir matematis dalam lingkungan baru.  
Calon guru (mahasiswa PPL), diminta untuk menilai kebutuhan, harapan, dan tujuan dari anak-anak saat mereka bekerja. mereka juga diminta untuk memungkinkan anak-anak untuk menikmati keputusan aktif dan bertanggung jawab keputusan tentang tujuan kegiatan dan cara-cara di mana tujuan tersebut mungkin tercapai. Artinya, mereka menciptakan suasana di mana anak-anak bisa terlibat dalam aktivitas mengarahkan diri sendiri. Banyak ditemukan hal ini sulit. Hal ini memerlukan cara yang sama sekali baru dalam memandang anak-anak belajar.
Hanya menjelang akhir kursus para calon guru mulai berbeda antara niat dan tujuan mereka sendiri dan anak-anak. Ketika mereka mulai bertindak atas kesadaran baru ini mereka mulai melihat perubahan dalam dinamika kelas. Ketika tujuan diklarifikasi dan harapan baru bagi anak-anak yang dinegosiasikan, calon guru mengubah posisi mereka di dalam kelas dan memulai proses "melihat" nuansa berbeda. Seorang mahasiswa berbicara penuh semangat tentang "melewati gapura dan keluar di tempat yang saya tidak pernah tahu ada." Kebanyakan menunjukkan keterkejutannya dan kagum pada pengetahuan dan kreativitas anak-anak saat mereka menanggapi kondisi baru. Selain itu, untuk calon guru, tindakan menciptakan suasana baru untuk belajar matematika telah memperdalam pemahaman mereka tentang proses belajar mengajar dengan cara yang belum pernah terjadi sebagai akibat dari program yang konvensional.
Tampak bahwa harapan, pengetahuan, sikap, dan keyakinan diinternalisasikan sebagai hasil dari aktivitas sebelumnya, termasuk proses budaya bersekolah, yang diwujudkan dalam kegiatan yang terkait, apakah mereka telah secara resmi didiskusikan dan dinegosiasikan atau tidak. “Teori Aktivitas " ini (Argyris: 1993) sangat pribadi dan biasanya tak perlu diungkapkan dengan kata-kata, tapi dioperasionalkan. Mereka tidak mudah untuk ulasan, mungkin karena refleksi dan diskusi tentang dinamika tindakan yang bukan merupakan komponen utama dari pendidikan formal. Ada beberapa bukti bahwa pengetahuan metakognitif mempengaruhi kualitas kegiatan dalam "aspek pribadi" baik bagi guru juga siswa dan bahwa itu lebih kuat diwujudkan dalam tindakan daripada dalam bentuk pengetahuan deklaratif teori belajar, saran atau instruksi.
Bertindak dan Belajar dengan alat-alat baru
Alat-alat baru juga menekankan ketegangan dalam suatu sistem kegiatan pendidikan (Engestrom: 1989). Kehadiran artefak budaya seperti komputer dalam suatu sistem kegiatan pendidikan mengubah konteks --- kemungkinan peran, hubungan, dan kognisi. Untuk teoretikus Rusia, pengertian budaya atau alat budaya dalam berpikir, dianggap untuk dikembangkan melalui pendidikan. Dalam prakteknya mereka umumnya mengabaikan pembelajaran 'primitif' yang terjadi di luar sistem pendidikan. Namun, dampak dari prioritas budaya yang berbeda pada pendekatan anak-anak Aborigin untuk tugas belajar sekolah telah disebutkan. Komputer adalah jenis tertentu alat budaya yang secara teknik membentuk bagian yang semakin penting dan meresap aktivitas manusia dan organisasi sosial. Papert (1980) menyatakan bahwa "matematika sekolah" adalah konstruksi sosial dari era sebelum komputer. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa "metafora komputer sebagai entitas pembicaraan matematika menempatkan pelajar dalam semacam hubungan kualitatif baru dengan domain yang penting dari pengetahuan." Ada ketegangan antara cara-cara tradisional belajar dan mengajar matematika di sekolah dan kualitas kegiatan pembelajaran yang diperlukan untuk berhitung fungsional dalam usia sebuah komputer. Saat ini, ada sedikit bukti bahwa komputer telah memenuhi potensi pendidikan yang dibayangkan oleh Papert.
Engestrom (1989) berpendapat bahwa  suatu system aktivitas sangat bermanfaat sebagai kerangka kerja untuk menganalisis aktivitas sekelompok gadis berusia 6 tahun, yang diperkenalkan dengan material Lego/LOGO sebagai bagian dari pendidikan matematika dan sains mereka (Crawford:1991).  Proyek menyediakan suatu contoh cemerlang tentang tekanan dan kontradiksi antara mode instruksi tradisional dan budaya sekolah tradisional dan lebih banyak lingkungan pembelajaran aktif disajikan oleh teori konstruktif terkini. Proyek ini juga menunjukkan beberapa pemahaman ke arah pikiran logis di belakang dua hal yang saling bertentangan yang mana banyak menginginkan penggunaan aplikasi komputer dalam kurikulum utama.
Kebudayaan sekolah terlindungi secara ekstrim. Observasi kelas terungkap bahwa mode instruksi bersifat sangat terpusat pada guru. Kelakuan baik, perintah, dan kerapian lebih banyak dihargai. Para gadis sendiri merasa taat pada instruksi khusus dan menghasilkan hasil yang benar sebagaimana harapan utama guru. Para siswa selalu bekerja sendiri dan ‘pemberdayaan’ dihindari dengan pengamatan yang tertutup dan pencelaan. Tes tertulis dan nilai persentase adalah satu-satunya bentuk penilaian dan pelaporan yang digunakan dalam matematika. Sudah jelas, para gadis menginterpretasikan peran mereka secara pasif, dan menjadikan diri mereka sebagaimana pendapat Semenov (1978) yang menjelaskannya sebagai aktivitas aspek personal, untuk menunjukkan hasil belajar  yang diminta oleh guru. Ranah kognitif/pengetahuan dalam suasana ini lebih bersifat operasional.
Pada budaya ini, pembelajaran matematika mencakup: imitasi/meniru, mengikuti petunjuk (Leont’ev:1981), dan dievaluasi oleh guru yang ‘pandai’. Pembelajaran dilakukan sendiri. Mutu pengetahuan matematika para gadis merupakan gambaran output pendidikan bernuansa tradisional. Para gadis sangat efisien pada algoritma berhitung. Banyak yang mengetahui tabel perkalian dengan menghafal. Buku mereka sangat bersih, dan diisi dengan hati-hati memuat hasil perhitungan atau informasi konsep geometri yang mereka tiru dari papan tulis. Saat diberikan tugas dan diminta menjelasan penyelesaian dengan kata-kata, sebagian besar memiliki tanggapan dalam bentuk tidak terinstruksi --- menurut ketentuan  taksonomi SOLO--- tentang respons siswa (Collins dan Bigs:1982). Hanya sebagian kecil saja yang dapat mendiskusikan jawaban mereka sesuai ketentuan semua variable yang relevan dan menjelaskan hubungan antar variable-variabel tersebut.
Di rumah mereka, balok-balok dan mekanik dianggap sebagai sesuatu yang hanya dipikirkan kaum pria. Mereka mengikuti les musik, tarian ballet, atau hal-hal lain yang lebih layak dikejar. Sebagian besar tidak pernah memberikan perhatian besar untuk urusan eletronik di rumah mereka, roda gigi/(persneling) dan katrol pada mesin, atau benda-benda lain di lingkungan yang akan memberikan mereka pemahaman akan barang-barang/material teknik dan logika yang perlu untuk   mendesain program LOGO untuk model yang mereka buat. Para gadis berasal dari keluarga kaya, tetapi pengalaman aktivitas keluarga mereka membuat mereka tertinggal dan miskin konsep geometri/dimensi tiga dan ilmu mekanik.
Para gadis dikumpulkan dan dibekali dengan material Lego/LOGO. Setelah beberapa diskusi awal tentang material bangunan, para gadis didorong untuk bereksperimen. Mereka dilumphkan total dengan kecemasan mengenai tanggapan terhadap pengertian suatu proyek untuk diri mereka. Pegawai proyek menyiapkan masukan awal tentang membuat program di LOGO dan beberapa bantuan tentang nama-nama persneling/gear yang bervariasi, dan sensor yang berbentuk bagian dari peralatan Lego. Para gadis sangat sulit menentukan bangunan berdimensi tiga.
Imaginasi sekelompok gadis kelihatan was-was pada tumpukan material Lego. Pada akhirnya, salah satu dari mereka mendatangi pegawai proyek memegang sebuah model di tangannya. “Apakah ini benar?”, ia bertanya penuh ragu. Seorang dari kelompok lain berminat melihat model tersebut. Ini direbut dan ditangisi: “Jangan ditiru”. Pada akhirnya, karena ini merupakan sesi pertama, masing-msing kelompok memilih satu kartu dari Lego/LOGO untuk meniru model. Disertai keluhan, mereka diberi tugas yang familiar. Guru juga kelihatan sangat terhibur begitu susunan diperbaiki. Guru berkomentar bahwa para gadis telah melakukan banyak kerja, pada bangun tiga dimensi dalam pelajaran matematika. Guru terkejut karena kesulitan mereka yang begitu nyata.
Konteks baru pada pembelajaran menimbulkan tuntutan yang sangat berbeda pada para gadis. Mereka membutuhkan eksperimen, mengajukan permasalahan, mengivestiasi, berlogika tentang hubugan antar bagian-bagian model yang dibuat, dan bagaimana mengaturnya/memindahkannya. Mereka harus mengorganisasikan secara fisik, untuk membuat bangun tiga dimensi ---untuk melibatkan dua hal dalam aktivitas: mental dan kegiatan fisik--- Tiap group harus mendefinisikan pekerjaan mereka dan mengevaluasi perkembangannya. Aktivitas mereka berada dalam tataran personal (personal plane), bukan tataran operasional (operational plane) dimana mereka memiliki pengalaman dalam pelajaran formal. Mereka harus memahmi secara konseptual geometri tiga dimensi, walaupun modelnya sederhana. Supaya dapat bekerja evektif dalam kelompok mareka harus bisa mengekspresikan pikiran mereka, menguraikan strategi mereka dan memaparkan kesulitan mereka. Mereka tidak berpengalaman (inexperienced) dalam kegiatan ini, dan kebutuhan akan hal itu bertolak belakang dengan harapan mereka.
Paper (1980) dan Sachter (1990) menulis tentang kepotensialan LOGO sebagai suatu lingkungan pembelajaran aktif. Latar di mana LOGO digunakan merupakan faktor penentu penting dari sejauh mana potensi tersebut direalisasikan. Para gadis dalam proyek ini kegiatan intelektual tidak terbiasa dan tanggung jawab adalah pengalaman baru. Mereka berdiskusi tentang model mekanik, mereka awalnya sulit karena mereka tidak memiliki kosa kata maupun logico-struktur tata bahasa untuk menjelaskan masalah ini. Sebuah kualitas baru pemahaman matematika diperlukan. Ini menjadi jelas bahwa "pekerjaan" yang telah mereka lakukan di kelas pada konsep bangun tiga-dimensi dan gigi/persneling tidak memberikan mereka basis pengetahuan yang bisa mereka gunakan dalam konteks baru. Guru kelas menemukan peran fasilitatif orang dewasa dalam proyek cukup sulit. Dia menjadi cemas bahwa ia harus "membantu anak-anak .... sehingga mereka bisa melanjutkan dengan itu ... dan selesai pada waktunya ..." Penyesuaian para siswa cukup cepat dengan tuntutan baru. Pada akhir jangka waktu kebanyakan merasa aman dan bangga dengan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Mereka menjelaskan keputusan terhadap permasalahan mereka pada tingkat relasional dalam taksonomi SOLO (Colis dan Biggs: 1982). Kualitas respon mereka mencerminkan kepemilikan dari kegiatan mereka yang telah dilakukan dan pemahaman yang jelas tentang tujuan mereka.
Seorang mahasiswa menulis di buku hariannya:
Saya bekerja dengan Nadine dan proyek kami adalah sebuah menara dengan lampu berkedip dan tiga roda gigi dengan roda gigi kecil yang berputar lebih cepat dan roda gigi besar yang berjalan lebih lambat. Menara ini memiliki sebuah helikopter di puncaknya dan jika tidak memiliki roda gigi untuk membuatnya berputar lebih lambat. Ini akan berputar, sebagaimana yang kita alami minggu lalu. Gigi seperti roda dengan tepi berduri (diagram) dengan tiang pada mereka sehingga mereka bergabung ke menara. Hal baru yang kami lakukan adalah membuat gigi seperti gambar yang diberikan. Kami mengatur roda gigi untuk membuat helikopter tidak diam. Menakjubkan, bahwa kita membuat gigi. Saya merasa luar biasa dan bangga bahwa kami membuat penciptaan ini. Kami menempatkan penciptaan hebat kami pada disk 11.
C.       RANGKUMAN
Teori aktivitas menunjukkan adanya kebutuhan untuk memperhatikan kualitas tindakan yang terinternalisasi, perasaan, dan harapan sosial selama pembelajaran serta isu yang terkait dengan proses akulturasi dari siswa dalam arti budaya menyetujui ide-ide matematika, simbol dan tekniknya. Siswa pengalaman budaya, niat mereka, kebutuhan mereka, dan jenis kegiatan matematika yang mereka alami bentuk semua kualitas pembelajaran matematika dan cara-cara yang mereka kemudian dapat merasakan, bertindak, dan berpikir matematis.
Kegiatan budaya yang terkait dengan penggunaan pengetahuan matematika telah berubah secara signifikan dengan munculnya teknologi informasi. Komputer telah dimungkinkan dan dapat diakses, ide-ide matematika baru seperti yang berkaitan dengan teori chaos dan geometri fraktal terkait. Ide-ide ini telah mengubah cara di mana sejumlah besar orang berpikir tentang lingkungan mereka dan posisi mereka di dalamnya. Selain mengubah hakikat matematika, komputer sekarang melakukan banyak kumpulan rutinitas dan algoritma yang pernah dipelajari melalui latihan dan praktek (dan masih menempati sebagian besar dari kurikulum sekolah). seperti perubahan dalam alat budaya mengimplikasikan perubahan dalam kualitas aktivitas intelektual ketika kebanyakan manusia bertindak matematis --- mungkin kurang fokus pada teknik yang dikenal dan lebih memperhatikan tindakan yang lebih kreatif seperti interpretasi informasi matematika dan pemodelan. Tentu saja, fokus tradisional di sekolah-sekolah pada bidang operasional teknik pemikiran dan papper dan pensil sekarang tampaknya ketinggalan zaman. Seperti orang Pitantjatjara, disebutkan sebelumnya, kita perlu mengenali keseriusan pilihan yang mungkin. Kita bisa memilih untuk menjaga proses budaya sekolah tradisional. Secara khusus, kita bisa memilih untuk mempertahankan pengaturan otoritatif di mana matematika dipelajari, dengan dimensi sosial dari konteks, penekanan pada teknik papper dan pensil, dan peran marjinal untuk komputer. Namun, sekarang ada pemahaman yang cukup tentang hubungan antara lingkungan sosial budaya di mana kegiatan pembelajaran terjadi, kualitas dari proses kognitif yang fungsional untuk kegiatan yang dihadapi, dan kualitas hasil pembelajaran yang dihasilkan untuk menunjukkan kebutuhan untuk beberapa perubahan dalam praktik pendidikan. Kita bisa memilih untuk mengatur konteks pendidikan sedemikian rupa sehingga, selain negosiasi makna gagasan budaya disetujui, kategori dan teknik, perhatian ditujukan pada kegiatan anggota komunitas pendidikan. ---Ke isomorfisme antara aktivitas belajar dan perwujudan tindakan terinternalisasi dalam kegiatan matematika yang terakhir---. Memilih untuk lebih memperhatikan tindakan peserta didik dan guru, serta bagaimana pengetahuan matematika yang diwujudkan dalam tindakan, mungkin melibatkan mempersoalkan perbedaan antara kualitas, tujuan dan sasaran dari tindakan guru dan peserta didik di sekolah dan tindakan matematikawan dan pengguna matematika dalam budaya yang lebih luas.



DAFTAR PUSTAKA
Judul buku:  
1. Theories of Mathematical Learning
2. Memahami Pendidikan dan Ilmu Kependidikan. 
3. www.anneahira.com



No comments:

Post a Comment